|
REPUBLIKA, 23 Mei 2013
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah
menyampaikan hasil verifikasi kelengkapan administrasi daftar calon dan bakal
calon kepada partai politik (parpol) peserta Pemilu 2014. Saat ini, KPU
menunggu parpol untuk segera memperbaiki dan atau melengkapi berkas yang
dianggap tidak memenuhi syarat (TMS).
Memasuki tahapan perbaikan daftar
calon dan syarat calon serta pengajuan bakal calon pengganti anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, para kontestan pemilu tentu akan seoptimal
mungkin untuk mendapat rapor yang baik atau dapat predikat memenuhi syarat
(MS). Pasalnya, jika masih saja TMS, caleg dari partai tersebut akan dicoret
dan tidak bisa ikut Pemilu 2014. Dan, bisa jadi partainya pun tidak bisa
menjadi peserta Pemilu 2014.
Dalam tahapan perbaikan kali ini,
KPU sangatlah tegas menindak caleg-caleg `bandel' yang tidak mau mengikuti
regulasi pemilu. Bawaslu pun sudah mewanti-wanti KPU agar tidak gegabah dalam
meloloskan caleg. Main mata antara KPU dan parpol sangat mungkin terjadi karena
kedekatan dan rasa persahabatan antara KPU dan para petinggi parpol selama ini.
Kemudian, dalam masa perbaikan ini pula banyak partai yang merapat ke KPU atau
sekadar datang dan silaturahim.
Hal ini memang tidak ada dalam aturan
perundangan-undangan pemilu. Namun dalam konteks etika, hal tersebut sungguh
melanggar dan membuat integritas seorang komisioner KPU dipertanyakan. Pada
masa perbaikan ini, KPU sendiri memberikan batas waktu hingga 22 Mei 2013. Jika
dalam waktu tersebut para parpol belum menyerahkan hasil berkas atau belum
memperbaikinya, siap-siaplah parpolnya didiskualifikasi dan tidak terdaftar
sebagai peserta Pemilu 2014.
Apatisme masyarakat
Jika kita melihat calon peserta
bakal calon legislatif (bacaleg) Pemilu 2014 kali ini, sangatlah
memperihatinkan. Rasa apatisme masyarakat pun masih sangat tinggi.
Pasalnya, pertama, caleg yang maju pada Pemilu 2014 nanti adalah mereka yang
duduk di DPR saat ini dan masyarakat pada umumnya sudah mengetahui kebobrokan
para anggota dewan terpilih dalam Pemilu 2009 lalu.
Kedua adalah politik dinasti. Saat ini, masih banyak bacaleg yang mempunyai hubungan
kekeluargaan dan mereka mendaftrakan diri sebagai caleg dari parpol yang
berbeda atau yang sama.
Hal tersebut akan merusak demokrasi
itu sendiri karena DPR nanti akan menjadi dewan perkumpulan keluarga. Dan
ketiga adalah penyelenggara yang tidak netral. Banyaknya komisioner KPU yang
masuk penjara karena keberpihakannya dalam mendukung salah satu pasangan calon
menjadikan pemilu berjalan tidak sehat. Masyarakat tentu merasa pencoblosan
hanyalah seremonial belaka.
Tiga hal inilah yang membuat masyarakat
semakin apatis terhadap pemilu mulai dari 2004, 2009, dan 2014. Jadi, sangatlah
tidak berlebihan jika Edward Aspinall, profesor politik Asia Tenggara di
Departemen Perubahan Sosial dan Politik di ANU, mengatakan bahwa pada Pemilu
2013 Malaysia, semua masyarakatnya bersemangat untuk datang di tempat pemilihan
suara untuk menentukan masa depan pemerintahan. Semangat ini yang tak ada di
Indonesia.
Ada beberapa faktor yang harus
diperbaiki, baik dari kualitas para calon anggota legistatif, regulasi kepemiluan,
maupun penyelenggara itu sendiri. Jika ketiga faktor ini sudah baik, Pemilu
2014 pun pasti akan menghasilkan wakil-wakil yang diimpikan oleh seluruh rakyat
Indonesia.
Pertama adalah caleg. Sistem kaderisasi dalam sebuah partai politik mestinya berjalan baik agar setiap parpol siap dengan calon yang layak maju dan dijual ke publik saat pemilu mendatang. Ini sangatlah penting karena saat ini parpol selalu sembarangan dalam mengusung kader.
Pertama adalah caleg. Sistem kaderisasi dalam sebuah partai politik mestinya berjalan baik agar setiap parpol siap dengan calon yang layak maju dan dijual ke publik saat pemilu mendatang. Ini sangatlah penting karena saat ini parpol selalu sembarangan dalam mengusung kader.
Bahkan, saat ini parpol membuat konvensi
untuk memilih capres dengan alasan membuka peluang untuk para negarawan yang
tidak mempunyai kendaraan politik. Akan tetapi, menurut penulis, hal tersebut
lebih disebabkan tidak adanya kader partai yang berkualitas dan populer. Sistem
kaderisasi yang baik adalah menciptakan kader-kader yang berkualitas dan
memiliki jiwa kenegarawanan.
Faktor kedua adalah regulasi kepemiluan.
Regulasi kepemiluan masih sangat jauh dari harapan. Salah satunya adalah masih
bingungnya KPU dengan peraturan dana kampanye itu lebih disebabkan pemasukan
para caleg atau parpol untuk pemilu bisa dideteksi. Namun, pengeluaran tidak
bisa dan selalu saja lebih besar dari pemasukan atau lebih besar pasak daripada
tiang. Dan, ini yang memicu kecurangan seperti politik uang. Input dan output
semestinya bisa terdeteksi agar politik uang bisa dicegah dan pemilu berjalan
adil.
Dan, faktor yang terakhir adalah
penyelenggara itu sendiri. Dari setiap perekrutan KPU, baik pusat, provinsi,
kabupaten/kota, selalu berdasarkan kekerabatan, golongan, atau
pertemanan. Kualitas kepemiluan selalu menjadi nomor sekian dalam setiap
penilaian. Semestinya tradisi seperti ini tidak boleh terjadi mengingat KPU
sebagai pengendali permainan (pemilu) yang bersentuhan langsung dengan perebutan
kekuasaan. Hal ini mesti harus segera diperbaiki jika KPU menginginkan pemilu
yang aman dan damai.
Memang agak sulit untuk mewujudkan
hal tersebut, tetapi apakah kita semua sebagai rakyat tidak mau pemilu yang
lebih baik? Atau segala perubahan selalu dengan cara revolusi yang pastinya
akan menimbulkan banyak korban jiwa, atau malah lebih suka dengan keadaan
seperti ini di mana korupsi, pencucian uang, serta ketidakadilan selalu menjadi
topik utama dalam setiap pemberitaan, baik cetak maupun elektronik? Atau kita
lebih sepakat dengan pemilu untuk melakukan perubahan di negeri ini?
Memakai sistem demokrasi dalam sebuah
negara memang menjadi pilihan yang sangat bijaksana meskipun demokrasi itu
sendiri sangatlah mahal jika diterapkan di suatu negara. Akan tetapi, hasil
dari demokrasi itu secara fundamental sangatlah baik bagi kehidupan
bermasyarakat di mana rakyat dapat memilih langsung dari tingkat pildes,
pilbup, pilkada, dan pilpres.
Rakyat dengan leluasa memililh tanpa
harus ada intervensi dari siapa pun. Siapa pemimpin yang dianggap berkualitas dan mampu membawa perubahan ke arah yang
lebih baik dan tentunya dengan melalui pemilihan umum (pemilu) yang jujur, adil, transparan, kredibel, dan berkualitas layak dipilih. Inilah
demokrasi yang selama ini rakyat rindukan dan Pemilu 2014 akan sangat mungkin
untuk dapat diselamatkan dari kecurangan-kecurangan, baik parpol maupun penyelenggara
itu sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar