|
SUARA
MERDEKA, 02 Mei 2013
"Sudah lama
hubungan antara orang dewasa dan anak terkait pendidikan kehilangan rasa saling
percaya"
Seperti biasa, selama dua hari pada akhir pekan dua anak
terlihat amat menikmati hari-hari dengan riang, bersama sang ayah yang hanya
bisa pulang dua hari dari tempat kerja di luar kota. Hari Senin anak-anak itu kembali
bersekolah. Yang besar tak ada masalah karena mulai sadar akan manfaat sekolah.
Sang adik yang masih TK, kali ini berulah tak mau berangkat. Katanya sakit,
badannya terasa panas.
Dengan penuh kasih sayang sang ibu mendekap. Sambil
mengelus jidat anaknya, ibu muda itu tersenyum, karena tak merasakan
tanda-tanda panas. Lalu dia berkata,” Ayo Nak, kita ke dokter biar mendapat
obat. Ayo berpakaian.”
Anak itu, yang merasa dipercaya, segera berpakaian, tentu
dipakaikan si ibu. Dokter keluarga yang menangani segera memahami situasi, dan
ia juga mengelus jidat anak itu, seraya berkata,” Wah ini harus segera diinfus,
biar cepat sehat.” Sontak bocah TK itu berontak, menolak hendak diinfus,”
Aku sudah sembuh kok, mau sekolah saja, Bu.”
Dokter anak itu tertawa, sambil kembali membelai kepala si
anak. Adegan itu terjadi karena anak kecil itu merasa diperlakukan secara
jujur, dan merasa dipercaya terkait apa yang dikeluhkan. Seandainya ia dipaksa
bersekolah dan merasa tidak dipercaya mengenai rasa sakitnya, pastilah ia emoh
berangkat. Apalagi bila dimarahi dan dianggap telah berbohong kepada orang tua.
Ini cerita lain. Agak terasa aneh dan heran ketika saya
kali pertama memasuki perpustakaan kampus di Amerika Serikat. Saya lihat
orang leluasa membawa tas atau ransel. Di Indonesia, pengunjung perpustakaan
harus meninggalkan tas atau ransel di luar karena dicurigai bisa membawa buku
keluar, disembunyikan di tas.
Pengecekan oleh pegawai perpustakaan di Amerika juga
taktis. Cukup menempelkan pemindai pada tas pengunjung, yang akan membunyikan
alarm di meja petugas bila ia menyembunyikan buku. Cara semacam itu terasa
lebih nguwongke ketimbang ada penjagaan petugas berseragam. Saya menyebut hal
itu sebagai upaya membangun rasa saling percaya, tidak ada tanda-tanda mencurigai.
Kemenipisan
Kepercayaan
Di Indonesia, sudah lama hubungan antara orang dewasa dan
anak terkait kegiatan pendidikan kehilangan rasa saling percaya di antara
mereka. Hubungan mereka tidak terjalin dalam suasana saling percaya. Yang ada,
salah-menyalahkan, senantiasa penuh kemarahan dan pengarahan dari orang tua,
kalau generasi muda berlaku tak sesuai dengan kemauan orang tua. Padahal sikap
dan perilaku generasi muda hanyalah meniru apa yang mereka lihat
pada sikap dan perilaku orang dewasa.
Sudah lama sekali siswa lebih banyak dijejali hafalan
konsep ketimbang berlatih mengambil kesimpulan sebagaimana dimaksudkan konsep
pendidikan secara ilmiah. Katanya, siswa diberi kesempatan mengikuti konsep
CBSA yang kepanjangannya cara belajar siswa aktif. Realitasnya justru
sebaliknya, yaitu cah bodo saya akeh, karena siswa hanya diajari menghafal.
Guru lebih sering tampil sebagai makelar ilmu, yang harus dihafalkan siswa.
Sejak awal siswa lebih banyak dikondisikan belajar bersaing
dan memenuhi ambisi orang tua. Semisal memperoleh ranking di kelas dan masuk ke
jurusan/ perguruan tinggi favorit, meski harus dengan dukungan ”uang
wawancara”.
Untuk beberapa lama sejumlah lembaga sekolah meraih ambisi
mendapat ranking dalam bursa sekolah sukses lewat cara memanipulasi angka
rapor. Banyak lulusan sekolah itu diterima di perguruan tinggi karena
mendasarkan pada nilai murni rapor sekolah. Jelas ini langkah tak
terpuji dan tidak amanah atau mengkhianati nilai-nilai kejujuran. Namun
sampai sekarang kita belum melihat korelasi antara ranking di sekolah, nilai
rapor tinggi, dan sukses di perguruan tinggi.
Kemudian pemerintah tersadar bahwa kualitas pendidikan kita
pada tingkat dunia menduduki ranking yang sangat tidak memuaskan. Untuk bisa
segera meningkatkan peringkat dunia, pemerintah memacu dengan ujian
nasional (UN). Tak bisa ditolak anggapan orang bahwa tingkat kepercayaan
pemerintah makin merosot pada satuan-satuan pendidikan pengelola pendidikan.
Menyadari betapa penting arti UN maka persaingan pun
berlanjut di kalangan siswa. Cara apa pun dilakukan. Seni menyontek meningkat
menjadi teknologi menyontek. Program kegiatan sekolah lebih diarahkan untuk
berlatih mengerjakan soal UN. Sejumlah guru ”membiarkan” proses menyontek itu
demi ketercapaian tujuan.
Untuk mengatasi semua itu, pemerintah bersikap berlebihan.
Bagaikan mengantisipasi sabotase pada pemilu maka pelaksanaan UN pun
mengerahkan polisi untuk mengamankan, terutama dari kemungkinan tindak
pembocoran naskah ujian. Siswa juga dicurigai.
Padahal kebocoran soal UN diindikasikan di Jakarta, pada
tingkat pengadaan dan distribusi. Belum ada bukti kebocoran soalpada satuan
pendidikan. Pelaksanaan UN tahun ini pun menunjukkan karut-marut. Banyak berkas
soal dan lembar jawaban tidak lengkap. Berbagai langkah ”kreatif” guru
dipraktikkan di lapangan. Guru mengambil inisiatif ”bekerja sama” massal. Tiap
kelompok kerja siswa dipandu untuk mengerjakan soal dengan ”bimbingan” guru.
Karena tak ada lembar jawaban yang dilengkapi pemindai,
siswa menjawab pada kertas lain. Nantinya para guru memindahkan ke lembar
jawaban resmi yang diharapkan segera datang. Semoga semua itu bisa menjadi
bahan renungan terkait peringatan Hari Pendidikan Nasional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar