Minggu, 19 Mei 2013

Rasa Haru Aktivis


Rasa Haru Aktivis
Garin Nugroho ;  Sutradara Film
KOMPAS, 19 Mei 2013

"Aku harus meninggalkanmu meski kamu sekarang punya segalanya: uang, kekuasaan, dan jabatan. Kamu kehilangan satu hal yang membuatku mencintaimu: rasa haru. Kamu tidak seperti dulu ketika kamu masih menjadi aktivis melawan pemerintahan yang tak berlaku adil pada rakyat. Kamu dulu bisa menangis haru sambil memeluk rakyat yang terzalimi, rasa harumu menggerakkan tangan, kaki, dan mulutmu untuk membangkitkan rakyat bergerak mencari keadilan. Kini kamu takut kehilangan kenyamanan kekuasaan jabatanmu, meski kekuasaan sekelilingmu melakukan beragam penyelewengan, kamu mendiamkannya. Rasa harumu kamu sembunyikan dan perlahan mati. Kamu berkelit dari ketidakberdayaanmu dengan pidato penuh wacana demokrasi, yang cuma hidup dalam lingkungan pendukungmu serta kekuasaanmu, tak lagi hidup dan menghidupi rakyatmu. Aku harus pergi kekasihku, aku kehilangan cintamu tetapi aku tidak mau kehilangan cinta rakyatku. Aku kehilangan seorang aktivis....”
Kalimat perpisahan di atas diucapkan seorang perempuan kepada Mussolini, tiran terbesar Italia dalam sejarah perang dunia. Bagi saya, kata ”rasa haru” yang sederhana ini terasa menjadi relevan dalam kehidupan politik sekarang ini, khususnya di hari Kebangkitan Nasional.
Rasa haru adalah gabungan kompleks indra dan pikiran kemanusiaan ketika pemimpin membaca gejala ketidakadilan kehidupan. Inilah aulia kebangkitan untuk munculnya rasa krisis dan mendorong politik yang bertindak melayani rakyat.
Celakanya, kini, sangatlah langka, aktivis yang berada dalam kekuasaan memberi pernyataan sekaligus tindakan politik yang mencerminkan rasa haru untuk mendorong kebangkitan lewat rasa krisis.
Sebutlah rasa krisis terhadap kekerasan agama, konsumerisme yang banal mengikis ruang produktif berbangsa, semisal maraknya mal serta langkanya gedung serba guna masyarakat. Atau sengketa lahan hingga penjarahan sumber daya alam. Bahkan, rasa krisis terhadap perilaku bunuh diri keluarga-keluarga ataupun frustrasi sosial yang terus membengkak, sebut perilaku kekerasan pelajar. Demikian juga politik serba massal yang vulgar hingga perilaku pejabat yang korup dan melayani fasilitas bagi dirinya, sebutlah fasilitas legislatif.
Pada gilirannya, lembaga, partai, dan aparat negara kehilangan kepercayaan dan kewibawaan. Sebutlah kasus bentrok aparat hingga berbagai bentuk penyerangan kantor polisi, ataupun juga tumpang tindih informasi elite politik sehingga masyarakat kehilangan panduan, maupun berfokusnya gerak politik hanya bicara kekuasaan. Dikhawatirkan, demokrasi hanya jadi prosedur, proses berbangsa menjadi semakin banal, vulgar, jalan pintas, korup, dan ekstrem. Yang tersisa, politik bukan memecahkan masalah, melainkan jadi beban masalah rakyat.
Saya masih teringat situasi mencekam di dalam gedung MPR menjelang turunnya Presiden Soeharto. Para aktivis dan mahasiswa begitu gelisah dengan kekerasan yang muncul, karena situasi menunggu ketidakpastian, maka lahirlah kecurigaan terhadap penyusup yang masuk, sehingga beberapa kali terjadi kekerasan penghakiman terhadap seseorang yang dicurigai. Para aktivis tergerak untuk terus berpidato dan berbagi perasaan agar rasa kemanusiaan tidak hilang dan pendudukan MPR tidak menjadi tirani baru. Bahkan, tidak sedikit aktivis yang menangis melihat situasi itu. Sesungguhnya, rasa haru sebagai sifat aulia manusia terus menjadi panduan situasi bersejarah itu.
Kini, ketika begitu banyak para aktivis dalam kekuasaan, haruskah kita seperti pacar Mussolini, berbicara ke aktivis di kekuasaan: ”Aku harus berpisah darimu karena kamu sudah tak lagi punya rasa haru, tak ada lagi aulia kebangkitan untuk rakyat darimu”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar