|
SUARA KARYA, 06 Mei 2013
Ternyata tidak banyak yang tahu, 3
Mei adalah Hari Kebebasan Pers Nasional untuk memeringati para jurnalis yang
tewas dalam menjalankan tugasnya. Meskipun jumlah jurnalis korban kekerasan
menunjukkan kecenderungan meningkat, tetapi tidak menyurutkan semangat
kebebasan pers. Saat ini masih banyak negara yang bertindak sangat represif
tidak memberi ruang kebebasan kepada pers. Komite Perlindungan Journalist dalam
laporannya menempatkan Aritrea di Afrika dalam peringkat pertama dari sepuluh
negara dalam daftar negara paling ketat sensornya terhadap pers.
Hal itu membenarkan tesis bahwa
kebebasan pers tidak bisa dilepaskan dari demokratisasi. Di sebuah negara
demokratis maka persnya akan semakin bebas. Indonesia punya pengalaman panjang
ketika Pemerintah Orde Lama dilanjutkan Orde Baru mengekang kehidupan pers
dengan aneka aturan. Kini, kebebasan pers itu jangan sampai lepas lagi dan
harus dipertahankan dengan profesionalisme dan self control.
Ketika dunia memeringati hari
kebebasan pers, tidak ada salahnya direnungkan lagi tentang kebebasan pers di
Indonesia. Meskipun sudah tidak ada lagi perangkat hukum yang bisa menjerat
kebebasan pers, tetapi masih ada beberapa usaha untuk mengembalikan kekuasaan
mengebiri kebebasan pers seperti masa lalu. Karenanya, tetap diperlukan sebuah
lembaga independen untuk menjaga kebebasan pers tersebut. Undang-undang Nomor
40 Tahun 1999 Pasal 15 menyebutkan, Dewan Pers sebagai lembaga independen
melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain. Sebagai pekerja
profesional, wartawan terikat pada kode etik yang harus ditaati dan Dewan Pers
bisa memberikan pertimbangan untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul.
Menjelang pemilu legislatif dan
pemilihan presiden (pilpres) tahun depan, tugas Dewan Pers akan semakin berat
karena munculnya potensi pelanggaran pemberitaan oleh pers. Komisi Pemilihan
Umum (KPU) sudah membuat peraturan Nomor 1 Tahun 2013 yang salah satu bagiannya
mengatur kampanye di media massa, yang hanya diperbolehkan pada masa yang sudah
ditetapkan. Kalau ada pelanggaran, media itu bisa mendapat sanksi diantaranya
pencabutan izin yang membuat media cetak tidak bisa terbit dan media
elektronika tidak bisa siaran.
Aturan ini menimbulkan reaksi
keras di kalangan media massa dan pegiatan kebebasan pers karena kembali kepada
era Orde Baru yang sangat represif kepada pers. Akhirnya pasal sanksi itu
dicabut setelah ditentang karena dianggap bisa mengancam kebebasan pers. Segala
pelanggaran terkait berita, penyelesaiannya diserahkan kepada Dewan Pers.
Pengurus baru Dewan Pers akan
mendapat tugas yang lebih berat untuk mengawasi pemberitaan terutama tentang
pemilu agar sesuai dengan kode etik jurnalistik. Ketaatan terhadap kode etik
adalah bagian dari sikap profesional, karena kode etik - meskipun berupa aturan
- tidak mengatur soal sanksi pidana. Tokoh pers nasional Jacob Utama saat
mendapat gelar doktor kehormatan (honoris causa) ilmu komunikasi jurnalistik
dari UGM, 28 Agustus 2008 mengatakan, kebebasan pers akan lebih besar
manfaatnya jika disertai peningkatan profesional kompetensi, termasuk
profesional etik.
Meskipun saat ini masa kampanye
pemilu masih belum berlangsung, tapi sudah banyak partai politik (parpol) dan
calon presiden melakukan manuver untuk menarik simpati masyarakat melalui
media. Ada parpol dan calon yang memanfaatkan media itu secara profesional dan
transaksional. Apa saja yang diekspos oleh media tentang objek politik, baik
dalam bentuk iklan atau advertorial, semua ada perhitungan bisnisnya. Ruang
iklan di media cetak dan elektronik adalah lahan bisnis untuk mendatangkan
uang.
Tetapi ada juga parpol dan calon
yang mendapat pemberitaan atau promosi gratis dari media, terutama dari media
yang dimilikinya. Beberapa partai peserta pemilu 2014 akan banyak mengandalkan
promosi melalui media yang dimiliki oleh pemimpin partainya. Kalau ekspos ini
dianggap pelanggaran, sanksinya diserahkan saja kepada Dewan Pers, khususnya
kepada pihak media.
Para pelaku media dan pemiliknya
yang berkecimpung di dunia politik, harus instrospeksi terhadap apa yang
dilakukan selama ini. Over ekspos yang dilakukan terhadap ketua partai -
pemilik media - justru bisa menjadi bumerang, bukan popularitas dan
elektabilitas yang dicapai, tetapi antipati. Tanda-tanda itu sebenarnya sudah
dirasakan oleh khalayak pemirsa dan pembaca terhadap tokoh yang terlalu sering
muncul di media, paling tidak sudah muncul resistensi.
Agar adil, sanksi tidak hanya
diberikan kepada media, namun juga kepada partai pelanggar. KPU, akan lebih
mudah memberi sanksi kepada partai ketimbang kepada media, karena partai berada
di bawah kekuasaannya. Partai dan calegnya harus tunduk pada aturan KPU, kalau
tidak, bisa dicoret dari daftar peserta. Hal sama seharusnya diberlakukan
terhadap pelanggaran iklan di media. Dalam hal ini, pihak media menjadi pihak
yang pasif yang hanya menerima pesanan untuk memasang iklan.
Untuk itu KPU harus jeli, karena
tidak menutup kemungkinan muncul upaya rekayasa menyiasati aturan tersebut.
Iklan untuk kampanye - sebelum masa kampanye - bisa saja diganti dengan,
misalnya advertorial atau berita berbayar, ucapan selamat dan iklan layanan
masyarakat. Memang tidak tampak unsur ajakan, tanda gambar atau nomor peserta
pemilu, tapi berbagai uraian yang menyebut nama partai dan caleg sebenarnya
bisa diindikasikan sebagai kampanye terselubung. Itulah sebabnya, KPU harus
menggandeng Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia untuk mengawasi
penyiasatan tersebut.
Bagi kalangan media, sebenarnya
tidak perlu membuat siasat agar lolos dari aturan, karena itu tidak
menggambarkan sikap profesional. Kebebasan pers tidak bisa hanya dimintakan
kepada pihak luar pers, tapi juga harus diusahakan sungguh-sungguh oleh para
insan pers. Kecerobohan pelaku pers yang abai terhadap profsionalismenya
merupakan ancaman tersendiri bagi kebebasan pers. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar