Selasa, 07 Mei 2013

Self Control Kebebasan Pers


Self Control Kebebasan Pers
Husnun N Djuraid ;  Dosen Jurnalistik Universitas Muhammadiyah Malang
SUARA KARYA, 06 Mei 2013


Ternyata tidak banyak yang tahu, 3 Mei adalah Hari Kebebasan Pers Nasional untuk memeringati para jurnalis yang tewas dalam menjalankan tugasnya. Meskipun jumlah jurnalis korban kekerasan menunjukkan kecenderungan meningkat, tetapi tidak menyurutkan semangat kebebasan pers. Saat ini masih banyak negara yang bertindak sangat represif tidak memberi ruang kebebasan kepada pers. Komite Perlindungan Journalist dalam laporannya menempatkan Aritrea di Afrika dalam peringkat pertama dari sepuluh negara dalam daftar negara paling ketat sensornya terhadap pers.

Hal itu membenarkan tesis bahwa kebebasan pers tidak bisa dilepaskan dari demokratisasi. Di sebuah negara demokratis maka persnya akan semakin bebas. Indonesia punya pengalaman panjang ketika Pemerintah Orde Lama dilanjutkan Orde Baru mengekang kehidupan pers dengan aneka aturan. Kini, kebebasan pers itu jangan sampai lepas lagi dan harus dipertahankan dengan profesionalisme dan self control.

Ketika dunia memeringati hari kebebasan pers, tidak ada salahnya direnungkan lagi tentang kebebasan pers di Indonesia. Meskipun sudah tidak ada lagi perangkat hukum yang bisa menjerat kebebasan pers, tetapi masih ada beberapa usaha untuk mengembalikan kekuasaan mengebiri kebebasan pers seperti masa lalu. Karenanya, tetap diperlukan sebuah lembaga independen untuk menjaga kebebasan pers tersebut. Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 15 menyebutkan, Dewan Pers sebagai lembaga independen melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain. Sebagai pekerja profesional, wartawan terikat pada kode etik yang harus ditaati dan Dewan Pers bisa memberikan pertimbangan untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul.

Menjelang pemilu legislatif dan pemilihan presiden (pilpres) tahun depan, tugas Dewan Pers akan semakin berat karena munculnya potensi pelanggaran pemberitaan oleh pers. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah membuat peraturan Nomor 1 Tahun 2013 yang salah satu bagiannya mengatur kampanye di media massa, yang hanya diperbolehkan pada masa yang sudah ditetapkan. Kalau ada pelanggaran, media itu bisa mendapat sanksi diantaranya pencabutan izin yang membuat media cetak tidak bisa terbit dan media elektronika tidak bisa siaran.

Aturan ini menimbulkan reaksi keras di kalangan media massa dan pegiatan kebebasan pers karena kembali kepada era Orde Baru yang sangat represif kepada pers. Akhirnya pasal sanksi itu dicabut setelah ditentang karena dianggap bisa mengancam kebebasan pers. Segala pelanggaran terkait berita, penyelesaiannya diserahkan kepada Dewan Pers.

Pengurus baru Dewan Pers akan mendapat tugas yang lebih berat untuk mengawasi pemberitaan terutama tentang pemilu agar sesuai dengan kode etik jurnalistik. Ketaatan terhadap kode etik adalah bagian dari sikap profesional, karena kode etik - meskipun berupa aturan - tidak mengatur soal sanksi pidana. Tokoh pers nasional Jacob Utama saat mendapat gelar doktor kehormatan (honoris causa) ilmu komunikasi jurnalistik dari UGM, 28 Agustus 2008 mengatakan, kebebasan pers akan lebih besar manfaatnya jika disertai peningkatan profesional kompetensi, termasuk profesional etik.

Meskipun saat ini masa kampanye pemilu masih belum berlangsung, tapi sudah banyak partai politik (parpol) dan calon presiden melakukan manuver untuk menarik simpati masyarakat melalui media. Ada parpol dan calon yang memanfaatkan media itu secara profesional dan transaksional. Apa saja yang diekspos oleh media tentang objek politik, baik dalam bentuk iklan atau advertorial, semua ada perhitungan bisnisnya. Ruang iklan di media cetak dan elektronik adalah lahan bisnis untuk mendatangkan uang.

Tetapi ada juga parpol dan calon yang mendapat pemberitaan atau promosi gratis dari media, terutama dari media yang dimilikinya. Beberapa partai peserta pemilu 2014 akan banyak mengandalkan promosi melalui media yang dimiliki oleh pemimpin partainya. Kalau ekspos ini dianggap pelanggaran, sanksinya diserahkan saja kepada Dewan Pers, khususnya kepada pihak media.

Para pelaku media dan pemiliknya yang berkecimpung di dunia politik, harus instrospeksi terhadap apa yang dilakukan selama ini. Over ekspos yang dilakukan terhadap ketua partai - pemilik media - justru bisa menjadi bumerang, bukan popularitas dan elektabilitas yang dicapai, tetapi antipati. Tanda-tanda itu sebenarnya sudah dirasakan oleh khalayak pemirsa dan pembaca terhadap tokoh yang terlalu sering muncul di media, paling tidak sudah muncul resistensi.

Agar adil, sanksi tidak hanya diberikan kepada media, namun juga kepada partai pelanggar. KPU, akan lebih mudah memberi sanksi kepada partai ketimbang kepada media, karena partai berada di bawah kekuasaannya. Partai dan calegnya harus tunduk pada aturan KPU, kalau tidak, bisa dicoret dari daftar peserta. Hal sama seharusnya diberlakukan terhadap pelanggaran iklan di media. Dalam hal ini, pihak media menjadi pihak yang pasif yang hanya menerima pesanan untuk memasang iklan.

Untuk itu KPU harus jeli, karena tidak menutup kemungkinan muncul upaya rekayasa menyiasati aturan tersebut. Iklan untuk kampanye - sebelum masa kampanye - bisa saja diganti dengan, misalnya advertorial atau berita berbayar, ucapan selamat dan iklan layanan masyarakat. Memang tidak tampak unsur ajakan, tanda gambar atau nomor peserta pemilu, tapi berbagai uraian yang menyebut nama partai dan caleg sebenarnya bisa diindikasikan sebagai kampanye terselubung. Itulah sebabnya, KPU harus menggandeng Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia untuk mengawasi penyiasatan tersebut.

Bagi kalangan media, sebenarnya tidak perlu membuat siasat agar lolos dari aturan, karena itu tidak menggambarkan sikap profesional. Kebebasan pers tidak bisa hanya dimintakan kepada pihak luar pers, tapi juga harus diusahakan sungguh-sungguh oleh para insan pers. Kecerobohan pelaku pers yang abai terhadap profsionalismenya merupakan ancaman tersendiri bagi kebebasan pers.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar