Selasa, 07 Mei 2013

Jawa Barat Tahun 2050


Jawa Barat Tahun 2050
Saeful Millah  Dosen IAIN Cirebon dpk Universitas Suryakancana (Unsur), 
Ketua ICMI Orda Cianjur
KORAN SINDO, 07 Mei 2013


Menyimak semakin banyaknya kejadian banjir dan longsor yang dalam musim hujan belakangan ini cenderung kian meluas dan memprihatinkan, saya diingatkan kembali oleh tesisnya para pakar yang tergabung dalam Kelompok Roma yang pernah diangkat sekitar 41 tahun yang lalu. 

Dalam karya terkenalnya yang berjudul The Limits to Growth (1972), kelompok yang pernah membuat panas dingin dunia itu pernah mengingatkan kita begini: jika kecenderungan seperti diperlihatkan waktu itu dibiarkan berlangsung tanpa intervensi, maka dunia akan melampaui batas-batas kemampuannya untuk berkembang dalam beberapa generasi lagi dan sesudah itu akan mengalami banyak bencana. 

Pertumbuhan penduduk yang tinggi, pembangunan industri yang tidak terkendali, jumlah penduduk miskin yang terus membengkak, sumber daya alam yang kian terkuras serta lingkungan hidup yang kian terancam, adalah lima kecenderungan global saling terkait yang apabila gagal dikendalikan akan menimbulkan banyak bencana. Bukan semata bencana alam, tetapi juga bencana sosial. Dalilnya, ketika batas-batas sebuah sistem terlampaui, maka ketika itu pula batas-batas sosialnya akan ikut terganggu. 

Tren memprihatinkan 

Itulah pula lima kecenderungan yang sesungguhnya sedang berlangsung di Jawa Barat notabene provinsi di Indonesia yang paling banyak penduduknya. Bahkan kecenderungan yang terjadi di bumi parahyangan ini lebih memprihatinkan lagi. Bayangkan, dengan laju pertumbuhan penduduk yang masih bertengger pada angka 1,89 persen per tahunnya, setiap tahunnya penduduk provinsi yang sudah padat ini masih akan bertambah tidak kurang dari 800 ribu jiwa, atau sekitar 2.200 jiwa setiap harinya. 

Bayangkan pula, jika setiap satu orang penduduk saja membutuhkan setidaknya 0,08 hektar lahan sekadar untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya sesuai standar yang ditentukan para pakar kependudukan, maka hampir bisa dipastikan bahwa setiap tahunnya ada sekitar 64.000 hektar lahan provinsi ini yang pada akhirnya terpaksa harus berubah fungsi menjadi areal pemukiman, jalan raya, pabrik, pasar, tempat parkir, bangunan sekolah sampai lahan pekuburan. 

Itulah pula salah satu faktor yang bisa diangkat untuk menjelaskan, mengapa kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk mengendalikan proses alih fungsi lahan pertanian di provinsi ini begitu sulit untuk diwujudkan. Bukan karena rakyat yang tidak memahaminya, melainkan lebih karena desakan demi untuk mempertahankan hidupnya. Karena pertumbuhan penduduk yang tinggi, persoalan kemiskinan yang saat ini besaran angkanya masih mencatat sekitar 4,5 juta jiwa menjadi sulit untuk diturunkan. 

Padahal, karena keterdesakan hidupnya, sebagian di antara mereka terpaksa harus merambah hutan, bukit atau pegunungan sebagai satu-satunya pilihan untuk mempertahankan hidupnya. Bahkan karena keterdesakan hidupnya pula, sebagian di antara mereka pun nekat memilih daerah-daerah rawan bencana semisal lokasi bantaran kali atau lereng perbukitan, bahkan pegunungan sebagai satu-satunya pilihan untuk dijadikan tempat tinggal sekaligus sumber penghidupannya. Itulah pula yang telah membuat kehidupan penduduk miskin ini menjadi begitu akrab dan sering jadi korban pertama setiap kali ada bencana. 

Tragedi 

Kecenderungan berikut ini lebih parah lagi. Karena tingginya laju pertumbuhan penduduk pada satu sisi dan lemahnya pengendalian tata ruang pada sisi yang lain, ditambah dengan sikap serakah para pemilik modal, maka pertumbuhan industri di provinsi ini pun berlangsung menjadi tidak terkendali. Saking tidak terkendalinya, saat ini kadang kita sulit membedakan mana yang namanya pembangunan dan mana yang namanya pemerkosaan lingkungan, mana yang namanya peningkatan investasi dan mana yang disebut eksploitasi. 

Ironisnya, dengan dalih untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam, dengan dalih untuk meningkatkan PAD, pemerintah daerah sendiri masih sering tergoda untuk begitu saja mengobral kebijakannya yang justru kontra-produktif denganupayapemulihanlingkungan. Itulah pula kecenderungan yang telah menyebabkan proses pemerkosaan lingkungan menjadi kian dahsyat. 

Singkatnya, kombinasi antara tingginya laju pertumbuhan penduduk, besarnya angka kemiskinan, lemahnya pengendalian tata ruang, termasuk lemahnya penegakkan aturan, pertumbuhan industri yang tidak terkendali, sikap serakah sekelompok orang, termasuk kebijakan keliru yang sering dilakukan oleh banyak pemerintah daerah, hadir menyatu dalam sebuah dinamika sistem yang semakin mempercepat proses terjadinya kerusakan lingkungan. 

The Tragedy of Common, itulah alegori terkenal yang pernah diciptakan biolog Garret Hardin (1968) yang saat ini pas digunakan untuk menjelaskan proses terjadinya kerusakan lingkungan yang terjadi di provinsi ini. Disebut demikian, bukan semata karena proses pertumbuhan dan penghancurannya yang melibatkan banyak faktor dan aktor, tetapi dampakyangditimbulkannya pun betul-betul telah memproduksi banyakmalapetakabagi semua. 

Solusi fundamental 

Alegori di atas sengaja diangkat di sini sekadar untuk menegaskan dua hal yang sangat penting dalam merumuskan solusinya. Pertama, saatnya pendekatan yang akan digunakan untuk memecahkan persoalan yang begitu kompleks itu betul-betul harus dilakukan secara integral, bukanparsial. Artinya, bahwabanyak sekali faktor saling terkait dan berpengaruh yang harus diperhatikan dan diintervensi dalam penanganannya. 

Namun apa pun pula solusinya, Pemprov Jawa Barat juga harus mampu memecahkan faktor yang menjadi akar permasalahannya. Bukan sebaliknya, hanya sibuk mengurus gejalanya yang muncul kepermukaan seperti banyak dilakukan belakangan ini. Singkatnya, pendekatan fundamental, bukan simptomatik, adalah prasyarat kedua yang harus jadi fokus perhatian lain dalam pemecahan masalahnya. Di situlah pula arti pentingnya bagi pemerintah provinsi Jawa Barat untuk lebih serius lagi dalam upaya untuk mengendalikan jumlah pendu-duknya. 

Tidak saja melalui pengendalian jumlahnya, tetapi juga melalui pengaturan distribusi atau pemerataannya. Inilah persoalan kompleks dan mendesak yang harus menjadi perhatian pasangan gubernur dan wakil gubernurJawa Barat terpilih dalam lima tahun ke depan. Bayangkan, dengan asumsi bahwa laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,89 persen per tahun seperti yang terjadi saat ini dibiarkan berlangsung tanpa intervensi berarti, maka hampir bisa dipastikan bahwa lama waktu yang dibutuhkan untuk melipatduakan jumlah penduduk (doubling time) provinsi yang sudah begitu padat penduduk kini akan jatuh pada angka 37 tahun. 

Artinya, jika jumlahpenduduk Jawa Barat yang pada tahun 2013 ini diperkirakan akan mencapai angka sekitar 45 - 46 juta, hampir dipastikan bahwa pada tahun 2050 nanti akan jatuh pada angka yang sangat fantastis, yakni 90 juta jiwa. Artinya pula, jika kepadatan penduduk Jawa Barat saat ini sudah mencapai angka 1.220 jiwa/km2, hampir dipastikan pula bahwa pada 2050 nanti akan meningkat dua kali lipat menjadi kira-kira 2.500 jiwa per km2 Dengan beban populasi sebesar itu, kelak pertumbuhan penduduk di bumi parahyangan ini bisa jadi akan berhenti bukan oleh karena ada intervensi yang memang sengaja diciptakan manusia, melainkan lebih banyak diakibatkan oleh terlalu banyaknya bencana alam dan sosial karena memang sudah kelebihan muatan. Bahkan, dengan beban populasi seperti itu pula, beberapa daerah yang selama ini sudah biasa jadi langganan banjir dan longsor, kelak pada tahun 2050 nanti bisa mengalami nasib yang lebih tragis lagi, benarbenar karam. Naudzubillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar