Sabtu, 18 Mei 2013

Membaca Booming Teroris


Membaca Booming Teroris
M Bashori Muchsin ;  Direktur Program Pascasarjana Universitas Islam Malang
MEDIA INDONESIA, 17 Mei 2013


KETIKA belakangan ini aparat keamanan (Densus 88) panen teroris, logis jika mencuat pertanyaan, apakah di negeri ini sedang terjadi booming (ledakan) teroris? Atau kira-kira mampukah nantinya Densus 88 menghadapi kemungkinan terjadinya booming teroris di mana-mana?

Membaca fenomena regional, nasional hingga global, tampaknya Densus 88 akan semakin mendapatkan duri berat dalam pekerjannya. Artinya, ke depan terorisme akan menjadi salah satu jenis kejahatan yang menantang kemampuannya. Teroris bukan hanya tidak pernah bisa dibuat mati, melainkan tampaknya akan terus `hadir' sebagai ancaman serius di masa mendatang.

Teroris sudah membuktikan dirinya selalu hidup bersama masyarakat dan bangsa di berbagai strata sosial dan level apa pun. Teroris selalu menjadi cermin corak kehidupan bangsa. Meski demikian, teroris merupakan kejahatan istimewa (extraordinary crime), yang tidak setiap orang mampu membaca langkah-langkahnya dengan pasti.

Teroris bisa mendesain dan mengonstruksi modus operandi seperti layaknya penjahat jalanan yang merampok toko emas atau merampok bank. Namun, bisa pula menjadi penjahat yang secara sporadis menyerang institusi negara dan aparat penegak hukum. Sudah beberapa kali misalnya, kantor polisi diserang oleh sekelompok teroris dengan persenjataan yang lebih lengkap dan canggih jika dibandingkan dengan kepunyaan aparat.

Tarmidzi Taher, mantan Menteri Agama, pernah menyatakan, “Teroris itu laksana hantu.” Namanya juga hantu, aktivitas teroris sulit diketahui atau dibaca dengan pasti. Teroris bergerak dengan jaringan rapi yang membuat siapa pun yang bermaksud mengendusnya, niscaya banyak mengalami kesulitan.

Belum berhasil

Katakanlah misalnya, meskipun aparat belum lama ini berhasil menembak mati jaringan perampok emas sebagai jaringan terorisme, tetapi langkah aparat ini belum tergolong sukses luar biasa. Pasalnya, petunjuk yang mengarah pada tali temali jaringan teroris nasional dan internasional terputus. Mereka sudah tertembak dengan petunjuk sementara ‘sedang mengusahakan dapat modal uang’ dalam jumlah besar.

Itu artinya teroris tidak pernah mati. Mereka mempunyai berbagai bentuk cara untuk menyukseskan misinya. Dikalahkan atau digagalkan salah satu modus operandinya oleh aparat, mereka produksi cara lain. Mereka tak kenal patah arang untuk mewujudkan gerakan radikalnya.

Pergantian modus operandi itu juga menunjukkan bahwa mereka yang masuk jaringan teroris merupakan kumpulan orang-orang yang terus belajar mengonstruksi misi gerakan m dan strategi. Merampok, mid salnya, merupakan jenis kejahatan yang bisa menghasilkan uang banyak, tetapi tak kentara jika di balik itu ada misi terorismenya.

Di dunia ini, segala aktivitas ditentukan lewat proses pembelajaran. Keberhasilan atau kegagalan seseorang dapat dievaluasi pada sisi kualitas pembelajarannya. Kriminolog kenamaan Edwind Sutherland, yang menelurkan teori `pembelajaran kriminal' meng ingatkan masyarakat, bahwa terjadinya kejahatan di tengah masyarakat bukan disebabkan faktor hereditas atau bawaan (keturunan), tetapi di tentukan oleh kepintaran se seorang atau sekelompok orang untuk menempatkan kejadian, keadaan, sikap, dan perilaku masyarakat, atau aspek lainnya sebagai objek yang dipelajarinya.

Dalam ranah `pembelajaran kriminal' tersebut, menjadi gayung bersambut ketika objek yang hendak dikriminalisasikannya, ternyata memberikan peluang atau atmosfer buruk dan anomali. Sehingga hal itu semakin memperlancar dan menyukseskan pembelajaran kriminal yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang.

Itulah yang membuat Sutherland tidak sepaham dengan kriminolog konvensional yang menyebut kalau kejahatan di masyarakat berhubungan dengan problem kemiskinan atau ketidakberdayaan ekonomi (economical empowerless).
Artinya, Sutherland menolak teori yang menyebut bahwa yang membuat kehidupan di masyarakat berwajah karutmarut oleh masalah kriminalitas adalah dominasi orang miskin yang nekat berbuat jahat karena kemiskinannya.

Kelompok mapan

Sutherland memang tidak menempatkan orang miskin sebagai `aktor ' maraknya kriminalitas. Sebaliknya ia menempatkan kelompok pintar dan berkedudukan mapan. Kelompok terpelajar inilah yang divonisnya punya andil besar dalam mencetuskan dan memproduksi kejahatan-kejahatan berat seperti korupsi dan terorisme.

Kalau orang miskin berbuat jahat, korbannya berstandar minimalis. Sementara kalau kelompok berkedudukan mapan dan terpelajar yang berbuat kejahatan, akibatnya sangat makro bagi kehidupan bangsa. Sehingga, selain mereka itu sendiri sebagai `teroris' yang mengakibatkan lemahnya keberdayaan bangsa, mereka juga secara tidak langsung merangsang maraknya kelahiran kelompok `oposisi sosial-keagamaan' yang bermisi radikalis (teroris).

Faktanya, di negeri ini, kelompok elite sudah tercatat sukses sebagai aktor terjadinya dan suburnya kejahatan korupsi. Praktik penyimpangan kekuasaan dengan segala macam modusnya nyaris tidak pernah habis atau sulit dikatakan berkurang, seperti pepatah `mati satu tumbuh seribu', yang kesemuanya ini akibat sepak terjang orang pintar.

Dalam kasus terorisme pun demikian, kalau aktor dalam kasus teroris tidak berasal dari seseorang atau sekelompok orang terpelajar dan terlatih dengan baik, tentulah tidak akan sampai teroris bisa menjalankan roda organisasinya dengan rapi dan berkelantan. Terbukti, meski di satu tempat bisa dibongkar aktivitas teroris, ternyata tidak ada yang berani menggaransi aktivitas ini merupakan yang terakhir atau akar terorisnya benar-benar berhasil diputus.

“Jangan remehkan suatu kejahatan berjaringan rapi dan beraktorkan sekumpulan orang pintar seperti tero orang pintar seperti teroris“, demikian pesan Khalilul Umar dalam Surat dari teroris (2012), yang sejatinya menunjukkan bahwa teroris merupakan `ormas terselubung' yang menerima dan diterima elemen masyarakat tertentu. Sehingga sangat logis jika banyak yang mengestimasi teroris berhasil membentuk sel di mana-mana atau sukses merekrut dan mendidik kader dengan `pembelajaran' segala modus baru guna membuktikan identitasnya.

Hasil penelitian psikolog Sarlito Wirawan (2010) terhadap 44 tahanan dan narapidana perkara teroris menyebutkan bahwa ideologi yang dianut mereka (teroris) sudah terbilang `harga mati'. Prinsip ini khususnya dianut oleh napi/ tahanan papan atas dalam aktivitas gerakannya. Salah satu penganut `mazhab' ini adalah Abu Dujana.

Temuan Sarlito tersebut setidaknya mengingatkan kita tentang betapa militannya seseorang atau sekelompok teroris dalam mempertahankan keyakinan, ideologi, atau kebenaran yang dipelajarinya. Meski gerakannya dianggap sebagai kekuatan kiri dan subversif, yang berpola menghancurkan, menciptakan distabilitas, dan menghadirkan atmosfer chaos serta penderitaan massal, tetapi mereka tetap meyakini kalau gerakan radikalistik-destruktifnya berada di jalur kebenaran dan bukti pengabdian berlinier keberagamaan.

Kalau seperti itu yang terjadi, idealnya kita sekarang yang harus belajar pada paradigma gerakan yang dikonstruksi oleh teroris. Kalau paradigma gerakan yang dikonstruksinya gigih dipertahankan atau tak tergoyahkan oleh kekuatan (pengaruh) apa pun, seperti kekuatan yang bersumber dari negara dan doktrin fikih dan teologis dari aliran manapun, seharusnya kita menempatkan gerakan teroris ini sebagai objek pembelajaran secara terus-menerus. Pembelajaran itu khususnya dari akar kompilasi penyakit yang memotivasi atau `merangsang' lahirnya terorisme.

Aparat kita tidak boleh kalah cerdas dan militan jika dibandingkan dengan teroris. Aparat kita wajib terus memperbarui strateginya, di antaranya yang berpola pencerdasan publik supaya perang terhadap terorisme memang benar-benar bisa menjadi objek jihad kolektivitasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar