Rabu, 15 Mei 2013

Miskinkan Koruptor


Miskinkan Koruptor
Yenti Garnasih ;  Pakar Hukum Universitas Trisakti 
SUARA KARYA, 14 Mei 2013

Minimnya upaya penegak hukum untuk mengembalikan uang hasil korupsi, akibat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) "enggan" atau belum sepenuhnya menggunakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Padahal, melalui undang-undang itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa menelusuri uang hasil kejahatan, merampasnya, dan memiskinkan koruptor. KPK juga bisa memenjarakan siapa pun yang ikut menikmati atau menguasai hasil korupsi sebagai pelaku pencucian uang, meski mereka tidak terlibat korupsi.

Yang penting lagi, seharusnya KPK selalu menggunakan UU TPPU sejak awal penyidikan bersamaan dengan UU Anti Korupsi. Sayang bahwa perspektif KPK belum ke arah itu. Padahal, polisi justru selalu menerapkan UU TPPU dalam penanganan korupsi. Penerapan UU TPPU dalam penanganan korupsi mutlak harus dilakukan kalau serius mau memenjarakan dan merampas kembali uang negara yang dikorupsi.

Dari buruknya penanganan korupsi di negara kita, bukan lagi waktunya untuk berlambat-lambat dalam bertindak. Bukan lagi harus memikirkan pembuatan undang-undang, tetapi optimalkan dulu aturan hukum yang sudah ada. Profesionalisme dan integrasi penegak hukum harus diperbaiki. Pandangan masyarakat pun perlu dibangun untuk menolak secara keras tindak pidana korupsi serta mengucilkan mereka dengan menghidupkan "budaya malu" apabila terlibat korupsi.

Komitmen pemerintah memerangi korupsi secara serius juga harus dipegang teguh. Apalagi, dampaknya dapat merusak sistem negara demokrasi serta memiskinkan rakyat.

Memang, kendala dalam upaya pemberantasan korupsi selama ini tampak dari sisi profesionalime penegak hukum--bukan saja untuk perkara korupsi, banyak kejanggalan dalam penyidikan termasuk prosedur, mulai dari masalah administrasi hingga pernyataan yang tidak strategis, seperti akan adanya tersangka baru, rencana penahanan, hingga pencegahan ke luar negeri yang justru tampak sebagai pembocoran strategi.
Juga, masalah yang lebih berbahaya, seperti lemahnya dakwaan, putusan yang ringan padahal nyata-nyata semua unsur delik terbukti, atau putusan yang dipaksakan, padahal fakta persidangan tidak mendukung terbuktinya perbuatan yang dituduhkan.

Sebagai lembaga yang sangat diharapkan dapat memberantas kasus-kasus korupsi "besar", maka rintangan yang dialami KPK menjadi tolok ukur penilaian bagaimana sesungguhnya pemberantasan korupsi di Indonesia. KPK pun menghadapi isu terkait profesionalisme dan integritasnya. Ini tampak dari penanganan perkara skandal Bank Century dan kasus Hambalang, yang terkesan lambat dan bahkan makin menunjukkan kelemahan KPK dalam koordinasi dan langkah strategisnya.

Demikian pula dalam kasus-kasus lainnya yang tidak tuntas. Artinya, hanya menyentuh orang-orang tertentu, tetapi tidak segera mengembangkan kasusnya. Untuk menjerat pelaku utama atau pelaku yang lebih besar peranannya, KPK seakan-akan enggan menyeretnya. Hal itu menimbulkan penilaian bahwa KPK masih tebang pilih, baik terhadap kasus maupun terhadap pelaku yang dijeratnya.

Kesan ini penting diperhatikan karena pada umumnya yang dilihat adalah logika masyarakat yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Karena, selain membuat rakyat kehilangan harapan, juga bisa berdampak sangat tidak menjerakan. Dan, ini terbukti dengan makin banyaknya orang yang terlibat korupsi, tanpa rasa malu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar