Minggu, 12 Mei 2013

Praktik Perbudakan di Era Globalisasi, Salah Siapa?


Praktik Perbudakan di Era Globalisasi, 
Salah Siapa?
Jamal Wiwoho  ;  Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Pembantu Rektor II UNS
MEDIA INDONESIA, 11 Mei 2013


KOTA Tangerang yang merupakan kawasan industri dan permukiman padat penduduk awalnya tenang, tapi mendadak menjadi sorotan media massa baik nasional maupun internasional. Hal itu terjadi sebagai akibat dari penggerebekan yang dilakukan Polresta Tangerang pada 3 Mei 2013 terhadap sebuah perusahaan pengolahan limbah menjadi aluminium balok dan kuali yang berada di Kampung Bayur Opak, Desa Lebak Wangi, Kecamatan Sepatan Timur, Tangerang, yang dipimpin YK. Sebuah perlakuan yang memilukan dialami sekitar 25 buruh (yang mestinya digunakan dengan istilah tenaga kerja. Dalam tulisan ini saya gunakan dengan istilah ‘buruh’ untuk menggambarkan betapa tidak manusiawinya perlakuan terhadap tenaga kerja di perusahaan tersebut).

Awal terbongkar ‘tragedi buruh’ itu bermula dari kaburnya dua buruh dari sekapan dan melapor kepada Kontras dan Komnas HAM. Laporan itu ditindaklanjuti dengan penggerebekan pada lokasi penyekapan terhadap 25 buruh yang di antaranya anak-anak yang berasal dari Lampung, Bandung, dan Cianjur.

Ada beberapa hal yang tidak lazim di era globalisasi, kebebasan, dan keterbukaan serta pengakuan atas hak-hak asasi manusia ini dalam tragedi buruh tersebut, antara lain kerja paksa, disiksa, dipukuli, disiram timah panas, disulut rokok, dan disekap di dalam pabrik, serta sebagai akibat dari pengolahan limbah, buruh mengalami gatal-gatal, badan kurus, rambut kaku, luka pukulan, luka air timah, asma, batuk-batuk, kadas dan kutu air, serta trauma.

Di samping beberapa hal yang tidak manusiawi tersebut, ternyata masih ditambah dengan tindakan-tindakan yang tidak kalah keji, misalnya eksploitasi jam kerja buruh lebih dari 16 jam karena dimulai pukul 05.30 sampai pukul 22.00 WIB lebih, buruh tidak digaji dengan standar upah minimum kabupaten (UMK), ruang istirahat yang amat sempit dan pengap, serta terisolasinya buruh dengan lingkungannya eksploitasi jam kerja buruh lebih dari 16 jam karena dimulai pukul 05.30 sampai pukul 22.00 WIB lebih, buruh tidak digaji dengan standar upah minimum kabupaten (UMK), ruang istirahat yang amat sempit dan pengap, serta terisolasinya buruh dengan lingkungan sekitar.

Bila melihat beberapa kekejian majikan terhadap para buruh tersebut, ada suatu pertanyaan besar di benak kita, antara lain bagaimanakah perlindungan hukum dan penegakan hukum atas undang-undang ketenagakerjaan kita? Salah siapakah peristiwa kekerasan fisik dan nonfisik kepada para buruh tersebut? 

Seperti diketahui dengan jelas, dalam Pasal 5 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa ‘Setiap tenaga kerja berhak dan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja termasuk perlakuan yang sama terhadap penyandang cacat’.

Pasal 6 UU No 13 Tahun 2003 mewajibkan pengusaha memenuhi kewajibannya atau memberikan hak (misalnya upah, berserikat, berkumpul, rasa nyaman, keselamatan, kesehatan, keamanan, dan kenyamanan kerja) kepada para tenaga kerja tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik mereka.

Dengan memperhatikan ketentuan UU Ketenagakerjaan tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa perusahaan tersebut telah melakukan kelalaian atas tiga perlindungan pokok terhadap tenaga kerja. Pertama, perlindungan secara ekonomi, yakni diharapkan para tenaga kerja akan diberi imbalan jasa berupa gaji dan tunjangan-tunjangan yang sesuai dengan perjanjian kerja atau minimal dengan UMK. Kedua, perlindungan sosial, yakni setiap tenaga kerja diberi kesempatan luas untuk mendapatkan kesehatan, rasa aman, dapat berserikat dan berkumpul dengan menjadi anggota pada serikat/ serikat-serikat tenaga kerja di dalam dan di luar perusahaan. Ketiga, adanya perlindungan teknis yang berkaitan dengan keamanan dan keselamatan kerja serta kesehatan kerja.

Di samping ketiga perlindungan terhadap tenaga kerja tersebut masih ada beberapa perlindungan yang harus dipahami dan dilaksanakan pengusaha, antara lain norma keselamatan kerja, norma kesehatan kerja, norma kerja, dan norma kecelakaan kerja. Di samping itu, beberapa perlindungan tenaga kerja yang tidak boleh diabaikan antara lain perlindungan jaminan sosial tenaga kerja (sesuai dengan UU No 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja/ Jamsostek), perlindungan atas keselamatan dan kesehatan, serta perlindungan atas upah.

Dengan melihat cukup banyaknya cakupan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja, para pelaku/pimpinan perusahaan pengolahan limbah menjadi kuali di Tangerang tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana dengan pasal berlapis menggunakan tiga macam tindak pidana. Yaitu, tindak pidana penghilangan kemerdekaan (Pasal 333 KUHP) dengan ancaman hukuman 8 tahun pidana penjara, tindak pidana penganiayaan berat (Pasal 351 (1) dengan ancaman hukuman 5 tahun pidana penjara, dan tindak pidana perdagangan orang (Pasal 2 UU No 21 Tahun 2007) dengan ancaman hukuman 15 tahun pidana penjara.

Di samping penegakan secara hukum ketenagakerjaan dan hukum pidana, tampaknya permasalahan tragedi buruh kuali itu juga bisa terjadi karena beberapa hal. Itu antara lain, pertama, lemahnya pengawasan instansi tenaga kerja baik dari dinas tenaga kerja, Kemenakertrans, maupun pemerintah pusat. Harus diakui, meledaknya tragedi buruh itu sebagai bentuk kelalaian pemerintah dalam melindungi tenaga kerja sekaligus memberikan rasa aman dan nyaman serta kesehatan. Dengan adanya kasus tersebut, pemerintah diharapkan terdorong untuk lebih melindungi tenaga kerja secara materiil, secara hukum ketena gakerjaan dan hukum pidana, tampaknya permasalahan tragedi buruh kuali itu juga bisa terjadi karena beberapa hal. Itu an tara lain, pertama, lemahnya pengawasan instansi tenaga kerja baik dari dinas tenaga kerja, Kemenakertrans, maupun pemerintah pusat. Harus diakui, meledaknya tragedi buruh itu sebagai bentuk kelalaian pemerintah dalam melindungi tenaga kerja sekaligus memberikan rasa aman dan nyaman serta kesehatan. Dengan adanya kasus tersebut, peme rintah diharapkan terdorong untuk lebih melindungi tenaga kerja secara materiil, bukan formal semata.

Kedua, posisi tawar yang rendah dari buruh. Harus diakui, buruh yang pada umumnya hanya mengandalkan tenaganya dalam bekerja secara normatif berkedudukan sederajat/seimbang dengan pengusaha. Namun secara faktual, itu tidak sama dan tidak mungkin sama. Banyak kesewenangwenangan pengusaha dengan dalih bahwa pengusaha selalu dalam posisi tawar yang kuat, sedangkan buruh lemah. Pengusaha selalu memegang kendali dan berkuasa sehingga akan menyulitkan buruh untuk mempunyai kedudukan yang seimbang.

Ketiga, adanya dugaan keterlibatan aparat. Walau tidak gampang dibuktikan, banyak fakta memperlihatkan kedekatan pengusaha dengan aparat keamanan, yang kewenangannya sering kali disalahgunakan. Misalnya untuk membekingi usaha bisnis pengusaha, aparat digunakan untuk menakutnakuti buruh yang sedang berselisih dll. Keempat, perlindungan hukum terhadap tenaga kerja yang lemah. Banyak orang mengamini pernyataan yang mengatakan hukum akan tumpul dan tak berdaya manakala berhadapan dengan orang yang kuat (penguasa) dan hukum akan kuat dan tajam menghunjam manakala berhadapan dengan orang yang lemah (buruh).

Oleh karena itu, tidak salah kiranya ungkapan serupa dengan penegakan hukum di bidang ketenagakerjaan akan lemah manakala aparat penegak hukum berhadapan dengan orang yang kuat dan sebaliknya.
Untuk mengakhiri tulisan ini, kasus ‘praktik perbudakan’ di Tangerang, Banten, tersebut agar segera dituntaskan secara pasti, adil, dan transparan sehingga ke depan tidak ada lagi jeritan, rintihan, dan tangisan buruh serta ‘kesetaraan’ hak antara buruh dan para pengusaha dapat dicapai. Semoga. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar