|
KOMPAS,
18 Mei 2013
Walau
permasalahannya selalu konstan, perhatian terhadap preman dan premanisme
ternyata timbul tenggelam.
Sejumlah
pembahasan sudah berlangsung sejak sepuluh tahun lalu, tetapi yang muncul
adalah situasi stagnan: masalah itu-itu saja tanpa solusi adekuat. Terkait
kepolisian, pemberantasan preman pun menjadi pilihan kegiatan paling ”aman”
saat memulai masa jabatan kepala satuan wilayah.
Situasi
stagnan juga terjadi terkait penggunaan terminologi. Kekacauan terminologi
”preman” dan ”premanisme” tak kunjung dibenahi. Kepolisian lagi-lagi menambah
runyam persoalan karena mempergunakan konsep sosiologis preman dan premanisme
sebagai dasar melaksanakan kegiatan kepolisian.
Di
kebanyakan kota besar, preman adalah salah satu penyumbang kejahatan jalanan
dan kejahatan kekerasan. Namun, terdapat indikasi kuat bahwa preman sudah
mendekat/bertautan dengan pelaku beberapa jenis kejahatan (curanmor, narkoba,
dan pembunuhan) ataupun beberapa karakteristik kejahatan terorganisasi,
terencana, dan pencucian uang.
Kontribusi
preman diprediksi lebih besar pada penciptaan rasa takut (fear of crime) masyarakat perkotaan, khususnya terkait kegiatan
bisnis dan kehidupan malam. Pada konteks ini, preman belum melakukan perbuatan
pidana, tetapi kehadiran dan perangainya telah cukup menimbulkan rasa cemas.
Aktivitas seperti petugas keamanan di kafe, penagih utang, pengawal pribadi,
menduduki lahan/bangunan kosong, pendemo dan peserta kampanye bayaran, serta
selalu berkecenderungan menimbulkan konflik dari sekadar perang mulut hingga
konflik berdarah.
”Dunia
bawah”
Memahami
preman dan aktivitasnya hampir sama dengan memahami aktivitas ”dunia bawah” (under world). Di dunia ini, ketentuan
dan hukum dijauhi. Demikian pula norma dan etika. Orang-orang yang hidup di
dunia ini lalu mencari penghidupan dari orang-orang yang hidup di dunia yang
penuh aturan/norma dan etika (upper world).
Namun, karena satu dan lain hal, membutuhkan jasa mereka yang berasal dari
dunia bawah ini.
Hubungan
di antara keduanya saling berkelindan sehingga pihak dari ”dunia atas” tidak
bisa lagi memisahkan diri. Hal ini mengingat banyak sekali hal menyimpang,
bahkan ilegal, dilakukan dengan bantuan pihak under world. Pihak upper
world pun seperti tersandera.
Sebaliknya,
pihak under world juga bisa
memanfaatkan situasi itu untuk naik kelas, kembali ke upper world berbekal sejumlah kapital, koneksi, dan pengetahuan
untuk beraktivitas di dunia yang penuh ketentuan dan hukum. Masuknya para
preman dalam organisasi massa, lembaga swadaya masyarakat, lembaga keagamaan,
hingga parlemen adalah indikasinya.
Perilaku
preman
Premanisme,
di pihak lain, adalah adopsi nilai dan perilaku preman (umumnya kelas bawah dan
jalanan) oleh sejumlah kalangan lain. Hal ini muncul dalam bentuk perilaku
ugal-ugalan, main terabas, alpa prosedur, tidak etis, hingga melawan hukum. Hal
ini bisa muncul pada kalangan pelajar, mahasiswa, buruh, polisi, tentara,
hingga anggota parlemen.
Berbeda
dengan aktivitas kepolisian terkait preman, walau sering disebutkan satu napas,
sebenarnya amat jarang (atau hampir tidak ada) aktivitas kepolisian terkait
premanisme. Ada dua kemungkinan.
Pertama,
karena tidak semua melanggar hukum. Kedua, kalangan pelaku lebih beragam,
kemungkinan besar pelaku adalah elite atau dengan kata lain bukan kalangan yang
secara tradisional menjadi perhatian kepolisian.
Preman
dan premanisme dewasa ini amat bernuansa primordial. Para preman yang terlebih
dahulu malang melintang di kota-kota besar menarik anak- anak muda dari
kampungnya yang hidup miskin, tidak berpendidikan, dan tidak memiliki akses
sosial. Hal ini umum terjadi di kantong-kantong di Indonesia timur. Kekerabatan
pula yang membuat anak-anak muda tanpa competitive
advantage itu bisa bertahan hidup. Mereka mencari makan dengan bermodal
otot, kumis, muka sangar, serta kolektif (atau kelompok). Dengan begitu, mereka
menjadi seseorang atau somebody.
Nuansa
primordial berpotensi mengancam integritas bangsa karena ketidaksukaan orang
pada preman lalu dengan mudah mengasosiasikannya dengan ketidaksukaan pada suku
atau etnis tertentu.
Masalah
sosial
Sejauh
ini, preman dan premanisme lebih baik dilihat sebagai masalah sosial-ekonomi
ketimbang sebagai sekadar masalah kejahatan saja atau lain-lain. Untuk itu,
upaya serius untuk membangun ekonomi di daerah asal harus terus dilakukan agar
tidak terjadi urbanisasi anak-anak muda.
Kalau
urbanisasi itu telah terjadi, harus diusahakan pertumbuhan ekonomi di perkotaan
sehingga tetap tersedia lapangan pekerjaan yang bersifat vokasional (blue-collar) bagi kalangan ini. Dengan
cara itu, mereka bisa terhambat untuk terjun menjadi preman.
Meski
demikian, pendekatan sosial-ekonomi memiliki keterbatasan terkait mereka yang
sudah menggeluti dunia preman serta sudah mengecap hidup yang mudah dan nyaman.
Aspirasi sekalangan kecil preman untuk menjadikan hasil ”kerja” mereka sebagai
tabungan untuk kemudian dipergunakan sebagai bekal saat tidak lagi aktif
sebagai preman umumnya gagal. Tekanan kelompok terlalu kuat. Hal yang
menjadikan mereka pada umumnya harus mengakhiri aktivitasnya dalam situasi
tidak punya apa-apa, overdosis, sakit akut, mati tertembak polisi, atau
dikeroyok massa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar