Minggu, 19 Mei 2013

Eksklusi Buku


Eksklusi Buku
Nanang Martono ;  Dosen Sosiologi Unsoed Purwokerto, Kandidat Ph D Sosiologi Pendidikan, Universite de Lyon 2, Prancis
REPUBLIKA, 18 Mei 2013

Mungkin sedikit di antara kita yang mengetahui bahwa 17 Mei adalah Hari Buku Nasional. Hari Buku ini digunakan untuk memperingati berdirinya Perpustakaan Nasional di Jakarta tahun 1980. Peringatan Hari Buku ini sangat berbeda dengan peringatan hari-hari lainnya; jauh dari euforia masyarakat yang antusias memperingatinya. 

Hari Buruh biasanya identik dengan demonstrasi buruh yang menuntut hak-hak mereka. Hari Guru juga diwarnai dengan aksi demonstrasi guru. Hari Pendidikan Nasional diperingati dengan upacara bendera. Sedangkan Hari Bumi diperingati dengan gerakan untuk menjaga bumi dari kerusakan. Meskipun buku dekat dengan dunia pendidikan, namun peringatan Hari Buku ini selalu dilewatkan. Bahkan pelajar, guru, dan mahasiswa tidak banyak yang mengetahuinya.

Budaya baca

Bagi sebagian besar masyarakat, buku tampaknya dipandang lebih dekat dengan `orang cerdas' yang sedang mengenyam pendidikan, sehingga bagi mereka yang tidak menempuh pendidikan, keberadaan sebuah buku dianggap tidak penting. Buku di dalam kehidupan masyarakat kita memang masih dianggap barang mewah. 
Keberadaan buku di Indonesia masih memiliki dua masalah yang perlu mendapat perhatian. Masalah tersebut adalah rendahnya minat baca masyarakat dan rendahnya penghargaan terhadap buku serta perlindungan hak cipta bagi penulis buku.

Budaya membaca memang telah menipis. Ada beberapa hal yang menyebabkan fenomena ini. Pertama, masyarakat lebih tertarik menonton televisi daripada membaca buku. Televisi memang lebih menarik perhatian masyarakat karena menonton televisi tidak memerlukan perhatian dan tenaga ekstra, dan dapat dilakukan dengan santai. 

Kedua, akibat perkembangan teknologi informasi, para pelajar, mahasiswa, dan orang-orang yang terlibat dalam dunia pendidikan lebih asyik membaca literatur melalui internet. Parah nya, sebagian besar dari mereka hanya membaca blog atau tulisan-tulisan bebas yang diunggah di website pribadi. 

Kebiasaan ini kemudian memunculkan budaya baru, yaitu budaya copy-paste, atau salin-tempel. Ketika sedang mengerjakan tugas, mereka lebih suka mengunduh tulisan-tulisan dari internet daripada membaca buku. Kemudian, mereka mengumpulkan tulisan tersebut dan disalin di tulisan mereka, tanpa menyebut identitas penulis aslinya. 

Meskipun ini adalah bentuk pelanggaran yang sangat berat, namun fenomena ini agaknya sulit diberantas. Inilah wujud budaya instan dalam dunia pendidikan kita. Buku telah tergantikan dengan media lain. Inilah yang menyebabkan masyarakat enggan memanfaatkan dan membaca buku. Kedua, masalah penghargaan dan perlindungan hak cipta bagi penulis buku. Alasan inilah yang menyebabkan produksi buku di Indonesia relatif rendah. 

Ada anggapan bahwa harga buku cukup mahal. Masyarakat, bahkan guru, pelajar, dan mahasiswa kurang dapat menghargai karya orang lain. Hal lain yang lebih fatal lagi adalah maraknya pembajakan buku di Indonesia. Harga buku yang sangat mahal menjadi alasan sekelompok orang untuk memanfaatkan momen ini dengan membajak buku dan menjualnya dengan harga yang sangat murah di pasaran. Ulah para pembajak tentu saja sangat merugikan penulis buku yang bersangkutan. Namun sayangnya, pemerintah tidak memberikan perhatian pada masalah ini dan seolah-olah hal ini dilegalkan. 

Pelanggaran hak cipta bukanlah hal baru di Indonesia. Dari pelanggaran hak cipta ringan (memfotokopi tanpa izin penulis) sampai pelanggaran berat (menggandakan dan menjual kembali). Seolah-olah kasus ini sulit dibongkar.
Atau, memang pemerintah tidak memiliki iktikad baik untuk memberantas praktik pembajakan di negeri ini. 
Hal ini dapat dibuktikan dengan tidak ada razia pada produk-produk bajakan dalam berbagai bentuk, misalnya, compact disc (CD), video compact disc (VCD), kaset, buku, dan benda lain yang dapat dibajak. Bisnis jual beli barang bajakan dapat dengan mudah ditemukan di tempat-tempat umum, padahal sebenarnya jual beli tersebut melanggar undang-undang. Namun, pemerintah dan aparat penegak hukum tidak begitu peduli dengan hal ini.

Buku adalah jendela dunia. Inilah semboyan yang selalu digunakan untuk mengajak masyarakat agar gemar membaca buku. Namun, kenyataan berbicara lain, minat baca masyarakat justru semakin menurun.
Pemerintah perlu bekerja lebih keras untuk menyosialisasikan semboyan tersebut. Perpustakaan yang dikelola pemerintah harus mengakar sampai tingkat desa atau kelurahan. Selama ini perpustakaan milik pemerintah hanya dapat terjangkau di tingkat kabupaten atau sekolah-sekolah. Akibatnya, masyarakat desa yang menjadi mayoritas penduduk, tidak banyak yang memanfaatkan perpustakaan tersebut. 

Kegiatan perpustakaan keliling yang pernah jaya di era Orde Baru sekarang hampir tidak terlihat lagi di daerah, terutama daerah terpencil yang jauh dari pusat informasi dan pengetahuan. Program Orde Baru ini sebenarnya sangat efektif untuk menyosialisasikan gemar membaca di kalangan masyarakat, namun tampaknya hal tersebut sekarang telah terlewatkan. Pemerintah justru mengalokasikan banyak anggaran yang tidak bertujuan jelas.

Buku lebih bersifat eksklusif. Buku hanya milik kelompok berpendidikan, sementara orang awam tidak banyak yang memanfaatkan buku. Sebenarnya, ketika masyarakat awam tidak mampu mengenyam pendidikan, namun jika mereka mau dan diberi kesempatan untuk membaca sebuah buku, pengetahuan mereka setara dengan orang yang belajar secara formal. 

Sebagai gantinya, buku dapat diganti dengan surat kabar agar masyarakat menjadi melek pengetahuan dan informasi. Namun sayang, masyarakat masih harus membeli surat kabar yang harganya relatif mahal untuk masyarakat miskin. Di negara-negara maju, surat kabar dibagikan secara gratis oleh produsen surat kabar karena mereka telah mendapatkan untung dari iklan yang dimuatnya. Namun, hal ini ternyata masih jauh dari harapan dan perhatian pemerintah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar