|
KOMPAS,
16 Mei 2013
Konsep pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi
nasional kembali dikritik. Kali ini kritik itu diungkapkan Wapres Boediono pada
pembukaan seminar nasional di Lembaga Ketahanan Nasional, Rabu (8/5/2013).
Menurut Boediono, konsep pembangunan iptek
tidak pernah dijabarkan dalam rencana yang konkret, konsisten, terarah, dan
terpadu. Kalaupun ada perencanaan, isinya tak lebih dari kompilasi rencana
kegiatan, bukan integrasi dan daftar langkah di berbagai bidang. Bahkan, hasil
riset pun masih belum ”nyambung” dengan kegiatan ekonomi nyata (Kompas, 10/5/2013).
Pro-iptek
Pernyataan itu mengundang pro dan kontra di
kalangan komunitas pelaku iptek. Pihak yang pro membenarkan pentingnya kritik
dan pernyataan ini. Sebaliknya, yang kontra balik bertanya: apakah benar ada
komitmen pembangunan iptek di negeri ini? Bahkan, di antara pelaku iptek
menuding akar masalahnya justru akibat langsung dari konsep pembangunan
nasional yang jelas-jelas tidak pro-iptek. Lantas, bagaimana konsep pembangunan
yang pro-iptek dimaksud?
Diskusi tentang konsep pembangunan nasional
menyeluruh berbasis iptek (pro-iptek) telah banyak diungkap dalam literatur.
Bank Dunia, misalnya, pada 1980-an pernah menekankan pentingnya konsep ”people centered development” sebagai
cetak biru pembangunan nasional menyeluruh yang perlu diimplementasikan. Namun,
dalam perjalanannya, konsep pembangunan nasional ini tersingkirkan karena
pertimbangan bahwa keunggulan komparatif negeri ini lebih banyak pada kekayaan
sumber daya alam daripada kualitas SDM (Hal Hill, 1998).
Kemudian, pada 1990-an, berkembang paradigma
baru pentingnya pembangunan yang intinya juga menekankan kemampuan SDM dan
iptek dalam pembangunan nasional. Namun, lagi-lagi konsep pembangunan ini juga
dipinggirkan. Pasalnya, konsep pembangunan seperti ini perlu modal besar,
sementara hasilnya akan diperoleh dalam jangka panjang (Zuhal, 2008).
Tentu konsep-konsep di atas tak sesuai lagi
untuk diakomodasi menyikapi dinamika perubahan kekinian dan mendatang.
Pasalnya, kebutuhan domestik dan global kini dan mendatang telah berubah sangat
cepat, tak akan mampu dipenuhi melalui penerapan konsep-konsep pembangunan di
atas. Apalagi, berbagai kebutuhan produk iptek yang kita perlukan dapat mudah,
cepat, dan murah diperoleh di pasar global. Artinya, konsep pembangunan iptek
yang menekankan efisiensi dalam arti ”mengapa kita harus membuat jika lebih
murah membeli” secara proporsional penting dipertimbangkan.
Sayangnya, konsep efisiensi tersebut kini
telah ”masuk angin” atau ”kebablasan”. Bahkan, ada indikasi konsep tersebut
telah menjadi ”kiblat” pembangunan nasional. Hal ini terlihat dari banjirnya
impor produk-produk iptek asing di negeri ini tanpa batas. Produk yang diimpor
tidak saja terbatas pada produk iptek yang belum bisa dibuat sendiri, tetapi
juga produk iptek yang telah bisa dibuat sendiri.
Enam langkah
Akibatnya, tidak saja mematikan produk Iptek
yang dihasilkan oleh usaha kecil dan menengah, tetapi sekaligus menguras devisa
dan menimbulkan defisit neraca perdagangan nasional seperti yang terjadi
belakangan ini. Oleh karena itu, jika benar Wapres Boediono ingin konsep
pembangunan iptek dijabarkan dalam rencana yang konkret, konsisten, terarah,
dan terpadu, maka penciptaan iklim kondusif bagi pengembangan iptek nasional
wajib diberikan.
Untuk itu, paling tidak terdapat enam langkah
yang harus dilakukan. Pertama, melakukan ”pembentengan” terhadap produk-produk
iptek nasional yang secara kompetitif unggul. Kedua, perlu dirumuskan sistem
insentif dan penalti bagi pelaku iptek dan pelaku ekonomi. Sistem insentif dimaksud
agar pelaku iptek dan pelaku ekonomi dapat terus terdorong untuk menghasilkan
dan menggunakan produk iptek nasional hasil karya sendiri.
Ketiga, merumuskan dengan konkret kebijakan
perluasan kerja sama antara pelaku iptek dan pelaku ekonomi nasional. Berbagai
rencana riset oleh pelaku iptek wajib dikoordinasikan dengan kebutuhan pelaku
ekonomi di satu pihak dan kebutuhan pasar di pihak lain.
Keempat, mempercepat kebijakan peningkatan
kualitas SDM bagi pelaku iptek baik pada tingkat magister (S-2) maupun tingkat
doktoral (S-3). Kelima, kebijakan peningkatan kesadaran sosial masyarakat untuk
menggunakan produk iptek dalam negeri melalui kampanye dan sosialisasi di level
nasional dan internasional ataupun melalui praktik nyata oleh tokoh dan
pemimpin nasional dan daerah. Akhirnya, keenam, peningkatan kemudahan investasi
asing sebagai lahan kerja sama pelaku iptek mutlak dilakukan agar hasil
penelitian dapat diserap secara optimal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar