|
MEDIA
INDONESIA, 17 Mei 2013
KETIKA
belakangan ini aparat keamanan (Densus 88) panen teroris, logis jika mencuat
pertanyaan, apakah di negeri ini sedang terjadi booming (ledakan) teroris? Atau kira-kira mampukah nantinya Densus
88 menghadapi kemungkinan terjadinya booming teroris di mana-mana?
Membaca
fenomena regional, nasional hingga global, tampaknya Densus 88 akan semakin
mendapatkan duri berat dalam pekerjannya. Artinya, ke depan terorisme akan
menjadi salah satu jenis kejahatan yang menantang kemampuannya. Teroris bukan
hanya tidak pernah bisa dibuat mati, melainkan tampaknya akan terus `hadir'
sebagai ancaman serius di masa mendatang.
Teroris sudah membuktikan dirinya
selalu hidup bersama masyarakat dan bangsa di berbagai strata sosial dan level
apa pun. Teroris selalu menjadi cermin corak kehidupan bangsa. Meski demikian,
teroris merupakan kejahatan istimewa (extraordinary
crime), yang tidak setiap orang mampu membaca langkah-langkahnya dengan
pasti.
Teroris bisa mendesain dan
mengonstruksi modus operandi seperti layaknya penjahat jalanan yang merampok
toko emas atau merampok bank. Namun, bisa pula menjadi penjahat yang secara
sporadis menyerang institusi negara dan aparat penegak hukum. Sudah beberapa
kali misalnya, kantor polisi diserang oleh sekelompok teroris dengan persenjataan
yang lebih lengkap dan canggih jika dibandingkan dengan kepunyaan aparat.
Tarmidzi Taher, mantan Menteri
Agama, pernah menyatakan, “Teroris itu laksana hantu.” Namanya juga hantu,
aktivitas teroris sulit diketahui atau dibaca dengan pasti. Teroris bergerak
dengan jaringan rapi yang membuat siapa pun yang bermaksud mengendusnya,
niscaya banyak mengalami kesulitan.
Belum berhasil
Katakanlah
misalnya, meskipun aparat belum lama ini berhasil menembak mati jaringan perampok
emas sebagai jaringan terorisme, tetapi langkah aparat ini belum tergolong sukses
luar biasa. Pasalnya, petunjuk yang mengarah pada tali
temali jaringan teroris nasional dan internasional terputus. Mereka sudah
tertembak dengan petunjuk sementara ‘sedang mengusahakan dapat modal uang’ dalam
jumlah besar.
Itu
artinya teroris tidak pernah mati. Mereka mempunyai berbagai bentuk cara untuk menyukseskan
misinya. Dikalahkan atau digagalkan salah satu modus operandinya oleh aparat,
mereka produksi cara lain. Mereka tak kenal patah arang
untuk mewujudkan gerakan radikalnya.
Pergantian
modus operandi itu juga menunjukkan bahwa mereka yang masuk jaringan teroris merupakan kumpulan orang-orang yang terus belajar
mengonstruksi misi gerakan m dan strategi. Merampok, mid salnya, merupakan jenis
kejahatan yang bisa menghasilkan uang banyak, tetapi tak kentara jika di balik
itu ada misi terorismenya.
Di dunia ini, segala aktivitas
ditentukan lewat proses pembelajaran. Keberhasilan atau kegagalan seseorang
dapat dievaluasi pada sisi kualitas pembelajarannya. Kriminolog kenamaan Edwind
Sutherland, yang menelurkan teori `pembelajaran kriminal' meng ingatkan
masyarakat, bahwa terjadinya kejahatan di tengah masyarakat bukan disebabkan
faktor hereditas atau bawaan (keturunan), tetapi di tentukan oleh kepintaran se
seorang atau sekelompok orang untuk menempatkan kejadian, keadaan, sikap, dan
perilaku masyarakat, atau aspek lainnya sebagai objek yang dipelajarinya.
Dalam ranah `pembelajaran
kriminal' tersebut, menjadi gayung bersambut ketika objek yang hendak
dikriminalisasikannya, ternyata memberikan peluang atau atmosfer buruk dan
anomali. Sehingga hal itu semakin memperlancar dan menyukseskan pembelajaran
kriminal yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang.
Itulah yang membuat Sutherland
tidak sepaham dengan kriminolog konvensional yang menyebut kalau kejahatan di
masyarakat berhubungan dengan problem kemiskinan atau ketidakberdayaan ekonomi
(economical empowerless).
Artinya, Sutherland menolak teori yang menyebut bahwa yang membuat kehidupan di
masyarakat berwajah karutmarut oleh masalah kriminalitas adalah dominasi orang
miskin yang nekat berbuat jahat karena kemiskinannya.
Kelompok mapan
Sutherland memang tidak
menempatkan orang miskin sebagai `aktor ' maraknya kriminalitas. Sebaliknya ia
menempatkan kelompok pintar dan berkedudukan mapan. Kelompok terpelajar inilah
yang divonisnya punya andil besar dalam mencetuskan dan memproduksi kejahatan-kejahatan
berat seperti korupsi dan terorisme.
Kalau orang miskin berbuat jahat,
korbannya berstandar minimalis. Sementara kalau kelompok berkedudukan mapan dan
terpelajar yang berbuat kejahatan, akibatnya sangat makro bagi kehidupan
bangsa. Sehingga, selain mereka itu sendiri sebagai `teroris' yang
mengakibatkan lemahnya keberdayaan bangsa, mereka juga secara tidak langsung
merangsang maraknya kelahiran kelompok `oposisi sosial-keagamaan' yang bermisi
radikalis (teroris).
Faktanya, di negeri ini, kelompok
elite sudah tercatat sukses sebagai aktor terjadinya dan suburnya kejahatan
korupsi. Praktik penyimpangan kekuasaan dengan segala macam modusnya nyaris
tidak pernah habis atau sulit dikatakan berkurang, seperti pepatah `mati satu
tumbuh seribu', yang kesemuanya ini akibat sepak terjang orang pintar.
Dalam kasus terorisme pun
demikian, kalau aktor dalam kasus teroris tidak berasal dari seseorang atau
sekelompok orang terpelajar dan terlatih dengan baik, tentulah tidak akan
sampai teroris bisa menjalankan roda organisasinya dengan rapi dan berkelantan.
Terbukti, meski di satu tempat bisa dibongkar aktivitas teroris, ternyata tidak
ada yang berani menggaransi aktivitas ini merupakan yang terakhir atau akar
terorisnya benar-benar berhasil diputus.
“Jangan remehkan suatu kejahatan
berjaringan rapi dan beraktorkan sekumpulan orang pintar seperti tero orang
pintar seperti teroris“, demikian pesan Khalilul Umar dalam Surat dari teroris
(2012), yang sejatinya menunjukkan bahwa teroris merupakan `ormas terselubung'
yang menerima dan diterima elemen masyarakat tertentu. Sehingga sangat logis
jika banyak yang mengestimasi teroris berhasil membentuk sel di mana-mana atau
sukses merekrut dan mendidik kader dengan `pembelajaran' segala modus baru guna
membuktikan identitasnya.
Hasil penelitian psikolog Sarlito
Wirawan (2010) terhadap 44 tahanan dan narapidana perkara teroris menyebutkan
bahwa ideologi yang dianut mereka (teroris) sudah terbilang `harga mati'.
Prinsip ini khususnya dianut oleh napi/ tahanan papan atas dalam aktivitas
gerakannya. Salah satu penganut `mazhab' ini adalah Abu Dujana.
Temuan Sarlito tersebut setidaknya
mengingatkan kita tentang betapa militannya seseorang atau sekelompok teroris
dalam mempertahankan keyakinan, ideologi, atau kebenaran yang dipelajarinya. Meski
gerakannya dianggap sebagai kekuatan kiri dan subversif, yang berpola
menghancurkan, menciptakan distabilitas, dan menghadirkan atmosfer chaos serta
penderitaan massal, tetapi mereka tetap meyakini kalau gerakan
radikalistik-destruktifnya berada di jalur kebenaran dan bukti pengabdian
berlinier keberagamaan.
Kalau seperti itu yang terjadi,
idealnya kita sekarang yang harus belajar pada paradigma gerakan yang
dikonstruksi oleh teroris. Kalau paradigma gerakan yang dikonstruksinya gigih
dipertahankan atau tak tergoyahkan oleh kekuatan (pengaruh) apa pun, seperti
kekuatan yang bersumber dari negara dan doktrin fikih dan teologis dari aliran
manapun, seharusnya kita menempatkan gerakan teroris ini sebagai objek
pembelajaran secara terus-menerus. Pembelajaran itu khususnya dari akar
kompilasi penyakit yang memotivasi atau `merangsang' lahirnya terorisme.
Aparat kita tidak boleh kalah
cerdas dan militan jika dibandingkan dengan teroris. Aparat kita wajib terus
memperbarui strateginya, di antaranya yang berpola pencerdasan publik supaya
perang terhadap terorisme memang benar-benar bisa menjadi objek jihad
kolektivitasnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar