Selasa, 21 Mei 2013

Dicari, Tim Elite Pemburu Pajak


Dicari, Tim Elite Pemburu Pajak
A Tony Prasetiantono ;  Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada
MEDIA INDONESIA, 20 Mei 2013


SEBUAH ide menarik dilontarkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar (Media Indonesia, 16/5), yakni bagaimana jika penarikan pajak yang selama ini dilakukan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dilakukan swasta? Mungkinkah privatisasi penarikan pajak dilakukan? 

Wacana itu muncul menanggapi tertangkapnya dua pegawai pajak Jakarta Timur oleh Komisi 
Pemberantasan Korupsi (KPK) di Bandara Soekarno-Hatta (15/5). Mereka tertangkap tangan menerima suap S$300 ribu atau sekitar Rp2,3 miliar dari karyawan The Master Steel, sebuah perusahaan wajib pajak yang bergerak di bidang industri baja.

Ide privatisasi pemungutan pajak memang bukan hal baru karena hal itu pernah dilakukan di Indonesia oleh Societe Generale de Surveillance (SGS), sebuah perusahaan jasa inspeksi dari Swiss. Wacana tersebut kini menemukan kembali momentumnya. Menteri Keuangan Agus Martowardojo, menjelang berhenti dari jabatannya, pernah mengeluh penerimaan pajak, bea masuk, dan cukai sepanjang 2012 Rp980 triliun. 

Angka itu memang meningkat daripada tahun-tahun sebelumnya. Namun, sebenarnya pencapaian tersebut masih jauh dari optimal. Banyak praktik transfer pricing, misalnya perusahaan mengaku rugi padahal membukukan keuntungan untuk menghindari pembayaran pajak. Praktik-praktik tersebut sangat diduga melibatkan `orang dalam' Ditjen Pajak. Hal yang sama juga terjadi pada Ditjen Bea dan Cukai.

Jika dibandingkan dengan APBN 2012 yang mencapai sekitar Rp1.500 triliun, berarti 65% kebutuhan anggaran pemerintah ditutup pajak. Sisanya berasal dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dan dividen sumber daya alam (misalnya Freeport dan Newmont), serta dividen BUMN. Jika masih kurang, pemerintah mencarinya dengan cara menerbitkan obligasi pemerintah, yang disebut `pembiayaan defisit anggaran pemerintah'.

Bila penerimaan pajak, bea masuk, dan cukai Rp980 triliun dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) kita sekitar Rp8.200 triliun, akan diperoleh tax ratio sekitar 12%. Rasio itu sangat ketinggalan bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang setara, yang mencapai di atas 16%. Kalau saja kita berhasil menaikkan tax ratio menjadi 16%, akan ada tambahan penerimaan pajak sebesar 4% terhadap PDB atau sekitar Rp328 triliun. Jumlah itu hampir sama dengan subsidi energi (BBM dan listrik) tahun ini yang diperkirakan mencapai minimal Rp320 triliun.

Lakukan banyak hal

Dengan kata lain, bila Ditjen Pajak berhasil mengumpulkan pajak dengan baik dan benar (tidak bocor diselewengkan wajib pajak dan aparat pajak), jumlah tambahan penerimaan pajak dapat dipakai untuk mengongkosi subsidi energi atau bahkan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur vital.

Sebagai perbandingan, biaya Jembatan Selat Sunda Rp200 triliun, subway di Jakarta satu segmen seharga Rp27 triliun, monorel di Jakarta hanya Rp6 triliun, dan jalan tol di atas laut di Bali sepanjang 12 km cuma Rp2,5 triliun. Pendeknya, jika tax ratio mencapai 16%, banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, termasuk dengan menghentikan tambahan utang pemerintah atau defisit anggaran.
Bila kita bandingkan dengan defisit anggaran yang tahun ini direncana kan 2,5% terhadap PDB, yang berarti Rp205 triliun, potensi tambahan penerimaan pajak kita ternyata jauh lebih besar.

Dari kalkulasi itu, bisa kita simpulkan bahwa pemerintah harus melakukan berbagai upaya untuk mengumpulkan pajak lebih besar lagi. Akan tetapi, bagaimana caranya? Pada titik sekarang, skema reformasi birokrasi-yakni pemberian skema remunerasi yang lebih baik di lingkungan Kementerian Keuangan agar aparat birokrasi lebih tahan terhadap godaan suap--ternyata belum cukup berhasil. Penerimaan pajak memang sudah bisa ditingkatkan, tetapi skandal suap model Gayus Tambunan masih terjadi lagi dan berkelanjutan.

Berdasarkan kisah kesuksesan (relatif ) KPK dalam pemberantasan korupsi, serta Densus 88 dalam memberantas terorisme, modus itu bisa diadopsi Ditjen Pajak. Ditjen Pajak saya sarankan membentuk sebuah task force, yang anggotanya diisi `orang dalam' ataupun orang dari luar lingkungan Kemenkeu.
Syarat utamanya satu, mereka harus mempunyai integritas tinggi sehingga tahan suap. Saya yakin, di negeri ini masih ada cukup banyak orang dengan kualifikasi seperti itu. Di kampus, saya menemukan banyak mahasiswa yang geregetan melihat karut-marut suap di negeri ini yang kian lama semakin terang benderang dan memuakkan, sebagaimana skandal impor sapi di Kementerian Pertanian.

KPK ialah contoh sekumpulan orang yang cakap secara teknis yang disertai dengan integritas tinggi. Tim komando seperti itulah yang dibutuhkan Ditjen Pajak. Perlu rekrutmen manusia-manusia cakap dengan kualifikasi ekonomi, akuntansi, manajemen, hukum pidana dan perdata, ekonomi kejahatan (crime economics), dan lain-lain. Mereka juga harus bisa menjalankan tugas spionase, seperti dilakukan KPK saat mengungkap kasus korupsi kuota daging sapi, dengan menyadap telepon, menongkrongi hotel, sampai menyusup penerbangan elite partai hingga ke Medan.

Tugas istimewa

Selanjutnya, tim elite pemburu pajak tersebut ditugasi melacak para pembayar pajak terbesar, baik korporat terbesar maupun individu terkaya. Pada awalnya bisa terfokus pada, misalnya, 20 perusahaan dan 20 konglomerat pembayar pajak terbesar. Jika sukses, itu bisa diperluas menjadi 100 pembayar pajak terbesar korporasi dan individu.

Namun, bisa juga tim tersebut ditugasi khusus untuk kasus-kasus tertentu pada perusahaan-perusahaan dan individu-individu yang dicurigai pemerintah melakukan kecurangan pembayaran pajak (tidak harus top 10 atau top 20).

Berikanlah kepada tim itu logistik yang baik, sebagaimana yang kita lakukan terhadap KPK dan Densus 88. Logistik tersebut meliputi skema remunerasi (gaji dan insentif ) yang kompetitif terhadap pasar tenaga kerja para profesional serta biaya operasional yang memadai untuk mengusut kasus-kasus yang istimewa. Logistik yang memadai itu akan bisa tertutup dari tambahan penerimaan pajak yang akan dihasilkan tim tersebut.

Kalau tim itu lahir, bagaimana posisi Ditjen Pajak? Apakah Ditjen Pajak harus dibubarkan? Tidak. Sebagai ilustrasi, dalam kasus Densus 88, institusi Polri tidak bubar. Densus 88 tetap menjadi organ Polri, tetapi diberi tugas khusus untuk kasus-kasus yang menonjol dan memerlukan penanganan spesial. Tim elite pemburu pajak juga tetap berada di bawah koordinasi Ditjen Pajak. Mereka diperlakukan khusus karena mengemban tugas khusus melawan para bandit pengemplang pajak.

Sudah saatnya Kemenkeu berpikir membentuk tim elite untuk penugasan khusus karena yang dihadapi adalah korporasi besar dan individu kaya raya yang memiliki banyak muslihat canggih untuk mengakali pembayaran pajak. Mereka ialah musuh dengan seribu muslihat, yang tidak mungkin dihadapi dengan cara-cara konvensional. Diperlukan upaya ekstra untuk meredam mereka.

Tim elite pemburu pajak itu bersifat temporer, sampai kita bisa menaikkan tax ratio menjadi, misalnya, 16%. Sesudah mencapai level itu, jika memang masih diperlukan, eksistensi tim itu bisa terus dilanjutkan, bahkan skalanya diperbesar. Sama seperti KPK, kehadirannya bersifat `sementara', tetapi jika masih diperlukan, tidak diketahui sampai kapan KPK akan terus hidup.

Saya yakin masih banyak orang baik di negeri ini, yang bisa dipercaya mengemban tugas menjadi anggota tim elite pemburu pajak. Dengan cara tersebut, tax ratio bisa didongkrak menjadi 16%, bahkan syukur-syukur 20%. Pada saat itulah kita bisa memperkecil utang pemerintah secara tajam sehingga tidak mewariskannya ke anak-cucu. Semoga pemerintah dan DPR merespons wacana ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar