Jumat, 17 Mei 2013

Hardikan S&P dan Perekonomian Indonesia


Hardikan S&P dan Perekonomian Indonesia
Paul Sutaryono ;  Mantan Assistant Vice President BNI & DR WIDIGDO SUKARMAN, Presiden Komisaris Bank Muamalat Indonesia
KORAN SINDO, 16 Mei 2013

Tanpa diduga, Standard & Poor’s (S&P) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari positif menjadi stabil. Untungnya, Moody’s hanya mengingatkan dan tak ikut menurunkan proyeksi. 

Pemerintah Indonesia dinilai tidak becus dalam mengurus perekonomiannya. Karena kebijakan subsidi termasuk kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang mencapai sekitar Rp300 triliun itu jelas membuat pemerintah tidak mungkin melakukan berbagai kebijakan pembangunan infrastruktur. Padahal, di mana-mana, infrastruktur yang baik akan memberikan dampak berganda bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. 

Langkah Strategis 

Pada KORAN SINDO12 Juli 2012 di bawah judul ”Kiat Mempertahankan Investment Grade”, penulis telah mengulas bahwa Indonesia perlu melakukan aneka kiat. Sebut saja menggalakkan proyek infrastruktur dan meningkatkan manajemen utang. Kalau begitu, langkah strategis apa saja yang patut diambil pemerintah dalam meredam dampak negatif penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi? 

Pertama, menjaga neraca perdagangan nasional. Setelah beberapa bulan mengalami defisit, kini neraca perdagangan nasional mengalami surplus USD304 juta pada Maret 2013. Surplus ini terjadi pertama kali sejak September 2012. Sayangnya, hal ini bukan disebabkan oleh kenaikan ekspor melainkan karena merosotnya impor. Tren sejak Januari 2013, ekspor terus mengalami penurunan. 

Jika Januari 2013 ekspor mencapai USD15,38 miliar, kemudian turun menjadi USD15,02 miliar pada Februari 2013 dan menyusut lagi menjadi USD15,003 miliar pada Maret 2013. Begitu juga impor dari Januari 2013 masih USD15,45 miliar turun menjadi USD15,31 miliar pada Februari 2013 lalu merosot menjadi USD15,698 miliar pada Maret 2013 (Kontan, 2 Mei 2013). 

Oleh karena itu, pemerintah wajib terus meningkatkan kinerja ekspor nasional supaya lebih tinggi lagi, antara lain dengan menggalakkan ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO). Di sisi lain, pemerintah wajib terus-menerus mengurangi ketergantungan pada bahan-bahan impor. Jangan lupa pengadaan pesawat penumpang itu menjadi salah satu penyebab defisit neraca perdagangan nasional selama ini. 

Bank nasional papan atas seperti BNI sebagai pemimpin pasar, Bank Mandiri dan BRI dalam transaksi pembiayaan perdagangan ekspor impor (trade finance) sangat diharapkan dapat menggalakkan transaksi ekspor. Bahkan, BRI sebagai raja segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dapat mendorong dan mendampingi nasabah UMKM untuk melakukan ekspor. Bukan jago kandang. 

Kedua, mempertahankan pertumbuhan ekonomi nasional tetap tinggi. Riset sektor perbankan yang dilakukan oleh PricewaterhouseCoopers (PWC) yang diluncurkan pada 30 April 2013 menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu pasar yang tumbuh tercepat dengan proyeksi produk domestik bruto (PDB) mencapai 6,2% setahun pada tiga tahun ke depan. 

Bahkan, dalam publikasi PWC yang bertajuk “World in 2050”, diproyeksikan ekonomi Indonesia dalam purchasing power parity(PPP) akan lebih besar daripada Jerman, Prancis, dan Inggris pada 2050. Hendaknya prediksi PWC itu jangan membuat Indonesia besar kepala mengingat ancaman inflasi tinggi masih terus membayangi kinerja ekonomi nasional. 

Belum lagi, pemulihan ekonomi global terutama di kawasan Eropa masih belum tampak titik terang. Penilaian S&P itu memang layak menjadi perhatian pemerintah karena hal itu menjadi salah satu acuan investor global dalam melakukan investasi di Indonesia. Penilaian itu hendaknya menjadi peringatan dini bagi pemerintah dalam memanfaatkan momen reformasi ekonomi. Sebaliknya, jangan terlalu takut terhadap penilaian S&P itu. Lho? Karena sejatinya penilaian S&P itu adalah suatu perkiraan. 

Namun, pemerintah tetap wajib lebih waspada dengan melakukan tindakan-tindakan yang lebih strategis dan tegas alias tidak ragu-ragu. Lebih dari itu, karena ekonomi nasional tumbuh tinggi pada level 6,02% pada kuartal I (Q-1) 2013 lebih tinggi daripada India 4,50% (Q-4 2012) meskipun di bawah China 7,70% (Q- 1 2013). Coba bandingkan dengan negara ASEAN, yakni Thailand 3,60% (Q-4 2012), Filipina 6,80% (Q-4 2012), dan Malaysia 6,40% (Q-4 2012). 

Bahkan, Indonesia boleh bersyukur mengingat memiliki rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) 23,10% (jauh dari ambang batas 60%). Angka ini jauh lebih rendah daripada tetangga ASEAN: Singapura 97,90%, Malaysia 53,10%, Thailand 44,30%, Filipina 40,10%, dan Vietnam 37,30%. 

Bandingkan dengan negara besar Jepang 211,70%, AS 101,60%, Brasil 85,10%, Kanada 84,80%, India 67,57%, Korea Selatan 34,80%, dan China 23,00%.Data ini bukan hiasan, namun sebagai pemacu Indonesia untuk terus menekan serendah mungkin rasio utang terhadap PDB. Ketiga, mengawal laju inflasi. Kini inflasi tahunan merangkak naik dari 5,31% per Februari 2013 menjadi 5,90% per Maret 2013. 

Intinya, inflasi 5,90% itu sudah melewati target inflasi 4,50% plus minus 1% pada 2013 dan 2014. Boleh jadi, inflasi belum akan mereda mengingat ada beberapa faktor yang siap mendorong inflasi untuk kian melaju. Katakanlah, kenaikan tarif dasar listrik (TDL) 15% mulai 2013. Belum lagi, rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dari Rp4.500 menjadi Rp6.500 per liter. 

Kita mengetahui bahwa kenaikan harga BBM menjadi dilematis. Satu sisi, pemerintah bertekad untuk mengurangi subsidi BBM. Tanpa mengurangi subsidi BBM, pemerintah akan sulit memperluas pembangunan infrastruktur seperti bandara, pelabuhan laut, jembatan, jalan tol, pusat tenaga listrik dan irigasi. 

Selain itu, pembangunan infrastruktur tak semudah membalikkan tangan mengingat berbiaya tinggi dan berjangka panjang serta penyediaan lahan masih menjadi penghalang utama. Ringkas tutur, pemerintah wajib lebih serius. Sebaliknya, kenaikan harga BBM itu bisa menyulut inflasi menjadi kian tinggi. 

Untuk itu, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) tidak boleh lengah dalam mengelola fiskal dan moneter. Bagaimana kiatnya? Jangan sampai urusan ”sederhana dan sepele” seperti cabai, kedelai sebagai bahan pembuatan tahu dan tempe, transportasi barang pokok lainnya dan impor daging justru menjadi pemicu melesatnya inflasi. 

Ketiga, mengendalikan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Nilai tukar rupiah begitu rentan terhadap kenaikan inflasi. Apalagi apabila kedua faktor, baik inflasi yang tak terbendung maupun nilai tukar rupiah yang bergerak liar, bisa mempengaruhi BI Rate untuk mulai mendaki di atas level saat ini 5,75% sejak Februari 2012. Kenaikan BI Rateakan menjadi faktor utama dalam mengangkat suku bunga kredit. 

Oleh sebab itu, langkah BI dalam mengatur kembali pembelian valuta asing (valas) lebih dari USD100.000 atau setara dengan mata uang asing lainnya dengan melampirkan transaksi yang mendasarinya (underlying transactions) patut didukung. Kebijakan ini tertuang dalam Surat Edaran (SE) BI Nomor 15/3/DPM yang terbit 28 Februari 2013 dan efektif 18 Maret 2013. 

Aturan itu bermanfaat untuk mencegah munculnya perdagangan valas yang bersifat spekulatif. Hal ini akan memudahkan bagi BI untuk memantau posisi valas di pasar sehingga pada saatnya BI dapat melakukan intervensi pasar dengan tepat. Sarinya, penurunan tingkat rating adalah suatu wake up call bagi kita yang mengingatkan bahwa ada sesuatu yang salah dalam keputusan kebijakan ekonomi. 

Dengan mempertimbangkan aneka langkah strategis demikian, ekonomi nasional masih tetap tumbuh pada level 6% sekalipun badai finansial terus menerpa. Sungguh! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar