|
SUARA
MERDEKA, 11 Mei 2013
SUSILO Bambang Yudhoyono saat itu tentu berada dalam posisi
siap penuh ketika memutuskan menerima mandat sebagai Ketua Umum Partai
Demokrat. Sebagai presiden dan memikul sederet jabatan penting di partai,
Yudhoyono tahu persis bahwa keputusannya itu akan memiliki rIsiko politik tidak
ringan.
Yudhoyono paham akan suara-suara eksternal yang
mengingatkan bahwa partai modern tidak boleh bergantung pada figur
perseorangan. Namun, ia tampaknya lebih merasakan kebutuhan internal yang
terbaik bagi partai sehingga ia sementara meminggirkan kritikan dari berbagai
penjuru.
Yudhoyono memang berhadapan dengan situasi internal
Demokrat yang serba umit. Menjelang waktu penyelenggaraan Pemilu 2014 yang
tidak lagi panjang, persiapan Demokrat tersendat oleh dua beban: kepemimpinan
dan elektabilitas. Mencari pengganti Anas Urbaningrum ternyata bukan persoalan
mudah. Keberhentian Anas masih menyisakan kekhawatiran bahwa siapa pun yang
mengganti masih berisiko pada tak terhentinya perseteruan internal antarfaksi.
Dengan kata lain, siapa pun pemimpin baru Demokrat juga
bisa terganggu membangun konsolidasi. Padahal, Demokrat memerlukan soliditas
internal yang kukuh untuk menyambut kompetisi.
Sebagai partai pemenang Pemilu 2009, elektabilitas kekinian
Demokrat yang berada dalam rentang satu digit dianggap mencemaskan. Butuh daya
dongkrak kuat untuk memulihkan elektabilitas, setidak-tidaknya dalam angka yang
cukup agar bisa bersaing dengan partai besar lain. Beban elektabilitas seperti
itu akan kesulitan dicapai dalam waktu singkat bila Demokrat tidak mempunyai
pemimpin yang bisa menjamin soliditas internal sekaligus memiliki daya
elektoral tinggi. Untuk menjawab dua beban terdekat itu, hanya Yudhoyono yang
mungkin dilihat internal bisa memecahkan.
Saat ini, sudah lebih dari satu bulan, sejak akhir Maret
2013, Demokrat menjalani babak baru dalam kendali Yudhoyono. Sebelum ini,
posisi Yudhoyono di internal seperti ìtidak tersentuhî. Posisinya serbalevel
atas. Pada posisi seperti itu, figur dia memiliki jarak yang cukup dengan level
kepengurusan di bawahnya. Maka dalam figur Yudhoyono menempel pengaruh
kewibawaan yang kuat.
Ketika partai sedang menuai sentimen positif, Yudhoyono
akan juga memperoleh ganjaran. Sebaliknya, saat partai sedang dalam kondisi
terpuruk, ia masih tetap terjaga citranya. Dalam posisi ketua umum sekarang,
meminjam Michael Foley (2002), telah membuat Yudhoyono sebuah komoditas bincang
yang secara terus-menerus diuji dan dievaluasi kualitas kepemimpinannya.
Jika melihat struktur baru kepengurusan partai, Yudhoyono
memang sudah menanggalkan beberapa jabatan penting, seperti Ketua Dewan Pembina
dan Ketua Dewan Kehormatan, namun upaya untuk makin menguatkan pondasi pengaruh
kepemimpinannya juga terlihat. Hampir seluruh kanal pengambil keputusan penting
di Demokrat dicagak kubu Yudhoyono.
Langkah ini mengartikan bahwa tidak ada pintu celah bagi
loyalis non-Yudhoyono memasuki area inti partai. Meskipun demikian upaya
akomodasi juga terlihat karena tidak seluruhnya loyalis non-Yudhoyono tidak
masuk kepengurusan. Langkah seperti itu memang patut ditempuh guna mencoba
membangun puing internal yang selama ini retak. Dengan kata lain, menjelang
2014 internal partai sebisa mungkin tidak ada suasana gaduh.
Konvensi Capres
Kini, Demokrat bergegas ingin memulihkan elektabilitas.
Selama ini, persepsi negatif publik terhadap Demokrat memang perlahan mulai
mengarat. Keterseretan beberapa kader partai dalam kasus korupsi membuat publik
kian tak percaya pada partai penguasa itu. Kemenangan pada Pemilu 2009 rupanya
tidak dijadikan mandat kepercayaan, tetapi sudah dilihat publik sebagai
instrumen penyimpangan. Inilah yang barangkali akan membuat popularitas
Yudhoyono tidak serta merta berbanding lurus dengan kenaikan elektabilitas
partai, apalagi jika kinerja pemerintahan juga tidak menunjukkan prestasi
luar biasa.
Di samping itu, setelah menyelesaikan urusan penyusunan
daftar caleg, Demokrat juga sedang menggodok rencana konvensi menjaring calon
presiden, yang akan dimulai Juni 2013. Konvensi dilakukan semiterbuka.
Lewat konvensi, Demokrat ingin membuka kesempatan kepada tokoh potensial, baik
dari internal maupun eksternal, untuk maju sebagai capres dari Demokrat.
Pemilik suara dalam konvensi bukan dari internal partai, melainkan melalui
penjaringan aspirasi masyarakat secara langsung. Capres pilihan masyarakat
tersebut akan diputuskan oleh Majelis Tinggi untuk kemudian diusung dalam
Pilpres 2014.
Di luar agenda jangka pendek tersebut, Demokrat semestinya
perlu memikirkan tantangan jangka panjang yang tidak kalah penting. Tantangan
itu adalah membangun Demokrat sebagai partai modern yang tidak menjangkarkan
pengaruh pada figur tertentu. Tidak bisa dimungkiri, Demokrat masih bergantung
pada figur Yudhoyono atau saat ini bahkan mengarah pada kemenguatan
sentralisasi pengaruh Yudhoyono. Meskipun Yudhoyono berjanji akan
menghilang pelan-pelan (fading away)
sehingga partai tidak tergantung kepadanya, langkah tersebut tidak akan mudah,
karena basis pengaruh juga sudah ditancapkan dengan dalam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar