Kamis, 16 Mei 2013

Sensus Pertanian 2013


Sensus Pertanian 2013
Siswono Yudo Husodo Ketua Yayasan Universitas Pancasila
KOMPAS, 16 Mei 2013

Tanggal 1-31 Mei 2013, Badan Pusat Statistik mengadakan Sensus Pertanian 2013. Sensus Pertanian diselenggarakan 10 tahun sekali di tahun berekor angka tiga.
Dalam perspektif ekonomi, hasil SP 2003 memberi gambaran negatif karena penyempitan lahan pengusahaan petani terus berlanjut, baik karena fragmentasi lahan melalui pewarisan maupun pengalihan fungsi lahan pertanian guna berbagai keperluan hidup manusia. Setiap tahun lebih kurang 100.000 hektar lahan pertanian dikonversi untuk penggunaan lain. Data BPS menunjukkan, dalam kurun 1992-2009, Jawa Barat mengalami pengurangan luas lahan pertanian 247.273 ha. Rata-rata lahan pengusahaan petani di Pulau Jawa menurut SP 2003 adalah 0,3 ha per keluarga, padahal 10 tahun sebelumnya, menurut SP 1993, masih 0,48 ha.
Jumlah petani gurem (petani yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha per keluarga) meningkat. Jika pada 1993 secara nasional jumlah petani gurem 10,9 juta keluarga, pada SP 2003, angka itu naik menjadi 13,7 juta keluarga, bertambah 3,8 juta keluarga dalam 10 tahun. Di Pulau Jawa, dari setiap empat petani, tiga adalah petani gurem. Meningkatnya jumlah petani gurem dan buruh tani menjadi penyebab meningkatnya kemiskinan di desa.
Lebih memprihatinkan
Dengan melihat ketiadaan langkah serius yang diambil merespons hasil SP 2003, SP 2013 ini diperkirakan akan mengungkapkan kenyataan yang lebih memprihatinkan mengenai luas lahan pengusahaan per keluarga petani yang kian menyempit sebab jumlah petani tak berubah banyak, tetapi lahan pertanian menyusut drastis.
Konversi lahan pertanian terbanyak untuk pembangunan permukiman sebagai akibat pertambahan penduduk yang tinggi (1,3 persen per tahun) dan perubahan desa menjadi kota, seperti Cipanas dan Depok; urbanisasi yang membuat kota-kota melebar; lambatnya pembudayaan tinggal di rumah susun; industrialisasi; pelebaran dan pembangunan jalan serta tol; rel KA trek ganda Jakarta-Surabaya dan lain-lain yang semua itu juga kita perlukan.
Pemanfaatan lahan di Indonesia sangat tak seimbang. Tanah Pulau Jawa yang memiliki keunggulan kesuburan telah 80 persen dibudidayakan sangat intensif. Di sisi lain Papua yang luasnya 43 juta ha baru sekitar 700.000 ha atau 1,5 persen yang dibudidayakan; itu pun kurang intensif.
Data dari Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa luas sawah beririgasi di Indonesia 4.784.974 ha dan sawah tak beririgasi (tadah hujan, rawa lebak, pasang surut) 7.748.348 ha. Ada bahaya konversi lahan sawah bagi masa depan produksi pangan strategis, seperti beras, kedelai, dan jagung. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan menyusutnya lahan pertanian, jumlah impor pangan terus meningkat signifikan.
Dalam rentang waktu SP 1993-2003- 2013, negara telah membiarkan pemiskinan rakyat berlangsung di depan mata. Kita menjadi negara yang menganggap petani yang hidup miskin dengan ekonomi subsisten sebagai hal wajar, hal yang sepatutnya. Pemiskinan petani berlangsung cepat karena negara membiarkan berlangsungnya penyempitan lahan pengusahaan per keluarga petani. Kecilnya skala ekonomi usaha para petani kita adalah penyebab utama miskinnya petani, juga penyebab utama proses produksi pangan kurang efisien karena lambatnya mekanisasi yang menjadikan daya saing rendah.
Negara memang tak boleh membiarkan ekonomi subsisten berkembang dan lahan per keluarga petani kian sempit lalu mengembangkan pola-pola bantuan. Petani bukan untuk dikasihani, melainkan diberdayakan, diselesaikan masalah mendasarnya: menyempitnya lahan pertanian dan lahan pengusahaan per keluarga petani.
Ironisnya, saat lahan petani makin menyempit, kita menyaksikan makin luasnya lahan yang dikuasai perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri. Tercatat ada perusahaan asing yang menguasai 400.000 ha kebun sawit tanpa plasma dan ada grup perusahaan hutan tanaman industri menguasai 700.000 ha, 25 persen dari luas suatu kabupaten di Sumatera.
Untuk Indonesia, tak mungkin mengatasi kemiskinan tanpa menyentuh sumber penyebab kemiskinan, yaitu menyempitnya lahan per keluarga petani. Indonesia perlu dua hal sekaligus: perluasan areal pertanian baru sekaligus perluasan lahan pengusahaan per keluarga petani.
Hal ini bisa dicapai dengan mengerem laju konversi lahan melalui implementasi UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan yang bertujuan melindungi keberadaan lahan pangan; pembukaan areal pertanian baru yang luas dari tanah negara yang diberikan kepada para petani gurem (Reforma Agraria). UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang sekarang masih dalam RUU diharapkan nantinya solusi konstruktif.
Luas minimum
UU No 5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria sangat baik semangatnya: membatasi luas maksimum. Pada era ini perlu juga dibatasi luas minimum untuk menjamin kesejahteraan petani. Saya usulkan minimal 4 ha, yang dapat dicapai bertahap. Di Pulau Jawa minimal 0,5 ha sampai dengan 2020; pada 2030 menjadi 1 ha dan 2050 secara nasional minimal 4 ha.
Skala usaha yang menjamin kesejahteraan pelakunya adalah hukum besi usaha. Di Jepang, tak ada petani berlahan kurang dari 1 ha. Di Australia tak ada peternak sapi beternak kurang dari 200 ekor. Saat ini rasio lahan pertanian per penduduk, yaitu perbandingan antara luas lahan pertanian yang ada dan jumlah penduduk, untuk Indonesia 358,5 m² per kapita (hanya lahan sawah) dan 451,1 m² per kapita (lahan sawah kering). Adapun rasio lahan Thailand 5.225,9 m² per kapita, India 1.590,6 m² per kapita, China 1.120,2 m² per kapita, dan Vietnam 959,9 m² per kapita.
Di semua negara yang sukses di bidang pertanian, luas lahan pengusahaan per keluarga petaninya meningkat. Negeri Belanda, yang pernah sukses membangun pertanian di Nusantara (sebelum PD II rata-rata petaninya menguasai lahan 14 ha), sekarang 80 Ha. Negeri ini adalah eks- portir utama produk pertanian di Eropa, lebih unggul dari Perancis dan Spanyol yang wilayahnya lebih luas.
Perluasan lahan pertanian baru terkait dengan upaya meningkatkan produksi pangan nasional. Pada waktu ini, Indonesia sebagai negara agraris berstatus pengimpor pangan yang cukup besar. Sekitar Rp 100 triliun harus dikeluarkan untuk mengimpor pangan setiap tahun. Kita menyambut gembira pembukaan lahan sawah baru di sejumlah daerah. Terluas di Sumatera Selatan yang antara tahun 1992-2009 bertambah dengan 189.324 ha.
Untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi pertambahan penduduk yang 1,3 persen per tahun, perlu tambahan sekitar 100.000 ha lahan pertanian baru untuk tanaman pangan setiap tahunnya. Dan, untuk bisa menjadi eksportir pangan tropis, perluasan lahan pertanian baru untuk tanaman pangan 200.000 ha per tahun.
Indonesia sebagai negara tropis dengan daratan yang luas dan curah hujan yang cukup perlu memanfaatkan peningkatan kebutuhan dunia terhadap produk pertanian tropis, seperti beras, jagung, tebu, kelapa sawit, karet, teh, cokelat, kopi, daging sapi, lada, pala, dan buah tropis, seperti manggis, mangga, durian, dan belimbing, dengan meningkatkan produksi dan kualitas serta meningkatkan kesejahteraan petani. Indonesia berpotensi jadi negara eksportir produk pangan tropis.
Sektor pertanian yang sehat dapat diandalkan memperbaiki empat hal sekaligus: meningkatkan kesejahteraan rakyat yang mayoritas petani, membangun kemandirian pangan, menghemat devisa, dan menciptakan landasan yang kokoh bagi pembangunan ekonomi ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar