Minggu, 19 Mei 2013

Reformasi dan Wajah Bopeng Negara


Reformasi dan Wajah Bopeng Negara
Muhammadun ;  Analis Studi Politik pada Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 18 Mei 2013

SUDAH 15 tahun Indonesia berada dalam transisi era reformasi. Perjalanan 15 tahun Indonesia pasca-Orde Baru belum memberikan harapan optimistis bagi Indonesia. Terbukti dengan masih banyaknya kaum elite yang terus mencuri uang negara miliaran rupiah. Korupsi menjadi pertanda sangat kuat bahwa keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan saat reformasi ditiupkan menjadi impian kosong. Rakyat harus bersiap melakoni perjalanan Indonesia dengan tumpukan utang yang tidak sedikit. Dalam konteks ini, benar yang dikatakan Buya Syafii Maarif bahwa elite bangsa ini telah `mati rasa' sehingga gampang menanggalkan prinsip dan gemar mendahulukan kepentingan golongan.

Wajah bopeng negara di era reformasi ini mengindikasikan bahwa bangsa Indonesia telah kehilangan etika kebangsaan, kenegaraan, dan keberagamaan. Ke mana sebenarnya perginya etika tersebut?

Pertama, etika telah digadaikan di tangan kaum kapitalisme global. Rumusan beretika bukan lagi berasal dari para agamawan, pujangga, negarawan, dan founding fathers bangsa. Rumusan etika mereka dianggap konvensional, irrelevant, dan sudah seharusnya `dikubur dalam-dalam'. Rumusan etika yang canggih, rasional, dan cerdik adalah frame thinking-nya kaum kapitalisme global. Kapitalisme global `disembah', ibarat dewa, bahkan Tuhan yang akan memberi rizki melimpah dan masa depan yang cerah.

Meninggalkan etika kapitalistis, ibarat terjerumus di jurang kenistaan, akan selalu termarginalkan, dan gagal dalam proses industrialisasi transnasional. Kapitalisme yang mendewakan modal selalu menghalalkan cara untuk mendapatkan money. Kuasa, apalagi etika, sangat mudah dibeli. Yang penting, kebutuhan menguasai modal terpenuhi. Kalau dulu para sesepuh bangsa melarang kita membunuh nyamuk, sekarang bukan hanya sekecil nyamuk yang harus dibunuh. Saudara sendiri, bahkan bangsa sendiri yang menjadi tanah kelahirannya sah untuk digadaikan, bahkan dijual. Merumuskan etika berbangsa, bernegara, dan beragama tidak lagi berlaku. Yang berlaku ialah bagaimana kita merumuskan agenda mengeruk kekayaan dan kekuasaan negara.

Kedua, etika dilumpuhkan fungsi dan transformasinya kepada publik. Ruang publik untuk meneguhkan eksistensi etika berbangsa dan bernegara terus dieliminasi, bahkan dihilangkan. Lembaga pendidikan yang diharapkan mampu menciptakan dan mentransmisikan nilai-nilai etik berbangsa ternyata justru melahirkan manusia baru yang paradoks dengan nilai tersebut. Mereka justru menjadi pengkhianat pertama atas nilai tersebut. Terbukti, berbagai lembaga pendidikan justru menjadikan institusi mereka sebagai lahan basah memperkaya diri sendiri, bukan untuk transmisi dan transformasi nilai keilmuan. Yang lahir dari berbagai perguruan tinggi justru manusia-manusia koruptif yang siap menerjang berbagai kekayaan negara yang melimpah.

Bangsa tergadaikan

Alam yang dieksploitasi kaum terdidikbukannya dibarengi dengan menjaga kelestarian alam dan memeratakan kesejahteraan rakyat, melainkan dijadikan alat merengkuh kuasa atas alam guna membangun `kerajaan kapital' di muka alam. Tidak salah kalau kemudian alam marah dan memorak-porandakan nalar egoistik, congkak, sombong, dan despotik.

Ketika etika berbangsa dan bernegara digadaikan, bahkan dilumpuhkan fungsi dan transformasi kepada publik, wajar kalau bencana yang melanda negeri ini terus datang bertubi-tubi.

Dalam konteks ini, peran negara untuk mengembalikan stabilitas nasional secara menyeluruh mutlak dibutuhkan. Kalau negara ini disibukkan dengan elite yang sibuk dengan berbagai kepentingan personal dan komunalnya, peran profetiknya dalam menjaga Tanah Air dan tumpah darah bangsa akan segera sirna. Untuk itu, pemerintah bersama-sama dengan seluruh elemen bangsa harus merajut kembali komitmen kenegaraan yang kuat (strong state). Negara yang kuat ialah derajat otonomi negara (state autonomy) serta dukungan masyarakat kepada negara (societal support for the state) sangat tinggi.

Negara dapat bertindak sesuai dengan preferensinya, sementara masyarakat selalu mendukung tindakantindakan tersebut. Negara kuat inilah, yang oleh Eric A Nordlinger dalam Taking the State Seriously (1994:369), akan mampu menjaga tumpah darah bangsa serta memakmurkan seluruh warganya.
Dalam sejarah Nusantara, Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan Mataram telah membuktikan bahwa kerajaan yang kuat mampu menjaga independensi Nusantara serta memakmurkan warganya, walaupun penjajah terus menggorong untuk mengeruk kekayaan Nusantara.

Kearifan lokal

Negara yang kuat di tengah alam kemerdekaan sekarang bukan sekadar mampu menertibkan birokrasi manajemen, melainkan juga mampu meneguhkan komitmen solidaritas sosial masyarakat secara menyeluruh. Di tengah bencana yang bertubi-tubi, sulit sekali negara mampu mengatasinya secara birokratis. Langkah kultural akan jauh lebih efektif karena kesadaran kultural berdasarkan kearifan dan kecerdasan lokal selalu hadir di tengah tradisi kemasyarakatan. Kesadaran kultural berdasarkan kearifan lokal (local wisdom) tidak akan menerima praktik kejahatan kemanusiaan yang merugikan saudara sendiri.

Praktik korupsi, kolusi, nepotisme, dan ragam kejahatan lainnya tidak menemukan ka musnya dalam kearifan lokal. Yang ada ialah kasih sayang, saling menolong, dan saling mengukuhkan persaudaraan. Negara yang kuat mampu menyinergikan kekuatan birokratisnya dengan kesadaran kultural berbasis kearifan lokal sehingga berbagai bencana, baik bencana alam, bencana politik, bencana kebudayaan, bencana ekonomi, dan lainnya akan semakin terelimi nasi, bahkan sirna sehingga tercipta kembali komitmen kebangsaan untuk kemakmur an rakyat seutuhnya.

Sudah saatnya watak `mati rasa' para elite politik dilenyapkan. Bersiapkah kaum elite memberikan pelayanan yang terbaik bagi rakyat? Berpolitik bukanlah dengan watak arogan dan despotik karena itu hanya memunculkan `mati rasa'. Butuh politik yang welas asih, tepo seliro, dan bermartabat sehingga reformasi semakin bermakna bagi perjalanan Indonesia. Politik etis ala Belanda sudah tak laku. Politik serbaterpimpin ala Orde Lama sudah musnah. Politik mengelabui ala Orde Baru juga sudah usang dan politik bermartabat yang digelorakan mahasiswa menjadi slogan dimulainya reformasi harus dikukuhkan seluruh elite bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar