|
SUARA KARYA, 06 Mei 2013
Sebentar lagi kita akan
memperingati hari kelahiran Pancasila, yakni setiap tanggal 1 Juni. Peringatan
ini memang sudah menjadi ritual. Pancasila dipandang sebagai naskah terbaik
yang pernah disusun dan disetujui oleh para pendiri bangsa, serta dipercaya
bisa menaungi keindonesiaan yang merdeka. Pancasila adalah dasar negara
Indonesia. Dengan Pancasila, Indonesia diselimuti seluruh masa lalu, masa
sekarang, dan masa depannya.
Hanya, ada apa dengan Pancasila
sekarang, ketika semua orang bebas beropini? Bagaimana dengan modal-modal
raksasa yang tak terkendali lagi. Dalam hal persatuan, ada kegamangan sejumlah
daerah akan menjadi negara terpisah.
Pancasila sebetulnya mengandung
semua isme yang pernah hidup di Indonesia. Isme pertama adalah teisme, yakni
ketuhanan. Isme kedua adalah humanisme. Isme ketiga adalah nasionalisme. Isme
keempat adalah demokrasi partikular berdasarkan musyawarah, bukan demokrasi
universal yang ultra liberal. Isme kelima adalah sosialisme yang terkait dengan
isme-isme yang lain. Cara membaca kelima isme itu tentulah tidak dalam satu
isme terpisah, melainkan saling mempengaruhi. Demokrasi kita, misalnya, banyak
mengambil dari kitab-kitab suci agama.
Indonesia dibalut oleh kelima isme
itu. Filsafat politik, misalnya, dipengaruhi oleh kelima isme itu.
Partai-partai politik, memberi warna pada masing-masing sila dalam Pancasila,
baik dari sisi ketuhanan, nasionalisme, sampai ide-ide keadilan sosial seperti
jaminan sosial. Hak-hak asasi manusia sungguh dihormati, diberikan landasan
konstitusional dan hukum sehingga tak satu pun manusia di Indonesia boleh
mengalami ketakutan akibat eksploitasi manusia lain.
Masalahnya sekarang, di mana
Pancasila? Sudahkah jadi alam pikiran para pengambil kebijakan? Atau hanya
naskah yang dibaca dalam setiap upacara bendera? Jangan-jangan, bahkan, tidak
lagi menjadi hafalan banyak orang. Pancasila bukan lagi naskah yang layak jadi
bahan perdebatan, sebagai doktrin tertinggi bangsa dan negara Indonesia.
Kita tentu tidak ingin seperti
itu. Sudah selayaknya Pancasila jadi bahan yang terus didengungkan sebagai
barometer kehidupan bangsa Indonesia di segala bidang. Sudahkah pembangunan
ekonomi kita berpihak kepada kemanusiaan? Bagaimana dengan sistem upah bagi
pekerja, apakah mencerminkan filosofi keadilan sosial antara majikan dengan
pekerja? Bolehkah ada gangguan terhadap penganut suatu prinsip ketuhanan, hanya
karena berbeda dalam hal tertentu?
Pada titik ini, saya cenderung
menganjurkan para penyelenggara negara, termasuk calon-calon penyelenggara negara,
untuk berjibaku dengan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila. Sudah
pada ghalibnya kita mengutip dalam pidato, pandangan politik, visi dan misi,
program kerja, sampai coretan di dalam spanduk. Kalau pun, katakanlah, negara
ini dianggap kehilangan pemimpin, menghadapi situasi auto pilot, bukankah
cita-cita keindonesiaan bisa terus dituju ketika sistem nilai kebangsaan kita
sudah tertabur dalam diri warga?
Sebagai bangsa yang sedang
berlayar di tengah samudera raya pergulatan antar negara, Pancasila bisa
menjadi pembeda. Tak perlu ada keseragaman dalam pilihan kebijakan. Kita jangan
lagi terlalu mudah diombang-ambingkan dengan pilihan-pilihan kesetaraan dan
kesejajaran, ketika kebijakan yang dipilih adalah mengadu antara seekor naga
dengan seeekor cacing. Kalau memang kita hanya dan baru sanggup mencapai indeks
tertentu dengan tenaga sendiri, untuk apa menghancurkan cita-cita kemanusiaan
yang termaktub dalam Pancasila yang pada prinsipnya memang berbeda?
Perlindungan terhadap kehidupan
manusia-manusia Indonesia adalah prinsip ke-Pancasila-an hari ini. Mari terus
berikhtiar untuk menjadi seorang yang Pancasilais. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar