Selasa, 14 Mei 2013

Bukan Menara


Bukan Menara
Sukardi Rinakit  ;  Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
KOMPAS, 14 Mei 2013


Bagi Anda, nama-nama ini mungkin tidak penting. Mereka adalah Baryadi, Haryono, Waspodo, Joko Imam Sentosa, Sumaryono, Joko Siswanto, Eko Wahyu, Sediyono, Sutoko, Suparlan, Ali Mushon, Syaibani, Srimargono, Anton Mulyono, Mastawan, Slamet Sumosentono, Soimin, Suwanto, dan lain-lain.

Bagi saya, mereka adalah figur-figur luar biasa. Mereka menggeliat dari kesulitan hidup, bertarung dengan alam, dan membangun etos diri hingga akhirnya berhasil, jika tidak boleh disebut berjaya. Mereka adalah Pujasuma (Putra Jawa Sumatera). Bukan menara tinggi, congkak, dan bisu yang mereka bangun, tetapi piring-piring nasi. Semua harus cukup makan dan hidup dalam harmoni.

Menyaksikan perjuangan, keuletan, dan ketangguhan mereka di bidang pendidikan dan bisnis, serta kesetiaan menjaga kesenian leluhur, tidak tertutup kemungkinan masa depan pemimpin Indonesia akan lahir dari anak-cucu mereka. Sejarah memang milik para pejuang.

Sikap hidup dan etos kerja Pujasuma tersebut dalam batas-batas tertentu boleh dibilang berbanding terbalik dengan perilaku elite Republik sekarang ini. Jika Pujasuma lebih suka membagi piring makanan daripada membangun menara, sebaliknya para politisi dan pejabat publik gemar membangun menara untuk diri sendiri dan keluarga.

Wujud dari menara itu bermacam-macam. Ada yang berbentuk ambisi tanpa henti untuk menjadi presiden, gubernur, wali kota/bupati, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ataupun Dewan Perwakilan Daerah. Ada pula yang berkehendak membangun dinasti politik. Tidak mengherankan jika banyak politisi akhirnya menjadi tersangka korupsi. Dalam konteks ini, kebajikan yang bersemayam dalam diri mereka sebagian besar terusir oleh syahwat kekuasaan. Mereka lupa membagi piring kehidupan kepada seluruh anak bangsa.

Hasrat para elite untuk membangun menara tersebut membuat praktik politik di Indonesia sampai hari ini terbelenggu sifat patrimonial dan karakter paternalistik, oligarki, dan korup. Visi dan misi politik yang mereka janjikan pun tak lebih dari sekadar pepesan kosong. Akibatnya, konsolidasi demokrasi berjalan lamban. Alih-alih substansial, praktik demokrasi yang berlaku sekarang cenderung prosedural dan defektif.

Perilaku elite yang gemar membangun menara tersebut secara hipotesis telah mendegradasi preferensi politik publik. Era Orde Lama, gerak partai politik dan preferensi masyarakat diurapi dengan ideologi. Seperti dicatat Feith dan Castles (1970), aliran politik yang ada waktu itu bermuara pada pilihan-pilihan ideologi, seperti nasionalisme radikal, tradisionalisme Jawa, Islam, sosialisme demokratis, dan komunisme.

Di masa Orde Baru, preferensi masyarakat turun dari ideologi ke institusi (partai politik). Trikotomi santri, abangan, priayi dari Geertz (1965) secara simplistis menjelma menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Rakyat hanya disodori tiga partai tersebut yang ideologinya sama, yaitu ”pembangunan”.

Kini, preferensi politik masyarakat anjlok dari ideologi dan institusi (partai politik) ke tataran figur. Eksistensi ideologi dan partai politik runtuh. Pasca-keruntuhan ini, siapa pun yang populer akan menjadi tokoh pilihan rakyat. Tokoh itu pula yang dapat mengangkat pamor dan perolehan suara partai pada pemilu.

Hal itu dikonfirmasi dari hasil pemilu di era Reformasi. Popularitas Megawati Soekarnoputri di awal Reformasi, misalnya, mengantarkan PDI-P menuai kemenangan pada Pemilu 1999. Popularitas Susilo Bambang Yudhoyono menjelang Pemilu 2004 mengangkat Partai Demokrat lolos parliamentary threshold dan akhirnya menjadi pemenang Pemilu 2009. Sekali lagi, di sini yang penting adalah figurnya, bukan ideologi ataupun partainya.

Menguatnya preferensi politik publik pada figur tersebut, dalam perspektif budaya politik, bisa dimaknai sebagai kebangkitan, meminjam istilah Liddle (1992), sungai budaya. Saya menyebutnya sungai budaya ”sejarah kampung”. Preferensi politik masyarakat bukan lagi ditentukan ideologi dan aliran, melainkan oleh lingkungan tempat dia tumbuh.

Orang-orang yang tumbuh di lingkungan pertanian padi, misalnya, apabila dilihat dari banyaknya ritus yang dilakukan, kepercayaan mereka pada mitos lebih kuat dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain. Mereka yang mempunyai sejarah kampung perkebunan, utamanya tebu, cenderung lebih ideologis karena menghadapi konflik kelas sejak kecil. Karakter itu tidak pupus meskipun mereka sudah tinggal di kota. Sementara itu, nelayan dan warga perkotaan cenderung terbuka dan rasional.

Dengan berlandaskan sejarah kampung seperti itu, kandidat presiden yang pandai dalam memproduksi mitos akan mendapatkan sambutan hangat di konstituen yang mempunyai sejarah kampung pertanian. Figur yang berhasil mencitrakan diri tegas dan ideologis akan sangat populer di perkebunan. Sementara itu, figur sederhana dan rasional akan menjadi magnet bagi masyarakat yang mempunyai sejarah kampung nelayan dan perkotaan.

Tentu saja kemenangan akan ditentukan oleh kecerdasan dalam menggabungkan ketiga aliran sungai budaya politik tersebut. Sungai budaya sejarah kampung itulah yang kini meluap karena dipicu perilaku para politisi yang pragmatis dan oligarki. Oleh sebab itu, hormat saya kepada para tokoh Pujasuma yang tetap melihat piring lebih penting daripada menara. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar