Selasa, 21 Mei 2013

Biografi Kebangsaan


Biografi Kebangsaan
Agus Hernawan ;  Pemerhati Kebangsaan
KOMPAS, 21 Mei 2013

Nasionalisme adalah produk abad ke-18 sampai menjelang habis paruh pertama abad ke-19. Pada masa itu, nasionalisme jadi capaian evolusi ruang hidup umat manusia.
Kotak-kotak bangsa lahir dari kemonarkian kuno yang memecah dan membelah menuju ke entitas baru selaku bangsa. Revolusi Perancis menjadi model konsepsi kebangsaan yang terikat pada will of the people.
Dalam gemuruh revolusi yang dikagumi Bung Karno itu, ada kekuatan borjuasi yang ingin menukar the Ancien Regime dengan tatanan kapitalis, mengusur anasir aristokratis. Di seberangnya, ada semangat menolak akumulasi kekayaan di tangan segelintir orang. Pendukungnya disebut sans culotte, orang-orang tidak berkaus, yang menuntut distribusi kekayaan ke semua orang.
Revolusi Amerika sebagai pemberontakan the white settler atas motherland-nya telah mengarsiteki kemunculan negara-bangsa di atas tanah suku Indian. Brasil, Venezuela, dan Bolivia adalah tempat-tempat di mana white settler menjadi kaum berkuasa. Australia dan Afrika Selatan berada di pola yang sama. Selain itu, ada yang berjalan di atas jalur perjuangan kelas (Rusia), partai komunis dengan basis tani yang dipersenjatai (China dan Vietnam), atau di bawah kepemimpinan kaum populis progresif yang berasosiasi dengan perlawanan tani di pedesaan dan buruh perkebunan (Indonesia).
Biografi kebangsaan
Nasionalisme menemukan tempat tumbuhnya di wilayah kondisi material. Konflik ruang hidup: terampasnya tanah dan tenaga produktif di pedesaan, ditambah kewajiban yang merendahkan atas pekerja pribumi di perkebunan-pertambangan kolonial. Juga human experiences pribumi terpelajar yang menganggur di perkotaan dalam penyebutan yang menghina: inlander. Semua itu jadi kendaraan akumulasi kekecewaan untuk sampai pada kesadaran kebangsaan.
Kesadaran kebangsaan menjadi lengkap ketika mewujud lewat perbendaharaan bahasa yang mudah dicerna oleh persepsi orang-orang biasa. Nasionalisme menjadi ”perlawanan”, ”pemogokan”, dan ”pergerakan”. Di sini pertalian sosial dalam bentuk perserikatan politik terbangun.
Melalui perserikatan politik inilah, nasionalisme dan kolonialisme dibenturkan. Masing-masing mewakili emosi dan imaji yang saling menyerang dengan yang pertama berkonotasi kebebasan, harga diri, dan semangat republiken. Sebaliknya, kata kedua sudah jatuh dalam konotasi pengisapan, penindas, dan keserakahan ”orang putih”.
Sejumlah perbedaan menyangkut batas-batas identitas primordial yang rumit mengalami transformasi di dalam dan melalui perserikatan politik. Orang Jawa, Bali, Minang, Bugis, Madura, dan seterusnya mendapatkan diri mereka dalam satu perkauman baru didasarkan kesamaan posisi sosial selaku penghuni lantai dasar struktur sosial kolonial. Ruang hidup yang sempit penuh pembatasan dan kontrol, segregasi dan diskriminasi sosial, ekonomi dan politik, memberi alasan untuk menyatu.
Kolonialisme mengorganisasi antitesisnya sendiri. Nasionalisme kita menjadi berbeda dengan konflik dalam otoritas tradisional yang didasari kepentingan kalangan bangsawan. Nasionalisme kita bukanlah biografi Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dan tokoh-tokoh lain. Nasionalisme kita adalah biografi aksi massa di bawah aliansi kepemimpinan kaum terdidik progresif.
Sejarah (dis)kontinuitas
Transformasi kesadaran material ke kesadaran kebangsaan bukanlah perjalanan semalam. Ia tidak juga terjadi secara natural. Waktu dan tempat, berbagai pilihan kemungkinan dalam pengorganisasian—termasuk paham tentang bangsa dan model kepemimpinan—juga sejumlah faktor eksternal; masing-masing memiliki andil.
Patok-patok imaji kebangsaan ditegakkan melalui kampanye Indies nationalism (nasionalisme Hindia) dengan kemerdekaan Hindia bagi sekalian anak negeri di seluruh Hindia Belanda. Di sini cakupan dan pengertian ”bangsa”, sebagaimana dikatakan Shiraishi, mulai dapat dibayangkan dengan batas-batas yang jelas.
Satu nama yang distingtif sifatnya dikenakan pada kolektivitas bangsa itu. Sebuah nama tidak sekadar penanda. Ia harus memuat identitas pembeda, pelepasan dari masa lalu, dan patahan menganga dari apa yang dipikirkan sebagai the ancient regime. Karena itu, Soewardi Soerjaningrat memilih nama Indonesia, bukan Oost Indie (Hindia Timur) atau ”Nederlandsch-Indie” untuk kantor berita yang ia dirikan di Den Haag (1913). Nama sama juga dipakai Tan Malaka untuk republik yang diimpikannya (Naar de Republiek Indonesia).
Karena janji sejarah diskontinuitas dari the ancient regime itu, Aceh selaku tanah perdikan memilih jadi bagian semangat dan cita-cita kebangsaan. Bahkan, Manado yang acap dinilai sebagai ”provinsi ke-12” Belanda, dipelopori bekas serdadu KNIL, melakukan pemberontakan melawan Belanda untuk berdiri di bawah tiang bendera yang sama dalam semangat republiken.
Sayangnya, menjadi Indonesia tetap persoalan sampai hari ini. Ada elite di ”halaman depan” dengan material happiness seolah tanpa batas. Ada rakyat di ”halaman belakang” menumpuk rasa sakit yang panjang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar