Jumat, 03 Mei 2013

Membangun Rasa Saling Percaya


Membangun Rasa Saling Percaya
Abu Su’ud ;  Guru Besar Emeritus Unnes, Guru Besar IKIP PGRI Semarang
SUARA MERDEKA, 02 Mei 2013


"Sudah lama hubungan antara orang dewasa dan anak terkait pendidikan kehilangan rasa saling percaya"

Seperti biasa, selama dua hari pada akhir pekan dua anak terlihat amat menikmati hari-hari dengan riang, bersama sang ayah yang hanya bisa pulang dua hari dari tempat kerja di luar kota. Hari Senin anak-anak itu kembali bersekolah. Yang besar tak ada masalah karena mulai sadar akan manfaat sekolah. Sang adik yang masih TK, kali ini berulah tak mau berangkat. Katanya sakit, badannya terasa panas.

Dengan penuh kasih sayang sang ibu mendekap. Sambil mengelus jidat anaknya, ibu muda itu tersenyum, karena tak merasakan tanda-tanda panas. Lalu dia berkata,” Ayo Nak, kita ke dokter biar mendapat obat. Ayo berpakaian.”

Anak itu, yang merasa dipercaya, segera berpakaian, tentu dipakaikan si ibu. Dokter keluarga yang menangani segera memahami situasi, dan ia juga mengelus jidat anak itu, seraya berkata,” Wah ini harus segera diinfus, biar cepat sehat.”  Sontak bocah TK itu berontak, menolak hendak diinfus,” Aku sudah sembuh kok, mau sekolah saja, Bu.”

Dokter anak itu tertawa, sambil kembali membelai kepala si anak. Adegan itu terjadi karena anak kecil itu merasa diperlakukan secara jujur, dan merasa dipercaya terkait apa yang dikeluhkan. Seandainya ia dipaksa bersekolah dan merasa tidak dipercaya mengenai rasa sakitnya, pastilah ia emoh berangkat. Apalagi bila dimarahi dan dianggap telah berbohong kepada orang tua.

Ini cerita lain. Agak terasa aneh dan heran ketika saya kali pertama memasuki  perpustakaan kampus di Amerika Serikat. Saya lihat orang leluasa membawa tas atau ransel. Di Indonesia, pengunjung perpustakaan harus meninggalkan tas atau ransel di luar karena dicurigai bisa membawa buku keluar, disembunyikan di tas.

Pengecekan oleh pegawai perpustakaan di Amerika juga taktis. Cukup menempelkan pemindai pada tas pengunjung, yang akan membunyikan alarm di meja petugas bila ia menyembunyikan buku. Cara semacam itu terasa lebih nguwongke ketimbang ada penjagaan petugas berseragam. Saya menyebut hal itu sebagai upaya membangun rasa saling percaya, tidak ada tanda-tanda mencurigai.

Kemenipisan Kepercayaan

Di Indonesia, sudah lama hubungan antara orang dewasa dan anak terkait kegiatan pendidikan kehilangan rasa saling percaya di antara mereka. Hubungan mereka tidak terjalin dalam suasana saling percaya. Yang ada, salah-menyalahkan, senantiasa penuh kemarahan dan pengarahan dari orang tua, kalau generasi muda berlaku tak sesuai dengan kemauan orang tua. Padahal sikap dan perilaku  generasi muda  hanyalah meniru apa yang mereka lihat pada sikap dan perilaku orang dewasa.

Sudah lama sekali siswa lebih banyak dijejali hafalan konsep ketimbang berlatih mengambil kesimpulan sebagaimana dimaksudkan konsep pendidikan secara ilmiah. Katanya, siswa diberi kesempatan mengikuti konsep CBSA yang kepanjangannya cara belajar siswa aktif. Realitasnya justru sebaliknya, yaitu cah bodo saya akeh, karena siswa hanya diajari menghafal. Guru lebih sering tampil sebagai makelar ilmu, yang harus dihafalkan siswa.

Sejak awal siswa lebih banyak dikondisikan belajar bersaing dan memenuhi ambisi orang tua. Semisal memperoleh ranking di kelas dan masuk ke jurusan/ perguruan tinggi favorit, meski harus dengan dukungan ”uang wawancara”.

Untuk beberapa lama sejumlah lembaga sekolah meraih ambisi mendapat ranking dalam  bursa sekolah sukses lewat cara memanipulasi angka rapor. Banyak lulusan sekolah itu diterima di perguruan tinggi karena mendasarkan pada nilai murni rapor sekolah.  Jelas ini  langkah tak terpuji dan tidak amanah atau mengkhianati nilai-nilai kejujuran.  Namun sampai sekarang kita belum melihat korelasi antara ranking di sekolah, nilai rapor tinggi, dan sukses di perguruan tinggi.

Kemudian pemerintah tersadar bahwa kualitas pendidikan kita pada tingkat dunia menduduki ranking yang sangat tidak memuaskan. Untuk bisa segera meningkatkan  peringkat dunia, pemerintah memacu dengan ujian nasional (UN). Tak bisa ditolak anggapan orang bahwa tingkat kepercayaan pemerintah makin merosot pada satuan-satuan pendidikan pengelola pendidikan.

Menyadari betapa penting arti UN maka persaingan pun berlanjut di kalangan siswa. Cara apa pun dilakukan. Seni menyontek meningkat menjadi teknologi menyontek. Program kegiatan sekolah lebih diarahkan untuk berlatih mengerjakan soal UN. Sejumlah guru ”membiarkan” proses menyontek itu demi ketercapaian tujuan.

Untuk mengatasi semua itu, pemerintah bersikap berlebihan. Bagaikan mengantisipasi sabotase pada pemilu maka pelaksanaan UN pun mengerahkan polisi untuk mengamankan, terutama dari kemungkinan tindak pembocoran naskah ujian. Siswa juga dicurigai.

Padahal kebocoran soal UN diindikasikan di Jakarta, pada tingkat pengadaan dan distribusi. Belum ada bukti kebocoran soalpada satuan pendidikan. Pelaksanaan UN tahun ini pun menunjukkan karut-marut. Banyak berkas soal dan lembar jawaban tidak lengkap. Berbagai langkah ”kreatif” guru dipraktikkan di lapangan. Guru mengambil inisiatif ”bekerja sama” massal. Tiap kelompok kerja siswa dipandu untuk mengerjakan soal dengan ”bimbingan” guru.

Karena tak ada lembar jawaban yang dilengkapi pe­mindai, siswa menjawab pada kertas lain. Nantinya para gu­ru memindahkan ke lembar jawaban resmi yang diharapkan segera datang. Semoga semua itu bisa menjadi bahan renungan terkait peringatan Hari Pendidikan Nasional. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar