Senin, 20 Mei 2013

Seni dan Gerakan Sosial : Kasus Lumpur Lapindo


Seni dan Gerakan Sosial : Kasus Lumpur Lapindo
Bosman Siregar ;  Pemerhati Masalah Bencana Lumpur Lapindo; Artikel ini sebelumnya berupa makalah yang disampaikan pertama kali dalam diskusi Komunitas Kolektif Hysteria, Semarang, 10 April 2013
IndoPROGRESS, 20 Mei 2013

BAGAIMANA menerjemahkan semangat ‘seni untuk rakyat?’ Itu pertanyaan yang sering menghantui saya. Saya sepakat bahwa seni tidak boleh hanya sekedar mengabdi kepada kepentingan seni itu sendiri sebagaimana ilmu pengetahuan juga tidak boleh hanya tunduk kepada kepentingan ilmu pengetahuan itu sendiri. Pengalaman dalam keterlibatan di dua acara kesenian dalam konteks advokasi pada kasus Lumpur Lapindo, bagi saya, sedikit memberikan gambaran bagaimana semangat ‘seni untuk rakyat’ dapat diterjemahkan ke laku kesenian. Acara pertama adalah Karnaval Rakyat dengan tajuk Bercermin dalam Lumpur yang diadakan di Porong pada 29 Mei 2010, persis pada momen 4 tahun Lumpur Lapindo; acara kedua adalah pameran foto Memori dari Bawah Tanah yang diselenggarakan di 4 kota pada jangka waktu 2010- 2011.
Dua acara ini menarik untuk didiskusikan secara bersama karena dua hal. Pertama, kedua momen kesenian ini adalah bagian dari advokasi terhadap korban Lumpur Lapindo. Kedua, perbedaan sumber dana dalam mengelola momen kesenian. Karnaval Bercermin dalam Lumpur adalah momen yang mandiri karena pembiayaan murni dari sumberdaya para pelaku kesenian yang terlibat, partisipasi warga korban lumpur, dan sekaligus mobilisasi dari khalayak yang lebih luas. Sementara Pameran Foto Memori dari Bawah Tanah dibiayai donor, dalam hal ini HIVOS.
Karnaval Seni Bercermin dalam Lumpur
Latar belakang dipilihnya tema kesenian menjadi bagian dari gerakan advokasi di Porong bagi kami ketika itu sangat masuk akal. Menjelang 4 tahun Lumpur Lapindo, terasa sekali bahwa ada kelelahan di kalangan korban lumpur sendiri karena secara terus-menerus berjuang untuk menuntut hak pembayaran untuk aset mereka yang tenggelam karena banjir Lumpur Lapindo.
Pada saat itu, bencana Lumpur Lapindo yang berawal pada 29 Mei 2006 masih terus berlanjut menyembur. Pada 2010 semburan lumpur berada pada kisaran 100.000 meter kubik per hari yang kesemuanya ditampung dalam tanggul dengan luas sekitar 800 hektar dan secara perlahan dialirkan ke Kali Porong, dan seterusnya ke laut. Salah satu keyakinan yang cukup kuat di kalangan saintis adalah bahwa bencana ini dipicu oleh kelalain pada proses pengeboran di sumur Banjar Panji-1 milik PT Lapindo Brantas Inc. (LBI). Poin initi dari kelalaian tersebut adalah: selubung pemboran (casing) dipasang lebih pendek dari yang direncanakan. Dengan demikian, dari perspektif ini, bencana ini adalah sebuah bencana industri.
Setelah 3 tahun lebih terlibat dalam advokasi memperjuangkan haknya, ada kelelahan yang terjadi di tingkat korban. Mereka yang terpaksa pindah ke daerah baru bukan saja secara fisik kehilangan rumah, tetapi juga kehilangan jaringan sosial yang sudah terbangun lama dalam sistem kampung, kehilangan memori akan kampung mereka yang terkubur di bawah lumpur berganti dengan lingkungan baru yang butuh waktu untuk melakukan adpatasi, dan juga harus berhadapan dengan realitas advokasi yang sangat keras. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya pelemahan gerakan advokasi dan fragmentasi kepentingan yang berujung pada fragmentasi kelompok sosial di kalangan korban lumpur dan aktivis yang melakukan advokasi.
Kondisi ini menjadi latar belakang yang sangat kuat untuk melakukan variasi dalam ide gerakan agar tidak terlalu monoton dengan aksi massa yang sangat “kering”, tetapi juga dibumbui dengan aktivitas kesenian yang barangkali bisa mempertemukan berbagai kelompok.
Lembaga Kebudayaan Taring Padi adalah nama yang keluar pada saat itu, terutama berkat keterlibatan mereka dalam berbagai kasus lingkungan di Indonesia, ide-ide dan karya mereka yang secara kritis memotret berbagai persoalan, dan tentu saja tak ketinggalan pengalaman mereka dalam melakukan mobilisasi massa. Setelah melalui serangkaian diskusi antara kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dengan kelompok seni (Batubara, 2011), pada akhirnya dicapai kesepakatan memang diperlukan momen kesenian dalam aktivitas advokasi di Porong.
Dengan latar belakang seperti di atas, tujuan kegiatan kemudian diturunkan ke dalam beberapa hal (Lafadl Initiatives dan Taring Padi, 2010): 1) Mengingatkan publik akan kasus bencana Lumpur Lapindo; 2) Memperteguh kembali solidaritas korban; 3) menjadikan seni sebagai media ekspresi bagi komunitas; 4) Meredakan ketegangan antara berbagai kelompok korban Lumpur Lapindo melalui aktivitas kebudayaan; 5) Menjaring solidaritas publik yang lebih luas terhadap korban Lumpur Lapindo; 6) Menyediakan ruang alternatif bagi ekspresi korban Lumpur Lapindo; dan 7) Mendokumentasikan dan memublikasikan detil-detil kasus Lumpur Lapindo.
Ketujuh tujuan seperti yang disebutkan di atas diterjemahkan satu-persatu ke dalam bentuk yang lebih operatif. Poin nomer 5 tentang solidaritas langsung dikerjakan di Jogjakarta melalui malam penggalangan dana yang diadakan di Café El-Pueblo. Dalam kesempatan ini, seniman dengan berbagai latar belakang disiplin berpartisipasi dan merelakan pendapatan melalui penjualan karya mereka didonasikan pada kegiatan Bercermin dalam Lumpur. Keterlibatan seniman dan mobilisasi sumberdaya di Café El Pueblo sangatlah luas. Hal ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari peranan Taring Padi dan aktor-aktor yang terlibat di dalamnya dalam membangun jaringan pertemanan dan organisasi selama bertahun-tahun.
Malam penggalangan di Café El-Pueblo melibatkan seniman dengan berbagai latar belakang seperti seni lukis, seni tato, penjualan benda seni yang dibalut dengan program bazaar seni, pemutaran film dokumenter dan pertunjukan seni (tari, teater, puisi, dan musik). Para pembeli lukisan bukan hanya terbatas pada kalangan pencinta seni, tetapi juga dari kalangan peneliti dan akademisi yang terlibat dalam kasus Lumpur Lapindo.
Dalam pelaksanaannya, acara karnaval didahului dengan kunjungan para seniman ke Porong yang tujuannya tentu saja jelas untuk menangkap permasalahan-permasalahan yang ada di lapangan dan kemudian memformulasikannya ke dalam agenda kesenian. Seminggu menjelang hari H, rombongan para seniman sudah ada di Desa Siring Barat dan mulai melakukan kegiatan. Pada kenyataannya, para seniman yang tergabung bukan hanya berasal dari Jogjakarta, tetapi juga dari berbagai kota di Pulau Jawa (Salatiga, Surabaya, Jember, dan Solo) serta seniman manca negara (Australia, Perancis, dan Jerman).
Acara kesenian dibagi menjadi beberapa tema (Taring Padi dan Lafadl Initiatives, 2010), meliputi: 1) Workshop sablon; 2) workshop cukil kayu; 3) workshop wayang kardus; 4) pembuatan ogoh-ogoh dan liong; 5) pembuatan rontek dan spanduk karnaval; 6) panggung rakyat; 7) pertunjukan wayang; dan 8) workshop menggabar dan musik untuk anak-anak.
Secara keseluruhan hampir semua acara yang ada dalam momen peringatan 4 tahun Lumpur Lapindo ini diikuti oleh warga Porong dengan sangat antusias. Deskripsi yang lumayan detil soal partisipasi warga dalam rangkaian acara sudah dijelaskan dalam Batubara (2010 dan 2011) dan Utomo (2010).
Melalui partisipasi yang sangat luas dari warga dengan berbagai kelompok korban Lumpur Lapindo yang sebelumnya mengalami fragmentasi inilah lahir berbagai sintetis karya seni yang menjawab sekaligus tujuan acara nomer 2, 3, 4, 6 dan 7 seperti yang sudah disampaikan di atas. Sementara, pemberitaan media (nasional dan internasional) yang sangat luas menjawab tujuan nomer 1.
Bagaimana sintesis antara pengalaman korban lumpur dan karya seni mewujud dalam acara ini? Lokalitas pertarungan antara Liong dengan patung kepala Aburizal Bakrie (figur kunci dalam kelompok usaha PT LBI) adalah salah satu contoh. Cerita yang berkembang di Porong bahwa sebenarnya di bawah permukaan Bumi bersemayam seekor ular naga yang bertugas menjaga Bumi. Bencana Lumpur Lapindo terjadi karena mata bor di sumur BJP-1 menggerus kepala ular naga sehingga ia murka, dan Bumi pun bocorlah. Wujud ular naga ini juga hadir dalam berbagai media seperti sablon kaos dan spanduk.
Sementara, karya-karya seni yang lain seperti spanduk, kaos sablonan, dan wayang kertas semuanya menjadi alat untuk menyampaikan berbagai macam persoalan yang dihadapi oleh korban Lumpur Lapindo. Kaos dengan tulisan ‘lunasi 20% dan 80%’ adalah susbtansi tuntutan riil dari kelompok Gerakan Pendukung Peraturan Presiden 14/2007 (GEPPRES). Sejarah organisasi GEPPRES sudah direkam dengan sangat baik oleh Utomo (2012). Tuntutan kelompok-kelompok di luar GEPPRES, seperti kelompok desa-desa di luar peta area terdampak, juga masuk ke dalam berbagai asesoris karnaval (spanduk, wayang kertas, dan lukisan anak-anak), yang tak kalah menarik adalah masuknya semangat komunalitas yang sangat kuat ke dalam lirik lagu anak-anak Siring Barat (Batubara, 2011).
Selain mewadahi isu dengan berbagai latar belakang kelompok sosial, asesoris-asesoris yang ditampilkan dalam karnaval juga mewadahi persoalan-persoalan riil di lapangan yang selama ini sering dibidik secara terpisah dalam kampanye LSM, seperti isu ganti rugi yang selain muncul dalam sablon kaos juga muncul dalam lukisan di atas kardus berupa patung manusia yang tinggal rangka dengan mata kiri angka ‘20%’ dan mata kanan angka ‘80%,’ isu kesehatan (dalam spanduk dengan tulisan ‘Gasmu Meracuni Tubuh Kami, Lapindo’), isu lingkungan (dalam lukisan anak-anak bergambar bebek dengan media kardus dan dibumbui tulisan ‘Ternakku Mati Karena Lumpur’), hingga isu yang lebih luas seperti ‘Bangkit dan Lawan Korupsi’ yang hadir dalam lukisan anak-anak di atas kardus, serta ‘Semua Tambang Membahayakan Kehidupan,’ dan ‘Adili Lapindo’ yang hadir dalam spanduk besar.

Pameran Foto Memori dari Bawah Tanah

Ide awal pameran foto ini dibicarakan pertama kali di atas kereta api dari Jogjakarta menuju Surabaya antara penulis dengan Anais Duraffourg (mahasiswi Network of Humanitarian Action/NOHA yang pada saat itu sedang menjalankan program magang di Porong dan mempersiapkan penulisan tesis soal isu human security di kalangan korban Lumpur Lapindo) dan kemudian dipertajam lagi dalam obrolan, kali ini juga di atas kereta, dari Surabaya menuju Jogjakarta, antara penulis dengan Heru Prasetia, seorang kolega di Lafadl Initiatives Indonesia.
Pemicunya, dalam beberpa kali kesempatan berkunjung ke rumah korban Lumpur Lapindo yang baru saja mereka tempati, tak jarang penulis ditunjukkan album keluarga lama. Mereka kemudian bercerita soal rumah yang telah tenggelam, kampung yang terkubur, dan detil-detil momen ketika lumpur datang yang, misalnya, terabadikan dalam sebuah foto tangga yang basah dengan jejak kaki terlihat jelas di atasnya,“lihat lumpurnya di tangga Mas, waktu itu kami terpaksa mengosongkan rumah. Balapan sama lumpur,” demikian cerita pemilik foto ketika penulis memoto ulang foto keluarga itu.
Ide pun tumbuh dan bergulir. Bagaimana mengkerangkai koleksi album keluarga ini hingga menjadi sebuah alat untuk berbicara kepada publik yang lebih luas tentang persoalan mereka? Pameran foto adalah salah satu jawaban. Judul Memori dari Bawah Tanah dipilih karena memang faktual pada saat itu apa yang tersimpan dalam foto album keluarga sudah terkubur di bawah kolam lumpur.

Pada awalnya pameran foto mau digabungkan dengan pembuatan peta rekonstruksi kampung yang sudah tenggelam. Khusus mengenai “peta rekonstruksi kampung yang sudah tenggelam”, ide ini juga pada dasarnya didapatkan dari pengalaman bercerita dengan korban Lumpur Lapindo. Tak jarang dalam kesempatan bercerita keseharian, warga yang ditemui oleh penulis menjelaskan posisi-posisi kampung mereka yang telah tenggelam dengan cara menggambarkannya di buku catatan penulis. Model-model peta seperti ini sudah hadir dalam beberapa kesempatan (Batubara dan Utomo, 2010 dan 2012). Dari pengalaman seperti inilah tantangan datang: mengapa tidak sekalian saja difasilitasi agar warga membuat “peta raksasa” berisi situs yang mereka kenali di kampung mereka yang telah tenggelam?
Dari dua ide sederhana di ataslah konsep yang lebih meyakinkan dituangkan dalam bentuk proposal kegiatan dengan tajuk Memori dari Bawah Tanah, dimana HIVOS berkenan mendukung acara tersebut (Lafadl Initiatives, 2010).

Dalam perjalanannya, konsep pameran foto ini mengalami pergeseran. Ia bukan hanya menjadi pameran foto, tetapi juga media bagi korban Lumpur Lapindo untuk mengidentifikasi permasalahan mereka untuk kemudian menyuarakannya lewat foto (photo voices). Dengan pemikiran seperti itu, maka bentuk operatif dari program ini hadir berupa kelas Hak Asasi Manusia (HAM) bagi para korban Lumpur Lapindo yang terlibat dengan acara ini dan dilanjutkan dengan kelas dan praktik fotografi. Dimana untuk praktiknya, pasca kelas HAM, para peserta membidik sendiri sudut-sudut kehidupan mereka pasca Lumpur Lapindo melalui kamera. Di titik ini sebenarnya orang-orang yang tergabung dalam kegiatan ini sudah sangat meyakini bahwa ‘gambar lebih banyak berbicara ketimbang kata’ (Prasetia, 2011). Barangkali hasilnya akan berbeda andaikata urutannya dibalik: pengambilan foto terlebih dahulu, baru diikuti oleh kelas HAM.
Karena pada dasarnya tidak semua orang terbiasa dengan kamera dalam kehidupan sehari-hari, maka sebagai fasilitator untuk acara pelatihan fotografi, kerjasama dengan kalangan fotografer profesional yang tergabung dalam kelompok Malang Meeting Point (Mamipo) pun digalang.
Dari acara inilah lahir foto-foto yang bercerita banyak sekali tentang kehidupan sehari-hari korban Lumpur Lapindo dan belakangan direproduksi oleh berbagai media massa di dalam terbitan-terbitan mereka. Mulai dari kehidupan Mbah Tamun yang membantu adiknya yang terkena gangguan jiwa hasil karya Intan, coretan-coretan protes yang dicurahkan oleh anak-anak kecil di sebuah tembok di Desa Mindi karya Nizar, foto yang bercerita tentang Nyai Repi di dalam kamarnya dan dalam kehidupan sehari-hari harus dibantu oleh Mbah Tamun dan Mbah Pik yang kehilangan pekerjaan sebagai petani akibat bencana Lumpur Lapindo, hingga Patung Garuda Pancasila yang tidak terawat di sebuah rumah di Desa Siring Barat karena rumah tersebut sudah ditinggalkan pemilikinya karya Budi. Foto terakhir bahkan selanjutnya dipakai menjadi sampul buku Bencana Industri: Kekalahan Negara dan Masyarakat Sipil dalam Penanganan Lumpur Lapindo (Prasetia, 2012).
Pameran foto yang pada awalnya cuma direncanakan akan diadakan di 2 kota (Jakarta dan Jogjakarta), pada kenyataannya melangkah cukup jauh sehingga juga bisa diadakan di 2 kota yang lain (Surabaya dan Malang).
Peserta yang terlibat dalam kegiatan ini juga menyadari bahwa selain sebagai wahana untuk berkreasi bagi mereka, kegiatan ini juga penting untuk menjangkau publik yang lebih luas seperti yang disampaikan oleh salah seorang pengkarya ‘media sangat sering memberitakan Lumpur Lapindo namun, belum pernah ada yang sampai meliput bagaimana realitas masyarakat korban lumpur dan lingkungan mereka. Maka kami pun berupaya untuk memotret ini agar masyarakat luas mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Porong, Sidoarjo’ (Mamipo, 2011).

Tantangan yang Tak Terjawab

Selangkah dari cerita di balik proses kedua momen kesenian seperti yang sudah diceritakan di atas, berlangsungnya momen itu sendiri, dan reaksi publik (berupa pemberitaan media yang luas), ada satu hal yang belum berhasil diinisiasi oleh kedua momen kesenian di atas, yaitu komunitas.
Komunitas menjadi penting karena di situlah sebuah ide terus-menerus didiskusikan. Acara Karnaval Bercermin dalam Lumpur pada 2011 dengan dimotori oleh kalangan seniman yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Taring Padi kembali diadakan di Porong untuk peringatan 5 tahun bencana Lumpur Lapindo. Tetapi intensi, semangat, dan keterlibatan warga tidaklah seluas acara yang sama setahun sebelumnya. Barangkali ide di balik acara tahun 2011 tersebut adalah untuk ‘mempermanenkan’ acara karnaval seni tahunan di Porong sebagai tugu tonggak bagi peringatan bencana Lumpur Lapindo. Tetapi boleh disebut ide ini telah mengalami kegagalan (sementara), karena pada tahun 2012 tidak ada kegiatan dengan model ini di Porong.
Sementara, pameran foto Memori dari Bawah Tanah, sependek yang dapat penulis ikuti, untuk sementara juga tidak mampu membentuk sebuah komunitas anak muda yang menginisiasi kegiatan dengan model yang kurang lebih berada pada jalur ide yang sama di Porong. Meskipun salah seorang di antara peserta pada saat ini sedang merintis karir fotografinya.
Kegagalan membentuk komunitas sebagai jawaban terhadap kebutuhan mendiskusikan ide dan memperteguh keyakinan terhadap nilai-nilai yang dianut sebenarnya dulu pernah kami (Paring Waluyo Utomo dan penulis) coba antisipasi dengan ide menginisiasi kelompok ludruk yang khusus membawakan cerita soal Lumpur Lapindo di Porong. Tetapi ide ini juga tinggal ide karena kami berdua kemudian tersedot lebih banyak ke wilayah advokasi menuntut hak korban Lumpur Lapindo. Ide ini berlalu, begitu saja.
Akan tetapi, menurut hemat saya, ide menginisiasi kelompok seni ini bukan berarti telah selesai. Setidaknya ia pernah dibicarakan. Dan tulisan ini mengambil tempat sebagai media berbagi pengalaman bagi siapa saja, termasuk bagi korban Lumpur Lapindo yang sebenarnya memiliki kecakapan lebih dari cukup untuk menginisiasi sendiri kelompok-kelompok kebudayaan yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan berkebudayaan mereka. 

Kepustakaan:
Batubara, B. dan Utomo, P. W., “Praktik Bisnis di Banjir Lumpur”, dalam: Heru P. dan Bosman B., (editor), 2010. Bencana Industri: Relasi Negara, Perusahaan dan Masyarakat Sipil. Lafadl Initiatives Yogyakarta, Yayasan Desantara, Depok, dan Indonesia Sustainable Energy and Environment, Bandung, hlm. 31-84.
Batubara, B. dan Utomo, P.W., 2012. Kronik Lumpur Lapindo: Skandal Bencana Industri Pengeboran Migas di Sidoarjo. INSIST PRESS, Yogyakarta.
Batubara, B., 2010. Lumpur Lapindo: Mengingat versus Melupakan. Indonesiaartnews; dapat dibaca di: http://indonesiaartnews.or.id/artikeldetil.php?id=80; terakhir dicek pada 3 April 2013.
Batubara, B., 2011. Tosss! Cak Kopral. Etnohsitori; dapat diakses di: http://etnohistori.org/tosssss-cak-kopral-oleh-bosman-batubara.html; terakhir dibuka 3 April 2013
Lafadl Initiatives, 2010. Memori dari Bawah Tanah: Peringatan 5 tahun Lumpur Lapindo (proposal kegiatan). Tidak dipublikasikan.
Lafadl Initiatves dan Taring Padi, 2010. The Other Side of the Mirror: A community-based approach to addressing the social impact of the Lapindo mud disaster (proposal kegiatan). Tidak dipublikasikan.
Mamipo, 2011. Pameran Foto ‘Memori Bawah Tanah.’ Tulisan ini dapat dibaca di: http://mamipo.wordpress.com/2011/07/19/pameran-foto-memori-bawah-tanah/ ; diakses terakhir kali pada 3 April 2013.
Prasetia, H., 2011. Memori dari Bawah Tanah: Mengingat dan memotret hak-hak dasar korban Lumpur Lapindo (pengantar dalam katalog pameran foto Memori dari Bawah Tanah). Lafadl Initiatives, Yogyakarta.
Taring Padi dan Lafadl Initiatives, 2010. Laporan Hasil Kegiatan 4 Tahun Bencana Lumpur Lapindo ‘Bercermin dalam Lumpur’ (laporan kegiatan). Tidak dipublikasikan.
Utomo, P.W., ‘Bangkit di Tengah Keterpurukan: Perjalanan GEPPRES menuntut hak,’ dalam Heru. P. (editor), 2012. Bencana Industri: Kekalahan negara dan masyarakat sipil dalam penanganan Lumpur Lapindo. Desantara, Depok, hlm. 183-243.
Utomo, P.W., 2010. Seni dan Gerakan Sosial. Dapat dibaca di: http://www.desantara.or.id/08-2010/1093/seni-dan-gerakan-sosial/; terakhir dibuka pada 3 April 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar