|
SINAR
HARAPAN, 17 Mei 2013
SAAT
bakal calon anggota legislatif (bacaleg) diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU),
muncul beragam kritik di tengah-tengah masyarakat. Selain karena adanya
nama-nama bacaleg yang ganda—baik yang terdaftar di dua daerah pemilihan
(dapil) atau dua partai—juga ada sejumlah nama yang secara telanjang
menunjukkan praktik nepotisme.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nepotisme adalah perilaku yang
memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat; atau
kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri,
terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah; atau tindakan memilih
kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan.
Jika
merujuk pada pengertian di atas, kecenderungan dinasti yang ditandai dengan
munculnya nama-nama anak petinggi partai yang ada dalam daftar bacaleg, seperti
anak Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarnoputri, Amien Rais, Agung
Laksono, Ratu Atut Chosiyah, Syahrul Yasin Limpo, dan lain-lain, jelas menjadi
bagian dari praktik nepotisme.
Praktik
nepotisme dinastik tak cuma dipraktikkan di Indonesia dan negara-negara yang
umumnya tengah berproses menuju demokrasi. Hal serupa juga terjadi di
negara-negara maju yang demokrasinya sudah mapan. Di Amerika misalnya, kita
mengenal dinasti Kennedy, dinasti Bush, dan lain-lain.
Karena
dipraktikkan di negara maju, ada sejumlah kalangan yang secara apologetik
mengatakan bahwa keluarga atau kerabat pejabat publik tidak ada masalah
direkrut dalam jabatan-jabatan politik. Berpolitik merupakan hak setiap orang.
Hak seseorang tak bisa dibatasi atau dihambat karena faktor demografi, seperti
keturunan, usia, tempat tinggal, agama, dan sebagainya.
Oleh
karena itu, nepotisme boleh-boleh saja. Apalagi dalam proses perekrutan itu
melibatkan rakyat dengan cara memilih secara langsung. Artinya, para kerabat
itu akan dipilih secara demokratis.
Jadi
apa masalahnya? Menurut saya, tetap ada masalah. Argumen apologetik mungkin
bisa diterima secara normatif, tetapi sadarkah bahwa selain para kerabat itu
ada ratusan atau bahkan ribuan orang yang menginginkan jabatan yang sama dan
kesempatan mereka tertutup karena adanya praktik nepotisme.
Jangankan menjadi
anggota legislatif, sekadar untuk menjadi bacaleg saja mereka sudah tak bisa.
Nepotisme
yang dipraktikkan di negara maju dan demokratis seperti Amerika adalah
nepotisme dalam ambang batas yang objektif dan rasional. Rakyat Amerika memilih
seseorang menjadi pejabat publik didasarkan pada kebutuhan objektif dan
rasional, bukan karena sang calon keturunan siapa atau berasal dari mana.
Pada
saat yang terpilih ternyata keturunan atau masih kerabat dari pejabat publik
yang ada, atau pejabat publik yang ada sebelumnya, tentu hanya faktor kebetulan
belaka, bukan faktor yang menentukan.
Nepotisme
yang diperbolehkan adalah yang terjadi dalam ambang batas kewajaran, yang
terjadi secara kebetulan, yang terjadi dalam batas-batas yang objektif dan
rasional. Di luar itu, nepotisme tak bisa dibenarkan.
Di
negeri ini, nepotisme sangat jauh dari peristiwa kebetulan, sangat jauh dari
kriteria objektif dan rasional. Coba kita bayangkan, bisakah, misalnya, Edhie Baskoro
Yudhoyono (Ibas), bisa terpilih menjadi anggota legislatif dengan suara
terbanyak jika ia bukan anak presiden. Bisakah ia menjadi Sekjen Partai
Demokrat jika ia bukan anak SBY. Begitupun anak-anak pemimpin partai yang lain.
Jadi
apa pun alasannya, meskipun nepotisme secara normatif dibolehkan dalam sistem
demokrasi, dalam praktik yang berlangsung di negeri ini, secara substantif
bertentangan dengan demokrasi.
Nepotisme
dipraktikkan hingga melampaui ambang batas kewajaran sehingga menjadi bentuk
pelaksanaan hak dengan cara mengabaikan hak-hak orang lain. Pelaksanaan hak
dengan cara menafikan hak orang lain adalah omong kosong.
Selain
bertentangan dengan substansi demokrasi, nepotisme yang berlangsung di negeri
ini juga bisa disebut sebagai bagian dari praktik korupsi, yakni korupsi
jabatan dengan segala fasilitasnya (gaji, tunjangan, penggunaan barang
inventaris, dan lain-lain) yang hanya diberikan kepada sanak keluarga.
Dalam
proses perekrutan pejabat publik, nepotisme di luar ambang batas bertentangan
dengan sistem meritokrasi karena hubungan kekerabatan lebih diutamakan
ketimbang faktor kualitas dan kompetensi. Oleh karena nepotisme, sebagian
orang-orang yang lebih berkualitas dan memiliki kompetensi menjadi tersingkir,
tak diberi kesempatan mendedikasikan ilmu dan keahliannya untuk kepentingan
publik.
Lantas
bagaimana caranya agar nepotisme di luar ambang batas ini tak berkembang,
sementara nama-nama bacaleg yang terindikasi nepotis itu sudah terpampang?
Untuk jangka pendek, satu-satunya cara adalah dengan mengritik keras atau bila
perlu dengan “kampanye negatif”.
Publik
diberi tahu betapa destruktifnya praktik nepotisme jika terus dikembangkan.
Oleh karena itu, publik diminta untuk tidak memilih calon pejabat publik yang
terindikasi nepotis. Dalam proses demokrasi, praktik “kampanye negatif”
diperbolehkan.
Dalam
jangka panjang, nepotisme bisa dicegah atau dihambat, pertama, dengan membuat
regulasi atau undang-undang yang melarang atau membatasi praktik nepotisme; dan
kedua, dengan melakukan pendidikan politik kepada segenap rakyat. Rakyat
dididik cara-cara berdemokrasi yang objektif, rasional, sehat dan bermartabat.
Jika
semua langkah ini bisa ditempuh, kita yakin, praktik nepotisme yang di luar
ambang batas itu (lambat laun) akan berkurang dengan sendirinya. Tinggi
rendahnya kesadaran masyarakat akan bahaya nepotisme menjadi faktor penting
dalam mengurangi praktik nepotisme. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar