|
SUARA
MERDEKA, 11 Mei 2013
"Upaya menghadirkan kembali pemahaman
toleransi antarumat beragama sangat krusial dan mendesak"
INDONESIA
saat ini adalah negeri yang dikelilingi oleh kekerasan dan kecemasan. Pelbagai
kasus menjadi bagian dari narasi kehidupan dan ritme sosial politik. Kasus
terbaru adalah penyerbuan terhadap komunitas penganut Ahmadiyah di
Tenjowaringin Kecamatan Salawu Kabupaten Bogor. Pada Minggu (5/5/13)
pagi, kampung Ahmadiyah di kawasan ini diserbu ratusan orang tak dikenal, yang
kemudian merusak dua masjid dan 20 rumah di Kecamatan Salawu dan Singaparna.
Penyerangan ini terjadi setelah sebelumnya penganut Ahmadiyah
menyelenggarakan pengajian.
Kejadian
itu menambah panjang kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah, sebagai kelompok
minoritas. Kasus kekerasan atas nama agama, meningkat drastis di Indonesia pada
reformasi, terutama sekitar 10 tahun terakhir. Kekerasan atas nama agama, juga
melengkapi kasus kekerasan lain yang terjadi merata dari Sabang sampai Merauke.
Jika kita mengulas memori, tentu akan hadir kembali sketsa kasus kekerasan
agraria di Bima (Desember 2011) dan Mesuji (11 November 2011), sengketa Syiah
di Sampang (29 Desember 2011 dan 26 Agustus 2012).
Laporan
riset Center for Religious and Cross-Culture Studies (CRCS) UGM 2012,
menyebutkan ada dua masalah mendasar dalam peta konflik kekerasan antaragama
yang menjadi subpembahasan pada diskursus toleransi di Indonesia; kasus
penodaan agama dan masalah rumah ibadah. Terdapat 22 kasus penodaan makna
agama, dari kasus Pendeta Haddassah Werner, MTA, dan konflik Rois Hukuma-Tajul
Muluk pada kasus Syiah Sampang.
Lalu,
bagaimana melihat kasus penyerbuan terhadap Ahmadiyah yang terus berulang di
Indonesia? Penyerangan terhadap warga Ahmadiyah dan kelompok minoritas lain di
negeri, sejatinya merupakan siklus kekerasan yang terus berulang. Komunitas
penganut Ahmadiyah di Cikeusik Bogor, Lombok dan beberapa kawasan lain menjadi
korban dari sikap diskriminatif yang tidak membuka ruang dialog dan memberi
kesempatan untuk mempraktikkan ritual ibadah.
Ahmadiyah
menjadi isu yang terus menerus digulirkan dalam konteks relasi antaragama
ataupun internal Islam. Produksi wacana tentang Ahmadiyah telah menjadi siklus
untuk menyelenggarakan kekerasan demi kekerasan.
Kasus
Ahmadiyah dan juga Syiah telah menjadi bagian dari panggung politik kekuasaan.
Isu tentang kedua komunitas ini mengundang perdebatan, yang sampai sekarang
masih belum surut, dengan menyeret kasus-kasus kekerasan yang menyertai. Jika
merunut kasus tentang kekerasan agama, pemerintah telah berusaha mencipta jembatan
solusi, dengan menandatangani SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor
8 Tahun 2006. SKB ini berisi tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah
dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat
beragama dan pendirian rumah ibadat. Surat keputusan ini merupakan revisi dari
SK Nomor 01/BER/mdn-mag/1969. Meski banyak kejanggalan dan kekurangan serta
menuai penolakan, SKB ini wujud dari usaha untuk mencari alternatif.
Memperburuk Citra
Jika
merenungi secara mendalam, rentetan kasus kekerasan di negeri ini mengancam
integrasi bangsa. Keindonesiaan kita menghadapi tantang berat berupa kekerasan
dan ketidakpercayaan pada golongan maupun komunitas lain. Padahal, dalam inti
terdalam kemanusiaan kita, menghargai liyan (the other) merupakan watak dasar
manusia Nusantara, yang sudah teruji berabad-abad.
Padahal,
sejarah interaksi warga di Indonesia mengunggulkan dialog dan musyawarah
daripada kekerasan. Perebutan otoritas untuk menafsirkan golongannya yang
paling benar dengan menghalalkan kekerasan, pada akhirnya hanya memperburuk
citra Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.
Dalam
konteks ini, usaha untuk menghadirkan kembali pemahaman toleransi antarumat
beragama sangat krusial dan mendesak dilakukan. Pemikiran Gus Dur tentang
konsep pribumisasi Islam menemukan konteks tepat. Pribumisasi Islam merupakan
pengejawantahan konsep dasar memahami Islam Nusantara dan relasi dengan agama
maupun kepercayaan lain, karakter Islam sebagai wacana normatif sedangkan
praktik Islam sebagai gerakan kontekstual (Wahid, 1998, Imdadun Rahmat, 2003:
xx). Penjernihan makna ‘’Islamku Islam Anda, Islam Kita’’ merupaka kata kunci
untuk membangun kembali harmoni.
Lalu,
dengan dasar apa untuk membendung sekaligus melampaui kekerasan-kekerasan yang
terjadi? Pemahaman tentang perbedaan dan kebinekaan merupakan bagian penting
dari proses panjang ‘’menjadi Indonesia’’. Saya kira, saat ini, proses menjadi
Indonesia masih berlangsung, meskipun secara definitif bangsa ini merdeka pada
17 Agustus 1945, ketika Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan negeri ini
dari cengkeraman kolonial. Tetapi, nilai dasar dari usaha menghadirkan
Indonesia dengan segala konsekuensi moralnya, dengan memberi ruang dialog bagi
perbedaan etnis dan agama, masih perlu kembali diperkuat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar