|
MEDIA
INDONESIA, 18 Mei 2013
SUDAH 15 tahun Indonesia berada
dalam transisi era reformasi. Perjalanan 15 tahun Indonesia pasca-Orde Baru
belum memberikan harapan optimistis bagi Indonesia. Terbukti dengan masih
banyaknya kaum elite yang terus mencuri uang negara miliaran rupiah. Korupsi
menjadi pertanda sangat kuat bahwa keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat
yang dicita-citakan saat reformasi ditiupkan menjadi impian kosong. Rakyat
harus bersiap melakoni perjalanan Indonesia dengan tumpukan utang yang tidak
sedikit. Dalam konteks ini, benar yang dikatakan Buya Syafii Maarif bahwa elite
bangsa ini telah `mati rasa' sehingga gampang menanggalkan prinsip dan gemar
mendahulukan kepentingan golongan.
Wajah bopeng negara di era reformasi ini mengindikasikan
bahwa bangsa Indonesia telah kehilangan etika kebangsaan, kenegaraan, dan
keberagamaan. Ke mana sebenarnya perginya etika tersebut?
Pertama, etika telah digadaikan di tangan kaum kapitalisme
global. Rumusan beretika bukan lagi berasal dari para agamawan, pujangga,
negarawan, dan founding fathers bangsa. Rumusan etika mereka dianggap
konvensional, irrelevant, dan sudah seharusnya `dikubur dalam-dalam'. Rumusan
etika yang canggih, rasional, dan cerdik adalah frame thinking-nya kaum kapitalisme global. Kapitalisme global
`disembah', ibarat dewa, bahkan Tuhan yang akan memberi rizki melimpah dan masa
depan yang cerah.
Meninggalkan etika kapitalistis, ibarat terjerumus di
jurang kenistaan, akan selalu termarginalkan, dan gagal dalam proses
industrialisasi transnasional. Kapitalisme yang mendewakan modal selalu
menghalalkan cara untuk mendapatkan money.
Kuasa, apalagi etika, sangat mudah dibeli. Yang penting, kebutuhan menguasai
modal terpenuhi. Kalau dulu para sesepuh bangsa melarang kita membunuh nyamuk,
sekarang bukan hanya sekecil nyamuk yang harus dibunuh. Saudara sendiri, bahkan
bangsa sendiri yang menjadi tanah kelahirannya sah untuk digadaikan, bahkan
dijual. Merumuskan etika berbangsa, bernegara, dan beragama tidak lagi berlaku.
Yang berlaku ialah bagaimana kita merumuskan agenda mengeruk kekayaan dan
kekuasaan negara.
Kedua, etika dilumpuhkan fungsi dan transformasinya kepada
publik. Ruang publik untuk meneguhkan eksistensi etika berbangsa dan bernegara
terus dieliminasi, bahkan dihilangkan. Lembaga pendidikan yang diharapkan mampu
menciptakan dan mentransmisikan nilai-nilai etik berbangsa ternyata justru
melahirkan manusia baru yang paradoks dengan nilai tersebut. Mereka justru
menjadi pengkhianat pertama atas nilai tersebut. Terbukti, berbagai lembaga
pendidikan justru menjadikan institusi mereka sebagai lahan basah memperkaya
diri sendiri, bukan untuk transmisi dan transformasi nilai keilmuan. Yang lahir
dari berbagai perguruan tinggi justru manusia-manusia koruptif yang siap
menerjang berbagai kekayaan negara yang melimpah.
Bangsa
tergadaikan
Alam yang dieksploitasi kaum terdidikbukannya dibarengi
dengan menjaga kelestarian alam dan memeratakan kesejahteraan rakyat, melainkan
dijadikan alat merengkuh kuasa atas alam guna membangun `kerajaan kapital' di
muka alam. Tidak salah kalau kemudian alam marah dan memorak-porandakan nalar
egoistik, congkak, sombong, dan despotik.
Ketika etika berbangsa dan bernegara digadaikan, bahkan
dilumpuhkan fungsi dan transformasi kepada publik, wajar kalau bencana yang
melanda negeri ini terus datang bertubi-tubi.
Dalam konteks ini, peran negara untuk mengembalikan
stabilitas nasional secara menyeluruh mutlak dibutuhkan. Kalau negara ini
disibukkan dengan elite yang sibuk dengan berbagai kepentingan personal dan
komunalnya, peran profetiknya dalam menjaga Tanah Air dan tumpah darah bangsa
akan segera sirna. Untuk itu, pemerintah bersama-sama dengan seluruh elemen
bangsa harus merajut kembali komitmen kenegaraan yang kuat (strong state). Negara yang kuat ialah
derajat otonomi negara (state autonomy)
serta dukungan masyarakat kepada negara (societal
support for the state) sangat tinggi.
Negara dapat bertindak sesuai dengan preferensinya,
sementara masyarakat selalu mendukung tindakantindakan tersebut. Negara kuat
inilah, yang oleh Eric A Nordlinger dalam Taking
the State Seriously (1994:369), akan mampu menjaga tumpah darah bangsa
serta memakmurkan seluruh warganya.
Dalam sejarah Nusantara, Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan Mataram telah membuktikan bahwa kerajaan yang kuat mampu menjaga independensi Nusantara serta memakmurkan warganya, walaupun penjajah terus menggorong untuk mengeruk kekayaan Nusantara.
Dalam sejarah Nusantara, Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan Mataram telah membuktikan bahwa kerajaan yang kuat mampu menjaga independensi Nusantara serta memakmurkan warganya, walaupun penjajah terus menggorong untuk mengeruk kekayaan Nusantara.
Kearifan lokal
Negara yang kuat di tengah alam kemerdekaan sekarang bukan
sekadar mampu menertibkan birokrasi manajemen, melainkan juga mampu meneguhkan
komitmen solidaritas sosial masyarakat secara menyeluruh. Di tengah bencana
yang bertubi-tubi, sulit sekali negara mampu mengatasinya secara birokratis.
Langkah kultural akan jauh lebih efektif karena kesadaran kultural berdasarkan
kearifan dan kecerdasan lokal selalu hadir di tengah tradisi kemasyarakatan.
Kesadaran kultural berdasarkan kearifan lokal (local wisdom) tidak akan menerima praktik kejahatan kemanusiaan
yang merugikan saudara sendiri.
Praktik korupsi, kolusi, nepotisme, dan ragam kejahatan
lainnya tidak menemukan ka musnya dalam kearifan lokal. Yang ada ialah kasih
sayang, saling menolong, dan saling mengukuhkan persaudaraan. Negara yang kuat
mampu menyinergikan kekuatan birokratisnya dengan kesadaran kultural berbasis
kearifan lokal sehingga berbagai bencana, baik bencana alam, bencana politik,
bencana kebudayaan, bencana ekonomi, dan lainnya akan semakin terelimi nasi,
bahkan sirna sehingga tercipta kembali komitmen kebangsaan untuk kemakmur an
rakyat seutuhnya.
Sudah saatnya watak `mati rasa' para elite politik
dilenyapkan. Bersiapkah kaum elite memberikan pelayanan yang terbaik bagi
rakyat? Berpolitik bukanlah dengan watak arogan dan despotik karena itu hanya
memunculkan `mati rasa'. Butuh politik yang welas asih, tepo seliro, dan
bermartabat sehingga reformasi semakin bermakna bagi perjalanan Indonesia.
Politik etis ala Belanda sudah tak laku. Politik serbaterpimpin ala Orde Lama
sudah musnah. Politik mengelabui ala Orde Baru juga sudah usang dan politik
bermartabat yang digelorakan mahasiswa menjadi slogan dimulainya reformasi
harus dikukuhkan seluruh elite bangsa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar