Senin, 13 Mei 2013

Siklus Kekerasan terhadap Ahmadiyah


Siklus Kekerasan terhadap Ahmadiyah
Munawir Aziz  ;  Alumnus Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM)
SUARA MERDEKA, 11 Mei 2013


"Upaya menghadirkan kembali pemahaman toleransi antarumat beragama sangat krusial dan mendesak"

INDONESIA saat ini adalah negeri yang dikelilingi oleh kekerasan dan kecemasan. Pelbagai kasus menjadi bagian dari narasi kehidupan dan ritme sosial politik. Kasus terbaru adalah penyerbuan terhadap komunitas penganut Ahmadiyah di Tenjowaringin Kecamatan Salawu Kabupaten Bogor. Pada Minggu  (5/5/13) pagi, kampung Ahmadiyah di kawasan ini diserbu ratusan orang tak dikenal, yang kemudian merusak dua masjid dan 20 rumah di Kecamatan Salawu dan Singaparna. Penyerangan ini terjadi setelah sebelumnya  penganut Ahmadiyah menyelenggarakan pengajian.

Kejadian itu menambah panjang kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah, sebagai kelompok minoritas. Kasus kekerasan atas nama agama, meningkat drastis di Indonesia pada reformasi, terutama sekitar 10 tahun terakhir. Kekerasan atas nama agama, juga melengkapi kasus kekerasan lain yang terjadi merata dari Sabang sampai Merauke. Jika kita mengulas memori, tentu akan hadir kembali sketsa kasus kekerasan agraria di Bima (Desember 2011) dan Mesuji (11 November 2011), sengketa Syiah di Sampang (29 Desember 2011 dan 26 Agustus 2012).

Laporan riset Center for Religious and Cross-Culture Studies (CRCS) UGM 2012, menyebutkan ada dua masalah mendasar dalam peta konflik kekerasan antaragama yang menjadi subpembahasan pada diskursus toleransi di Indonesia; kasus penodaan agama dan masalah rumah ibadah. Terdapat 22 kasus penodaan makna agama, dari kasus Pendeta Haddassah Werner, MTA, dan konflik Rois Hukuma-Tajul Muluk pada kasus Syiah Sampang.

Lalu, bagaimana melihat kasus penyerbuan terhadap Ahmadiyah yang terus berulang di Indonesia? Penyerangan terhadap warga Ahmadiyah dan kelompok minoritas lain di negeri, sejatinya merupakan siklus kekerasan yang terus berulang. Komunitas penganut Ahmadiyah di Cikeusik Bogor, Lombok dan beberapa kawasan lain menjadi korban dari sikap diskriminatif yang tidak membuka ruang dialog dan memberi kesempatan untuk mempraktikkan ritual ibadah.

Ahmadiyah menjadi isu yang terus menerus digulirkan dalam konteks relasi antaragama ataupun internal Islam. Produksi wacana tentang Ahmadiyah telah menjadi siklus untuk menyelenggarakan kekerasan demi kekerasan.

Kasus Ahmadiyah dan juga Syiah telah menjadi bagian dari panggung politik kekuasaan. Isu tentang kedua komunitas ini mengundang perdebatan, yang sampai sekarang masih belum surut, dengan menyeret kasus-kasus kekerasan yang menyertai. Jika merunut kasus tentang kekerasan agama, pemerintah telah berusaha mencipta jembatan solusi, dengan menandatangani SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2006. SKB ini berisi tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadat. Surat keputusan ini merupakan revisi dari SK Nomor 01/BER/mdn-mag/1969. Meski banyak kejanggalan dan kekurangan serta menuai penolakan, SKB ini wujud dari usaha untuk mencari alternatif.

Memperburuk Citra

Jika merenungi secara mendalam, rentetan kasus kekerasan di negeri ini mengancam integrasi bangsa. Keindonesiaan kita menghadapi tantang berat berupa kekerasan dan ketidakpercayaan pada golongan maupun komunitas lain. Padahal, dalam inti terdalam kemanusiaan kita, menghargai liyan (the other) merupakan watak dasar manusia Nusantara, yang sudah teruji berabad-abad.

Padahal, sejarah interaksi warga di Indonesia mengunggulkan dialog dan musyawarah daripada kekerasan. Perebutan otoritas untuk menafsirkan golongannya yang paling benar dengan menghalalkan kekerasan, pada akhirnya hanya memperburuk citra Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.

Dalam konteks ini, usaha untuk menghadirkan kembali pemahaman toleransi antarumat beragama sangat krusial dan mendesak dilakukan. Pemikiran Gus Dur tentang konsep pribumisasi Islam menemukan konteks tepat. Pribumisasi Islam merupakan pengejawantahan konsep dasar memahami Islam Nusantara dan relasi dengan agama maupun kepercayaan lain, karakter Islam sebagai wacana normatif sedangkan praktik Islam sebagai gerakan kontekstual (Wahid, 1998, Imdadun Rahmat, 2003: xx). Penjernihan makna ‘’Islamku Islam Anda, Islam Kita’’ merupaka kata kunci untuk membangun kembali harmoni.

Lalu, dengan dasar apa untuk membendung sekaligus melampaui kekerasan-kekerasan yang terjadi? Pemahaman tentang perbedaan dan kebinekaan merupakan bagian penting dari proses panjang ‘’menjadi Indonesia’’. Saya kira, saat ini, proses menjadi Indonesia masih berlangsung, meskipun secara definitif bangsa ini merdeka pada 17 Agustus 1945, ketika Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan negeri ini dari cengkeraman kolonial. Tetapi, nilai dasar dari usaha menghadirkan Indonesia dengan segala konsekuensi moralnya, dengan memberi ruang dialog bagi perbedaan etnis dan agama, masih perlu kembali diperkuat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar