|
SINAR
HARAPAN, 11 Mei 2013
Dua belas parpol peserta pemilu legislatif 2014 mulai
melewati tahap pertama pertarungan pascapenyerahan daftar calon anggota
legislatif sementara (DCS) kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai syarat
untuk mengikuti pemilihan tingkat nasional. Penyusunan dan pengajuan DCS
relatif berjalan dengan baik mengingat sebagian besar calon sudah mendapatkan
sosialisasi dan wawasan yang memadai tentang sistem yang akan berlaku. Hanya
saja, lancarnya proses pengajuan DCS sesungguhnya menyibakkan problem serius pada
mekanisme internal partai, semisal regenerasi anggota parlemen, tiadanya jalur
pengembangan karier yang jelas, kredibilitas dan integritas kader partai.
Sejumlah nama dalam DCS dikenal publik terimplikasi dalam sejumlah skandal korupsi—Kahar Muzakir, Bambang Soesatyo, Aziz Syamsuddin, Setya Novanto, dan Chairunnisa dari Partai Golkar; Saan Mustopa, Sutan Bhatoegana, Max Sopacua, dan Johnny Allen Marbun dari Partai Demokrat; Wayan Koster, Olly Dondokambey dan Herman Hery dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP); atau Abdul Kadir Karding dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Tak kalah parahnya adalah absennya etika profesionalisme calon legislatif yang pada saat yang sama masih menjalankan tugas-tugas kenegaraan sebagai menteri kabinet dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di antaranya Jero Wacik, Amir Syamsuddin, Syarifuddin Hasan, Roy Suryo, dan EE Mangindaan yang semuanya berafiliasi dengan Partai Demokrat. Sementara konstitusional mereka dapat melakukannya, profesional pencalonan mereka akan mengambil beberapa waktu mereka sebagai menteri karena mereka akan segera sibuk berkampanye untuk pemilihan mereka. Sungguhpun secara konstitusional sah-sah saja, namun secara profesional hal tersebut hanya akan menciptakan konflik kepentingan dan hilangnya fokus manajemen sumber daya (waktu, konsentrasi, dan energi) dalam menjalankan fungsi pemerintahan.
Deretan permasalahan yang hadir dalam DCS yang diajukan parpol seharusnya mendorong KPU untuk berlaku kritis dan profesional dalam melakukan verifikasi. Salah satu persyaratan yang ditetapkan KPU yang memungkinkan parpol untuk menggantikan DCS adalah bila calon meninggal dunia setelah batas waktu penyerahan atau keluar atas kemauan sendiri.
Tapi, ada hal-hal yang lebih fundamental yang berdampak pada diskualifikasi calon legislatif, seperti protes publik atau keterlibatan dalam kriminalitas. Ini semua adalah persoalan rekam jejak yang tak bisa dimanipulasi. Faktor-faktor ini jauh lebih bermakna daripada variabel administratif dalam menentukan apakah seseorang dapat maju untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif. Karenanya, KPU perlu merevisi aturan untuk mendiskualifikasi para calon setelah penyerahan DCS. Tentu saja individu-individu yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri sebelum KPU mendepak mereka dari DCS.
Mahalnya ongkos politik menjadi realitas yang bakal dihadapi para calon legislatif. Secara kasar, seorang calon legislatif setidaknya akan menghabiskan dana Rp 1 miliar. Kompetisi internal dan eksternal untuk Pemilu 2014 jauh lebih ketat dibandingkan tahun 2009 dan masa kampanye lebih panjang. Siapkah calon legislatif ini menggali saku mereka lebih dalam? Para kandidat akan membutuhkan modal yang cukup untuk mengoperasikan tim sukses dan membayar kampanye. Seorang kandidat juga harus mengeluarkan uang untuk mengunjungi basis konstituen mereka setidaknya dua kali sebulan menjelang pemilu. Tiga bulan sebelum pemilu mereka akan menghabiskan banyak uang pada logistik seperti T-shirt, spanduk, kalender, baliho, dan iklan. Belum lagi bahwa seorang calon juga harus membayar untuk saksi di setiap TPS.
Sesat pikir selebritas politik juga menghinggapi banyak parpol. Sejumlah “seleb” masuk dalam DCS pelbagai parpol. Mereka adalah presenter TV Charles Bonar Sirait dan penyanyi Tetty Kadi dari Partai Golkar, aktor Donny Damara, aktris Jane Shalimar, penyanyi Melly Manuhutu, mantan pemain bulu tangkis Ricky Subagja dan mantan pelatih tim nasional sepak bola Maizar Nil dari Partai Nasdem; model Ratih Sanggarwati, penyanyi Emilia Contessa, aktris sinetron Lyra Virna, penyanyi dangdut Malaikat Lelga dan komedian Mat Solar dari PPP, aktor Irwansyah, aktris Bella Safira, mantan sprinter Purnomo, pembalap Moreno Soeprapto, mantan petinju M Rahman dan host program kuliner TV Bondan Winarno dari Partai Gerindra, dan mantan polisi Norman Kamaru dari Partai Amanat Nasional (PAN).
Sejumlah nama dalam DCS dikenal publik terimplikasi dalam sejumlah skandal korupsi—Kahar Muzakir, Bambang Soesatyo, Aziz Syamsuddin, Setya Novanto, dan Chairunnisa dari Partai Golkar; Saan Mustopa, Sutan Bhatoegana, Max Sopacua, dan Johnny Allen Marbun dari Partai Demokrat; Wayan Koster, Olly Dondokambey dan Herman Hery dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP); atau Abdul Kadir Karding dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Tak kalah parahnya adalah absennya etika profesionalisme calon legislatif yang pada saat yang sama masih menjalankan tugas-tugas kenegaraan sebagai menteri kabinet dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di antaranya Jero Wacik, Amir Syamsuddin, Syarifuddin Hasan, Roy Suryo, dan EE Mangindaan yang semuanya berafiliasi dengan Partai Demokrat. Sementara konstitusional mereka dapat melakukannya, profesional pencalonan mereka akan mengambil beberapa waktu mereka sebagai menteri karena mereka akan segera sibuk berkampanye untuk pemilihan mereka. Sungguhpun secara konstitusional sah-sah saja, namun secara profesional hal tersebut hanya akan menciptakan konflik kepentingan dan hilangnya fokus manajemen sumber daya (waktu, konsentrasi, dan energi) dalam menjalankan fungsi pemerintahan.
Deretan permasalahan yang hadir dalam DCS yang diajukan parpol seharusnya mendorong KPU untuk berlaku kritis dan profesional dalam melakukan verifikasi. Salah satu persyaratan yang ditetapkan KPU yang memungkinkan parpol untuk menggantikan DCS adalah bila calon meninggal dunia setelah batas waktu penyerahan atau keluar atas kemauan sendiri.
Tapi, ada hal-hal yang lebih fundamental yang berdampak pada diskualifikasi calon legislatif, seperti protes publik atau keterlibatan dalam kriminalitas. Ini semua adalah persoalan rekam jejak yang tak bisa dimanipulasi. Faktor-faktor ini jauh lebih bermakna daripada variabel administratif dalam menentukan apakah seseorang dapat maju untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif. Karenanya, KPU perlu merevisi aturan untuk mendiskualifikasi para calon setelah penyerahan DCS. Tentu saja individu-individu yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri sebelum KPU mendepak mereka dari DCS.
Mahalnya ongkos politik menjadi realitas yang bakal dihadapi para calon legislatif. Secara kasar, seorang calon legislatif setidaknya akan menghabiskan dana Rp 1 miliar. Kompetisi internal dan eksternal untuk Pemilu 2014 jauh lebih ketat dibandingkan tahun 2009 dan masa kampanye lebih panjang. Siapkah calon legislatif ini menggali saku mereka lebih dalam? Para kandidat akan membutuhkan modal yang cukup untuk mengoperasikan tim sukses dan membayar kampanye. Seorang kandidat juga harus mengeluarkan uang untuk mengunjungi basis konstituen mereka setidaknya dua kali sebulan menjelang pemilu. Tiga bulan sebelum pemilu mereka akan menghabiskan banyak uang pada logistik seperti T-shirt, spanduk, kalender, baliho, dan iklan. Belum lagi bahwa seorang calon juga harus membayar untuk saksi di setiap TPS.
Sesat pikir selebritas politik juga menghinggapi banyak parpol. Sejumlah “seleb” masuk dalam DCS pelbagai parpol. Mereka adalah presenter TV Charles Bonar Sirait dan penyanyi Tetty Kadi dari Partai Golkar, aktor Donny Damara, aktris Jane Shalimar, penyanyi Melly Manuhutu, mantan pemain bulu tangkis Ricky Subagja dan mantan pelatih tim nasional sepak bola Maizar Nil dari Partai Nasdem; model Ratih Sanggarwati, penyanyi Emilia Contessa, aktris sinetron Lyra Virna, penyanyi dangdut Malaikat Lelga dan komedian Mat Solar dari PPP, aktor Irwansyah, aktris Bella Safira, mantan sprinter Purnomo, pembalap Moreno Soeprapto, mantan petinju M Rahman dan host program kuliner TV Bondan Winarno dari Partai Gerindra, dan mantan polisi Norman Kamaru dari Partai Amanat Nasional (PAN).
Penarik Suara
Gelombang selebritas politik ini ditengarai karena
menguatnya preferensi popularitas di atas kualifikasi. Banyak parpol menjadikan
politikus selebritas ini sebagai penarik suara yang signifikan. Pandangan ini
tegak di atas keyakinan bahwa massa akar rumput dan floating mass—yang
kebanyakan gampang tergiur dengan pesona emosional ketimbang daya tarik
intelektual—bakal memberikan suara lebih besar melebihi para pemilih independen
dan kaum terpelajar. Mereka ini jauh lebih tertarik pada tokoh-tokoh populer
dengan janji-janji jangka pendek daripada orang-orang terpelajar yang
menyuguhkan kepentingan jangka panjang. Keterlibatan politikus selebritas,
bersama dengan politikus dengan latar belakang pengusaha, juga dianggap bakal
mencegah politik uang karena sudah dianggap mapan secara finansial.
Mereka dipersepsi sukar untuk dibeli sehingga layak mendapatkan kepercayaan dari pemilih. Hal ini diyakini memberikan politikus selebritas tersebut semacam kredibilitas yang tidak dimiliki politikus lainnya.
Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat menjadi terkenal tidak menjamin kemenangan dalam peristiwa politik, seperti yang terlihat oleh kegagalan calon presiden John Glenn, kekalahan pencalonan Oliver North sebagai senator, atau ketidakmampuan Bill Bradley untuk menundukkan Al Gore dalam pemilihan di kubu Demokrat. Keberhasilan politik membutuhkan kualitas dan kapabilitas yang melewati popularitas dan latar belakang selebritas. Kalaupun ada para artis yang sukses di belantara perpolitikan negara Paman Sam tersebut, latar pendidikan juga jauh lebih krusial. Ronald Reagan dan Arnold Schwarzenegger menjadi Presiden AS dan Gubernur California adalah jebolan perguruan tinggi. Reagan adalah sarjana ekonomi dan sosiologi dari Eureka College pada 1932, adapun Arnie adalah sarjana ekonomi dari University of Wisconsin-Superior tahun 1979.
Itu semua menjadi semacam pasiva neraca bagi para calon legislatif yang ditawarkan parpol peserta Pemilu 2014. Masyarakat masih punya satu tahun untuk menilai sebelum akhirnya memutuskan pilihan politik mereka pada hari pemilihan. Mudah-mudahan, publik tidak memilih wakil rakyat yang salah. ●
Mereka dipersepsi sukar untuk dibeli sehingga layak mendapatkan kepercayaan dari pemilih. Hal ini diyakini memberikan politikus selebritas tersebut semacam kredibilitas yang tidak dimiliki politikus lainnya.
Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat menjadi terkenal tidak menjamin kemenangan dalam peristiwa politik, seperti yang terlihat oleh kegagalan calon presiden John Glenn, kekalahan pencalonan Oliver North sebagai senator, atau ketidakmampuan Bill Bradley untuk menundukkan Al Gore dalam pemilihan di kubu Demokrat. Keberhasilan politik membutuhkan kualitas dan kapabilitas yang melewati popularitas dan latar belakang selebritas. Kalaupun ada para artis yang sukses di belantara perpolitikan negara Paman Sam tersebut, latar pendidikan juga jauh lebih krusial. Ronald Reagan dan Arnold Schwarzenegger menjadi Presiden AS dan Gubernur California adalah jebolan perguruan tinggi. Reagan adalah sarjana ekonomi dan sosiologi dari Eureka College pada 1932, adapun Arnie adalah sarjana ekonomi dari University of Wisconsin-Superior tahun 1979.
Itu semua menjadi semacam pasiva neraca bagi para calon legislatif yang ditawarkan parpol peserta Pemilu 2014. Masyarakat masih punya satu tahun untuk menilai sebelum akhirnya memutuskan pilihan politik mereka pada hari pemilihan. Mudah-mudahan, publik tidak memilih wakil rakyat yang salah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar