Sabtu, 18 Mei 2013

Ambang Batas Nepotisme


Ambang Batas Nepotisme
Jeffrie Geovanie Founder The Indonesian Institute
SINAR HARAPAN, 17 Mei 2013

SAAT bakal calon anggota legislatif (bacaleg) diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), muncul beragam kritik di tengah-tengah masyarakat. Selain karena adanya nama-nama bacaleg yang ganda—baik yang terdaftar di dua daerah pemilihan (dapil) atau dua partai—juga ada sejumlah nama yang secara telanjang menunjukkan praktik nepotisme.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nepotisme adalah perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat; atau kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah; atau tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan.

Jika merujuk pada pengertian di atas, kecenderungan dinasti yang ditandai dengan munculnya nama-nama anak petinggi partai yang ada dalam daftar bacaleg, seperti anak Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarnoputri, Amien Rais, Agung Laksono, Ratu Atut Chosiyah, Syahrul Yasin Limpo, dan lain-lain, jelas menjadi bagian dari praktik nepotisme.

Praktik nepotisme dinastik tak cuma dipraktikkan di Indonesia dan negara-negara yang umumnya tengah berproses menuju demokrasi. Hal serupa juga terjadi di negara-negara maju yang demokrasinya sudah mapan. Di Amerika misalnya, kita mengenal dinasti Kennedy, dinasti Bush, dan lain-lain.

Karena dipraktikkan di negara maju, ada sejumlah kalangan yang secara apologetik mengatakan bahwa keluarga atau kerabat pejabat publik tidak ada masalah direkrut dalam jabatan-jabatan politik. Berpolitik merupakan hak setiap orang. Hak seseorang tak bisa dibatasi atau dihambat karena faktor demografi, seperti keturunan, usia, tempat tinggal, agama, dan sebagainya.

Oleh karena itu, nepotisme boleh-boleh saja. Apalagi dalam proses perekrutan itu melibatkan rakyat dengan cara memilih secara langsung. Artinya, para kerabat itu akan dipilih secara demokratis.

Jadi apa masalahnya? Menurut saya, tetap ada masalah. Argumen apologetik mungkin bisa diterima secara normatif, tetapi sadarkah bahwa selain para kerabat itu ada ratusan atau bahkan ribuan orang yang menginginkan jabatan yang sama dan kesempatan mereka tertutup karena adanya praktik nepotisme. 
Jangankan menjadi anggota legislatif, sekadar untuk menjadi bacaleg saja mereka sudah tak bisa.

Nepotisme yang dipraktikkan di negara maju dan demokratis seperti Amerika adalah nepotisme dalam ambang batas yang objektif dan rasional. Rakyat Amerika memilih seseorang menjadi pejabat publik didasarkan pada kebutuhan objektif dan rasional, bukan karena sang calon keturunan siapa atau berasal dari mana.

Pada saat yang terpilih ternyata keturunan atau masih kerabat dari pejabat publik yang ada, atau pejabat publik yang ada sebelumnya, tentu hanya faktor kebetulan belaka, bukan faktor yang menentukan.
Nepotisme yang diperbolehkan adalah yang terjadi dalam ambang batas kewajaran, yang terjadi secara kebetulan, yang terjadi dalam batas-batas yang objektif dan rasional. Di luar itu, nepotisme tak bisa dibenarkan.

Di negeri ini, nepotisme sangat jauh dari peristiwa kebetulan, sangat jauh dari kriteria objektif dan rasional. Coba kita bayangkan, bisakah, misalnya, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), bisa terpilih menjadi anggota legislatif dengan suara terbanyak jika ia bukan anak presiden. Bisakah ia menjadi Sekjen Partai Demokrat jika ia bukan anak SBY. Begitupun anak-anak pemimpin partai yang lain.

Jadi apa pun alasannya, meskipun nepotisme secara normatif dibolehkan dalam sistem demokrasi, dalam praktik yang berlangsung di negeri ini, secara substantif bertentangan dengan demokrasi.
Nepotisme dipraktikkan hingga melampaui ambang batas kewajaran sehingga menjadi bentuk pelaksanaan hak dengan cara mengabaikan hak-hak orang lain. Pelaksanaan hak dengan cara menafikan hak orang lain adalah omong kosong.

Selain bertentangan dengan substansi demokrasi, nepotisme yang berlangsung di negeri ini juga bisa disebut sebagai bagian dari praktik korupsi, yakni korupsi jabatan dengan segala fasilitasnya (gaji, tunjangan, penggunaan barang inventaris, dan lain-lain) yang hanya diberikan kepada sanak keluarga.

Dalam proses perekrutan pejabat publik, nepotisme di luar ambang batas bertentangan dengan sistem meritokrasi karena hubungan kekerabatan lebih diutamakan ketimbang faktor kualitas dan kompetensi. Oleh karena nepotisme, sebagian orang-orang yang lebih berkualitas dan memiliki kompetensi menjadi tersingkir, tak diberi kesempatan mendedikasikan ilmu dan keahliannya untuk kepentingan publik.

Lantas bagaimana caranya agar nepotisme di luar ambang batas ini tak berkembang, sementara nama-nama bacaleg yang terindikasi nepotis itu sudah terpampang? Untuk jangka pendek, satu-satunya cara adalah dengan mengritik keras atau bila perlu dengan “kampanye negatif”.

Publik diberi tahu betapa destruktifnya praktik nepotisme jika terus dikembangkan. Oleh karena itu, publik diminta untuk tidak memilih calon pejabat publik yang terindikasi nepotis. Dalam proses demokrasi, praktik “kampanye negatif” diperbolehkan.

Dalam jangka panjang, nepotisme bisa dicegah atau dihambat, pertama, dengan membuat regulasi atau undang-undang yang melarang atau membatasi praktik nepotisme; dan kedua, dengan melakukan pendidikan politik kepada segenap rakyat. Rakyat dididik cara-cara berdemokrasi yang objektif, rasional, sehat dan bermartabat.

Jika semua langkah ini bisa ditempuh, kita yakin, praktik nepotisme yang di luar ambang batas itu (lambat laun) akan berkurang dengan sendirinya. Tinggi rendahnya kesadaran masyarakat akan bahaya nepotisme menjadi faktor penting dalam mengurangi praktik nepotisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar