Jumat, 24 Mei 2013

Selamatkan Pemilu 2014


Selamatkan Pemilu 2014
Ahmad Halim ;  Staf Bawaslu Provinsi DKI Jakarta
REPUBLIKA, 23 Mei 2013


Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menyampaikan hasil verifikasi kelengkapan administrasi daftar calon dan bakal calon kepada partai politik (parpol) peserta Pemilu 2014. Saat ini, KPU menunggu parpol untuk segera memperbaiki dan atau melengkapi berkas yang dianggap tidak memenuhi syarat (TMS).

Memasuki tahapan perbaikan daftar calon dan syarat calon serta pengajuan bakal calon pengganti anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, para kontestan pemilu tentu akan seoptimal mungkin untuk mendapat rapor yang baik atau dapat predikat memenuhi syarat (MS). Pasalnya, jika masih saja TMS, caleg dari partai tersebut akan dicoret dan tidak bisa ikut Pemilu 2014. Dan, bisa jadi partainya pun tidak bisa menjadi peserta Pemilu 2014.

Dalam tahapan perbaikan kali ini, KPU sangatlah tegas menindak caleg-caleg `bandel' yang tidak mau mengikuti regulasi pemilu. Bawaslu pun sudah mewanti-wanti KPU agar tidak gegabah dalam meloloskan caleg. Main mata antara KPU dan parpol sangat mungkin terjadi karena kedekatan dan rasa persahabatan antara KPU dan para petinggi parpol selama ini. Kemudian, dalam masa perbaikan ini pula banyak partai yang merapat ke KPU atau sekadar datang dan silaturahim. 

Hal ini memang tidak ada dalam aturan perundangan-undangan pemilu. Namun dalam konteks etika, hal tersebut sungguh melanggar dan membuat integritas seorang komisioner KPU dipertanyakan. Pada masa perbaikan ini, KPU sendiri memberikan batas waktu hingga 22 Mei 2013. Jika dalam waktu tersebut para parpol belum menyerahkan hasil berkas atau belum memperbaikinya, siap-siaplah parpolnya didiskualifikasi dan tidak terdaftar sebagai peserta Pemilu 2014.

Apatisme masyarakat

Jika kita melihat calon peserta bakal calon legislatif (bacaleg) Pemilu 2014 kali ini, sangatlah memperihatinkan. Rasa apatisme masyarakat pun masih sangat tinggi. Pasalnya, pertama, caleg yang maju pada Pemilu 2014 nanti adalah mereka yang duduk di DPR saat ini dan masyarakat pada umumnya sudah mengetahui kebobrokan para anggota dewan terpilih dalam Pemilu 2009 lalu.
Kedua adalah politik dinasti. Saat ini, masih banyak bacaleg yang mempunyai hubungan kekeluargaan dan mereka mendaftrakan diri sebagai caleg dari parpol yang berbeda atau yang sama. 

Hal tersebut akan merusak demokrasi itu sendiri karena DPR nanti akan menjadi dewan perkumpulan keluarga. Dan ketiga adalah penyelenggara yang tidak netral. Banyaknya komisioner KPU yang masuk penjara karena keberpihakannya dalam mendukung salah satu pasangan calon menjadikan pemilu berjalan tidak sehat. Masyarakat tentu merasa pencoblosan hanyalah seremonial belaka.

Tiga hal inilah yang membuat masyarakat semakin apatis terhadap pemilu mulai dari 2004, 2009, dan 2014. Jadi, sangatlah tidak berlebihan jika Edward Aspinall, profesor politik Asia Tenggara di Departemen Perubahan Sosial dan Politik di ANU, mengatakan bahwa pada Pemilu 2013 Malaysia, semua masyarakatnya bersemangat untuk datang di tempat pemilihan suara untuk menentukan masa depan pemerintahan. Semangat ini yang tak ada di Indonesia.

Ada beberapa faktor yang harus diperbaiki, baik dari kualitas para calon anggota legistatif, regulasi kepemiluan, maupun penyelenggara itu sendiri. Jika ketiga faktor ini sudah baik, Pemilu 2014 pun pasti akan menghasilkan wakil-wakil yang diimpikan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Pertama adalah caleg. Sistem kaderisasi dalam sebuah partai politik mestinya berjalan baik agar setiap parpol siap dengan calon yang layak maju dan dijual ke publik saat pemilu mendatang. Ini sangatlah penting karena saat ini parpol selalu sembarangan dalam mengusung kader. 

Bahkan, saat ini parpol membuat konvensi untuk memilih capres dengan alasan membuka peluang untuk para negarawan yang tidak mempunyai kendaraan politik. Akan tetapi, menurut penulis, hal tersebut lebih disebabkan tidak adanya kader partai yang berkualitas dan populer. Sistem kaderisasi yang baik adalah menciptakan kader-kader yang berkualitas dan memiliki jiwa kenegarawanan.

Faktor kedua adalah regulasi kepemiluan. Regulasi kepemiluan masih sangat jauh dari harapan. Salah satunya adalah masih bingungnya KPU dengan peraturan dana kampanye itu lebih disebabkan pemasukan para caleg atau parpol untuk pemilu bisa dideteksi. Namun, pengeluaran tidak bisa dan selalu saja lebih besar dari pemasukan atau lebih besar pasak daripada tiang. Dan, ini yang memicu kecurangan seperti politik uang. Input dan output semestinya bisa terdeteksi agar politik uang bisa dicegah dan pemilu berjalan adil.

Dan, faktor yang terakhir adalah penyelenggara itu sendiri. Dari setiap perekrutan KPU, baik pusat, provinsi, kabupaten/kota, selalu berdasarkan kekerabatan, golongan, atau pertemanan. Kualitas kepemiluan selalu menjadi nomor sekian dalam setiap penilaian. Semestinya tradisi seperti ini tidak boleh terjadi mengingat KPU sebagai pengendali permainan (pemilu) yang bersentuhan langsung dengan perebutan kekuasaan. Hal ini mesti harus segera diperbaiki jika KPU menginginkan pemilu yang aman dan damai. 

Memang agak sulit untuk mewujudkan hal tersebut, tetapi apakah kita semua sebagai rakyat tidak mau pemilu yang lebih baik? Atau segala perubahan selalu dengan cara revolusi yang pastinya akan menimbulkan banyak korban jiwa, atau malah lebih suka dengan keadaan seperti ini di mana korupsi, pencucian uang, serta ketidakadilan selalu menjadi topik utama dalam setiap pemberitaan, baik cetak maupun elektronik? Atau kita lebih sepakat dengan pemilu untuk melakukan perubahan di negeri ini?

Memakai sistem demokrasi dalam sebuah negara memang menjadi pilihan yang sangat bijaksana meskipun demokrasi itu sendiri sangatlah mahal jika diterapkan di suatu negara. Akan tetapi, hasil dari demokrasi itu secara fundamental sangatlah baik bagi kehidupan bermasyarakat di mana rakyat dapat memilih langsung dari tingkat pildes, pilbup, pilkada, dan pilpres. 

Rakyat dengan leluasa memililh tanpa harus ada intervensi dari siapa pun. Siapa pemimpin yang dianggap berkualitas dan mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik dan tentunya dengan melalui pemilihan umum (pemilu) yang jujur, adil, transparan, kredibel, dan berkualitas layak dipilih. Inilah demokrasi yang selama ini rakyat rindukan dan Pemilu 2014 akan sangat mungkin untuk dapat diselamatkan dari kecurangan-kecurangan, baik parpol maupun penyelenggara itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar