|
MEDIA INDONESIA, 06 Mei 2013
Jimat baru bernama pemekaran
daerah? Perta nyaan retorik tersebut jelas bukan mengadaada. Sejak era
desentralisasi dan otonomi daerah, banyak rakyat dan elite politik yang sepertinya
meyakini benar bahwa ‘pemekaran daerah’ merupakan jalan pintas tercepat untuk
mewujudkan kesejahteraan rakyat. Maka, lazimnya sebuah ‘jimat’, tumbal pun
seolah merupakan sebuah keniscayaan yang tak perlu disesali.
Demikianlah, untuk kesekian kalinya isu pemekaran daerah
kembali memakan korban. Akhir bulan lalu (29 April 2013) empat warga tewas
dalam bentrokan yang menuntut terbentuknya Kabupaten Musi Rawas Utara. Tragedi
serupa juga pernah menimpa Ketua DPRD Provinsi Sumatra Utara Abdul Azis Angkat
pada 2009. Disadari atau tidak, dalam realitasnya pelaksanaan desentralisasi
dan otonomi daerah yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik
dan kesejahteraan rakyat justru banyak diwarnai konflik dan kekerasan akibat
pemekaran daerah.
Sesungguhnya sejak 2009 pemerintah telah menetapkan
moratorium pemekaran daerah. Pemerintah juga telah membuat buku desartada
(desain besar penataan daerah) 2010-2025. Namun, kenyataannya pemerintah
sepertinya tak kuasa menahan kuatnya syahwat politik daerah dan pusat. Lima
daerah otonomi baru pun lahir (25/10/2012). Kenyataan itu tentunya telah
menafikan evaluasi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sendiri, Kementerian
Keuangan (Kemenkeu), dan beberapa lembaga nonpemerintah yang menyatakan masalah
pemekaran daerah cenderung berdampak negatif, khususnya, karena telah
menciptakan perluasan struktur organisasi pemerin tah yang membebani pembiayaan
negara dan kapasitas fiskal.
Kalaupun ada beberapa daerah otonom baru yang
relatif berhasil, jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Sebagian besarnya justru
bermasalah.
Bukan Jimat
Secara teoretis proses pemekaran daerah cukup berat karena
harus memenuhi beberapa syarat penting. Persyaratan itu mulai administratif
berupa persetujuan masyarakat lokal, DPRD kabupaten/kota, kepala daerah, dan
persetujuan pemerintah pusat; syarat teknis berupa kemampuan keuangan daerah,
jumlah penduduk, potensi ekonomi daerah, sistem sosial politik, sosial ekonomi,
sosial budaya, pertahanan dan keamanannya; sampai syarat fisik wilayah berupa
keharusan untuk memiliki sekurang-kurangnya lima kabupaten/kota untuk membentuk
provinsi, lima kecamatan untuk kabupaten, dan empat kecamatan untuk kota.
Namun, dalam realitasnya tidak jarang syarat objektif tersebut tenggelam di
bawah derasnya arus kepentingan dan lobi-lobi politik.
Tingginya syahwat politik yang didorong tekad untuk
bagi-bagi kekuasaan di tingkat lokal acap kali membutakan para elite politik
lokal akan kondisi, realitas, kapabilitas, dan kapasitas objektif daerah yang
perlu dimekarkan. Selain karena adanya jaminan dana transfer dari pusat ke
daerah, syahwat politik tersebut juga tumbuh subur karena secara yuridis
instrumen pe raturan perundang-undangan tentang pemekaran daerah terlalu
longgar. Peraturan perundangundangan yang ada bukannya mendorong terjadinya
penggabungan daerah, melainkan cenderung memunculkan maraknya pemekaran daerah.
Apa pun latar belakang dan rationale lahirnya daerah pemekaran, yang jelas pemekaran daerah
bukanlah jimat yang serta-merta dapat mewujudkan kesejahteraan yang diharapkan
rakyat. Sukses tidaknya daerah otonom baru (DOB) sangat bergantung pada kerja
keras dari semua stakeholder dan
kuatnya political commitment dari
elite politik lokal dan birokrasi. Meskipun DOB memperoleh dana alokasi umum
(DAU) dan dana alokasi khusus (DAK), dalam kenyataannya daerahdaerah tersebut
tak mudah untuk dikembangkan secara cepat. Ada banyak tantangan dan persoalan
berat yang umumnya dihadapi DOB, mulai kualitas SDM aparat pemerintah daerah
(pemda) dan legislatif yang rendah, sarana dan prasarana pemerintahan yang
minim, kapasitas manajemen pemerintahan yang tidak memadai, tingkat pendidikan
penduduknya yang rendah, sampai persoalan batas wilayah atau konflik perbatasan
dan lokasi ibu kota.
Fakta memperlihatkan banyak DOB yang cenderung terbelakang
dan gagal memenuhi syarat esensial tujuan didirikannya pemerintahan daerah
baru. Kondisi itu makin menambah daftar panjang jumlah daerah tertinggal.
Dengan kata lain, pelayanan publik tetap buruk, kesejahteraan masyarakat tidak
meningkat, dan demokrasi lokal tidak membaik.
Benarlah bahwa esensi pemekaran daerah ialah memperpendek
rentang kendali (span of control)
antara pengambil kebijakan dan masyarakat dan juga untuk menciptakan pemerataan
pembangunan. Namun, konsentrasi kegiatan dan pertumbuhan pembangunan yang
selama ini berada di ibu kota pemda perlu dicarikan solusinya agar tak
mengulang pengalaman daerah induk. Esensi pewujudan kesejahteraan rakyat
sejatinya terletak pada kemampuan pemerintah dalam membangun system manajemen
pemerintahan dan birokrasi yang melayani rakyat secara merata dan berkeadilan.
Bukan sekadar persoalan pemekaran daerah. Apalagi yang dasar utamanya sekadar
bagi-bagi kekuasaan melalui pemekaran daerah sebagaimana yang cenderung
disaksikan publik secara kasatmata selama ini.
Bahwa gagasan pemekaran daerah bukanlah barang haram jelas
tak bisa dibantah. Karena faktor-faktor objektif tertentu, sejumlah daerah
memang layak untuk dimekarkan. Namun, persoalan krusial yang dihadapi saat ini
ialah perlunya pembenahan proses dan mekanisme pemekaran yang jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan agar munculnya DOB tak justru memunculkan persoalan baru
yang lebih kompleks.
Pentingnya
Moratorium
Sejauh
ini evaluasi yang dilakukan beberapa lembaga, baik pemerintah maupun nonpemerintah,
menunjukkan pemekaran cenderung berdampak negatif ketimbang positif. Beberapa
di antaranya karena, pertama, aspek politik pemekaran daerah terlalu mengedepan
ketimbang aspek objektifnya. Kedua, pemekaran daerah menciptakan perluasan
struktur yang mengakibatkan beban berat pembiayaan. Ketiga, rendahnya kapasitas
fiskal daerah sehingga menyebabkan pemerintah daerah berupaya meningkatkan pendapatan
daerahnya dengan berbagai cara yang justru merugikan masyarakat dan berakibat terhadap munculnya kesenjangan. Keempat, pertambahan
jumlah pemerintah daerah secara simultan meningkatkan jumlah belanja daerah
dalam APBN sehingga membebani negara.
Studi empirik juga menunjukkan pemekaran tidak berkorelasi
positif terhadap kemajuan ekonomi dan tidak mampu mendorong pembangunan daerah
otonom baru. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi daerah tersebut menunjukkan
dengan jelas bahwa meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan
menyejahterakan tak selalu harus dijawab dengan pemekaran daerah. Apalagi di
era teknologi informasi dewasa ini dengan kendala geografis menjadi semakin
kabur. Yang menjadi persoalan pokok ialah lemahnya law enforcement, political will, political commitment elite politik
dan penyelenggara negara untuk bekerja keras demi kepentingan rakyat dan bukan
kepentingan politik pribadi dan kelompok kecilnya saja.
Dengan melihat banyaknya kegagalan DOB, penting bagi
pemerintah untuk menyetop sementara aktivitas pemekaran melalui payung hukum
yang mengikat dan dipatuhi semua pihak. Hal itu perlu dilakukan sambil menunggu
pengesahan revisi UU 32/2004 yang sedang dibahas DPR dan pemerintah.
Meskipun pemekaran bukan barang haram, pengendalian dan
pengawasannya diperlukan agar kerangka kebijakan untuk menetapkan
langkah-langkah alternatif penyediaan pelayanan terhadap daerah-daerah yang
kurang beruntung bisa dirumuskan. Untuk itu, penataan daerah seyogianya menjadi
domain pemerintah pusat dalam arti menjadikan pemerintah sebagai satu-satunya
pintu masuk bagi usulan pemekaran daerah.
Dalam melakukan pembinaan, penting bagi pemerintah pusat
untuk mengarahkan penggunaan insentif fiskal untuk mendorong restrukturisasi
administrasi. Transfer dana alokasi umum dan dana alokasi khusus ke
daerah-daerah juga perlu diarahkan untuk dapat memengaruhi restrukturisasi
administrasi. Bagi daerah, salah satu persoalannya ialah penting nya menjadikan
hasil sumber daya alam (SDA) lokal sebagai pendorong atau pemberi insentif bagi
terwujudnya efisiensi di tingkat daerah yang dapat mempromosikan kerja sama
antardaerah atau peng abungan daerah dari ada ‘pemekaran pemerintahan’.
Pentinglah bagi pemerintah pusat (Kemendagri) untuk menginformasikan
kepada semua daerah bahwa dampak pemekaran kan membuat daerah induk (lama)
menda patkan alokasi DAU dan DAK yang rendah. Demikian juga dengan beberapa
persoalan lainnya, seperti keharusan untuk menyerahkan sebagian SDM
birokrasinya, SDA, dan sumber daya ekonomi (SDE) ke DOB. Tidak sedikit daerah
induk yang kurang menyadari hal tersebut dan akhirnya menimbulkan konflik dan
guncangan politik yang panjang dengan DOB.
Dengan demikian, semua stakeholder
lokal (termasuk daerah induk) dan nasional perlu mempertimbangkan secara sadar
sebelum memberikan dukungannya atas pemekaran daerah.
Persoalan kesejahteraan rakyat bukan sematamata soal
kedekatan fisik masyarakat dengan pemerintah daerahnya, melainkan lebih merupakan
masalah manajemen birokrasi dan organisasi kerja pemerintah daerah dalam
memberikan pelayanan publik.Tidak sedikit masyarakat yang tinggal di kota
sekalipun yang tidak memperoleh pelayanan memadai. Oleh karena itu, keliru bila
dikatakan bahwa pemekaran daerah ialah jimat yang jitu dalam mempercepat
kesejahteraan rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar