|
MEDIA INDONESIA, 07 Mei 2013
DUNIA pendidikan selalu menjadi
perhatian masyarakat. Para pegiat pendidikan secara terus-menerus melakukan
evaluasi dan melakukan perbaikan. Yang nyatanya di sana-sini belum sesuai
dengan kebutuhan yang ada. Baik menyangkut sarana-prasarana pendidikan,
profesionalitas guru, kurikulum maupun menyangkut hal teknis, yakni
karut-marutnya ujian nasional beberapa waktu lalu.
Dalam suatu acara simposium membahas kurikulum 2013, salah
satu narasumber bertanya kepada para peserta seminar. Kurang lebih seperti ini
pertanyaannya, “Pilih mana Bapak-Ibu guru, punya anak didik lulus UN, tapi
tidak rajin sikat gigi. Atau, tidak lulus ujian, namun rajin sikat gigi?“
Setelah pertanyaan tersebut dilontarkan, para peserta terlihat gamang menjawab.
Bahkan, sebagian besar kebingungan menjawab pertanyaan tersebut dan banyak yang
abstain.
Dalam keadaan ini, lembaga pendidikan ataupun guru tidak
boleh lagi berkacamata kuda, yang tujuannya hanya mempertinggi kapabilitas
mereka mengejar target kurikulum dan memperbaiki score test para siswanya.
Jadi, tidak hanya fokus kepada keberhasilan tes nasional. Namun, pendi dikan
harus dikaitkan dengan perkembangan dan dinamika lingkungan masyarakat. Pendidikan
harus membawa siswanya mampu memahami bahwa dunia mereka yang hadapi sekarang
berubah cepat. Karena itu, pendidikan tidak diselenggarakan di ruang kosong,
tetapi diselenggarakan di tengah masyarakat yang mengalami perubahan. Baik
perubahan secara budaya, sosial, ekonomi, politik maupun aspek lainnya.
Sengaja atau tidak, selama ini lembaga pendidikan
menanamkan sikap berlebihan pada diri para siswa, yaitu bahwa belajar adalah
untuk menghadapi ujian. Ujian merupakan derajat tertinggi yang harus dikuasai
dan dilalui. Makna belajar sudah menjadi sedemikian sempit dan dangkal (hanya
untuk menghadapi ujian).
Sekolah melupakan betapa pentingnya memperhatikan dan
memberikan penghargaan kepada para siswa dalam rangka mengembangkan potensi
yang dimiliki tiap-tiap individu secara optimal. Hal ini menyebabkan pendidikan
sebagai proses pembudayaan menjadi mandul. Itu karena guru-guru terjebak atau
terkungkung hanya menyukseskan score test
(ujian nasional/UN).
Fondasi kehidupan
Dari
sini, pendidikan kemudian gagal memenuhi ambisi besarnya di dalam menumbuhkan imajinasi kreatif manusia. Pendidikan,
bagaimanapun, merupakan tempat yang bertanggung jawab untuk menumbuhkan tata
nilai kemanusiaan, tata masyarakat yang disemanga ti prinsip keadilan, dan
kesejahteraan bersama. Lebih jauh dari itu, pendidikan meninggalkan tugas
hakikinya, yakni mengembangkan spirit dan sekaligus mengembangkan otak.
Sehingga setiap siswa dapat menemukan dan mengembangkan sesuatu yang bernilai
yang akan menjadi fondasi kehidupannya dan juga belajar menghargai apa yang
dilakukan orang lain (Darling Hammond,
1996).
Senada dengan hal itu, mantan Menteri Pendidikan
(2001-2004), Malik Fadjar, menyatakan bahwa lembaga pendidikan seperti itu
menjadi suwung. Hampa. Sebuah ruang yang tidak menawarkan roh keperluan siswa
guna menjalani kehidupan di masa mendatang. Karena itu, mengajar bukan hanya
menaikkan standar prestasi yang diukur dengan score test, melainkan juga mengaitkan dengan penguasaan dinamika
masyarakatnya. Pendidikan sebaiknya mampu menyediakan ruang dan kesempatan
pembelajaran, bukan hanya mereka yang kreatif dan berhasil secara ekonomi.
Namun, juga bisa memberi ruang dan kesempatan kepada mereka yang tertinggal
secara kultural, ekonomi, ataupun politis.
Dalam konteks praksis di Indonesia, mencerdaskan ke hidupan
bangsa, sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan UUD 45, masih salah
ditafsirkan pemerintah. Pendidikan masih berkutat soal administratif. Namun,
esensi dari pendidikan jauh dari yang diharapkan. Hasilnya, pendidikan belum
mendorong anak didik sejauh mana tingkat produktivitas, daya kreativitas,
kemandirian, dan nalar kritisnya. Dengan begitu, pendidikan belum menjadi
faktor determinasi dalam sebuah perubahan.
Pendidikan nilai budaya, agama, kepercayaan, dan kejayaan
belum sepenuhnya menjadi spirit untuk perubahan. China, misalnya, karena
dipengaruhi pendidikan nilai (budaya, agama, dan kejayaan masa lalu) sekarang
menjadi kekuatan dunia.
Dengan demikian, dimensi nilai pendidikan kita mestinya
benar-benar mengumulasi tiga hal. Pertama, dimensi masa lalu. Kedua, masa kini
dan ketiga, masa depan. Dimensi masa lalu berarti pendidikan yang berakar pada
kebudayaan bangsa, yang berarti berorientasi kepada nilai-nilai luhur bangsa
pada masa lalu.
Pendidikan yang menekankan pentingnya perhatian terhadap
kebutuhan pembangunan nasional disebut pendidikan berpijak pada masa kini.
Adapun pendidikan yang menyiapkan peserta didik bagi peranannya di masa akan
datang berarti pendidikan yang menanamkan dan mengembangkan seperangkat nilai
yang diperlukan untuk masa yang akan datang.
Persiapan
kondisi
Maka, kegamangan para pendidik dalam menjawab pertanyaan tadi
mengindikasikan ketidakjelasan dalam mengimplementasikan dasar tujuan
pendidikan kita. Adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan
manusia Indonesia yang seutuhnya, yaitu manusia yang beriman, bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan, dan
keterampilan, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri
serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Oleh sebab itu, proses pendidikan harus diarahkan untuk
mempersiapkan anak didik menghadapi setiap kondisi yang terjadi dalam
kehidupan. Pendidikan yang digagas sebagai cara paling unggul bagi manusia
untuk mengembangkan dan mempersiapkan generasi sejarah. Konteks pendidikan
kritis belum benar-benar bebas dari paradigma positifistik (Freire, 1999).
Potret semacam itu menantang kita untuk berpikir kritis dan
menemukan celah baru. Sebuah usaha untuk melepaskan diri dari kesan buram dan
perjalanan proses yang makin kehilangan kualitas perlu ditempatkan satu tugas
dan tantangan pendidikan di masa mendatang (merumuskan dan menegakkan sebuah
sistem pendidikan) yang tidak berorientasi pada survival sesaat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar