|
MEDIA INDONESIA, 11 Mei 2013
KOTA Tangerang yang merupakan
kawasan industri dan permukiman padat penduduk awalnya tenang, tapi mendadak
menjadi sorotan media massa baik nasional maupun internasional. Hal itu terjadi
sebagai akibat dari penggerebekan yang dilakukan Polresta Tangerang pada 3 Mei
2013 terhadap sebuah perusahaan pengolahan limbah menjadi aluminium balok dan
kuali yang berada di Kampung Bayur Opak, Desa Lebak Wangi, Kecamatan Sepatan
Timur, Tangerang, yang dipimpin YK. Sebuah perlakuan yang memilukan dialami
sekitar 25 buruh (yang mestinya digunakan dengan istilah tenaga kerja. Dalam
tulisan ini saya gunakan dengan istilah ‘buruh’ untuk menggambarkan betapa
tidak manusiawinya perlakuan terhadap tenaga kerja di perusahaan tersebut).
Awal terbongkar ‘tragedi buruh’ itu bermula dari kaburnya
dua buruh dari sekapan dan melapor kepada Kontras dan Komnas HAM. Laporan itu ditindaklanjuti
dengan penggerebekan pada lokasi penyekapan terhadap 25 buruh yang di antaranya
anak-anak yang berasal dari Lampung, Bandung, dan Cianjur.
Ada beberapa hal yang tidak lazim di era globalisasi,
kebebasan, dan keterbukaan serta pengakuan atas hak-hak asasi manusia ini dalam
tragedi buruh tersebut, antara lain kerja paksa, disiksa, dipukuli, disiram
timah panas, disulut rokok, dan disekap di dalam pabrik, serta sebagai akibat
dari pengolahan limbah, buruh mengalami gatal-gatal, badan kurus, rambut kaku,
luka pukulan, luka air timah, asma, batuk-batuk, kadas dan kutu air, serta
trauma.
Di samping beberapa hal yang tidak manusiawi tersebut,
ternyata masih ditambah dengan tindakan-tindakan yang tidak kalah keji,
misalnya eksploitasi jam kerja buruh lebih dari 16 jam karena dimulai pukul
05.30 sampai pukul 22.00 WIB lebih, buruh tidak digaji dengan standar upah
minimum kabupaten (UMK), ruang istirahat yang amat sempit dan pengap, serta
terisolasinya buruh dengan lingkungannya eksploitasi jam kerja buruh lebih dari
16 jam karena dimulai pukul 05.30 sampai pukul 22.00 WIB lebih, buruh tidak
digaji dengan standar upah minimum kabupaten (UMK), ruang istirahat yang amat
sempit dan pengap, serta terisolasinya buruh dengan lingkungan sekitar.
Bila melihat beberapa kekejian majikan terhadap para buruh
tersebut, ada suatu pertanyaan besar di benak kita, antara lain bagaimanakah
perlindungan hukum dan penegakan hukum atas undang-undang ketenagakerjaan kita?
Salah siapakah peristiwa kekerasan fisik dan nonfisik kepada para buruh
tersebut?
Seperti diketahui dengan jelas, dalam Pasal 5 UU No 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa ‘Setiap tenaga kerja berhak dan
mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang
layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik
sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja termasuk perlakuan yang sama
terhadap penyandang cacat’.
Pasal 6 UU No 13 Tahun 2003 mewajibkan pengusaha memenuhi
kewajibannya atau memberikan hak (misalnya upah, berserikat, berkumpul, rasa
nyaman, keselamatan, kesehatan, keamanan, dan kenyamanan kerja) kepada para
tenaga kerja tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran
politik mereka.
Dengan memperhatikan ketentuan UU Ketenagakerjaan tersebut,
kiranya dapat dikatakan bahwa perusahaan tersebut telah melakukan kelalaian
atas tiga perlindungan pokok terhadap tenaga
kerja. Pertama, perlindungan secara ekonomi, yakni diharapkan para tenaga kerja
akan diberi imbalan jasa berupa gaji dan tunjangan-tunjangan yang sesuai dengan
perjanjian kerja atau minimal dengan UMK. Kedua, perlindungan sosial, yakni
setiap tenaga kerja diberi kesempatan luas untuk mendapatkan kesehatan, rasa
aman, dapat berserikat dan berkumpul dengan menjadi anggota pada serikat/
serikat-serikat tenaga kerja di dalam dan di luar perusahaan. Ketiga, adanya
perlindungan teknis yang berkaitan dengan keamanan dan keselamatan kerja serta
kesehatan kerja.
Di samping ketiga perlindungan terhadap tenaga kerja
tersebut masih ada beberapa perlindungan yang harus dipahami dan dilaksanakan
pengusaha, antara lain norma keselamatan kerja, norma kesehatan kerja, norma
kerja, dan norma kecelakaan kerja. Di samping itu, beberapa perlindungan tenaga
kerja yang tidak boleh diabaikan antara lain perlindungan jaminan sosial tenaga
kerja (sesuai dengan UU No 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja/
Jamsostek), perlindungan atas keselamatan dan kesehatan, serta perlindungan
atas upah.
Dengan melihat cukup banyaknya cakupan perlindungan hukum
terhadap tenaga kerja, para pelaku/pimpinan perusahaan pengolahan limbah
menjadi kuali di Tangerang tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban secara
pidana dengan pasal berlapis menggunakan tiga macam tindak pidana. Yaitu,
tindak pidana penghilangan kemerdekaan (Pasal 333 KUHP) dengan ancaman hukuman
8 tahun pidana penjara, tindak pidana penganiayaan berat (Pasal 351 (1) dengan
ancaman hukuman 5 tahun pidana penjara, dan tindak pidana perdagangan orang
(Pasal 2 UU No 21 Tahun 2007) dengan ancaman hukuman 15 tahun pidana penjara.
Di samping penegakan secara hukum ketenagakerjaan dan hukum
pidana, tampaknya permasalahan tragedi buruh kuali itu juga bisa terjadi karena
beberapa hal. Itu antara lain, pertama, lemahnya pengawasan instansi tenaga
kerja baik dari dinas tenaga kerja, Kemenakertrans, maupun pemerintah pusat.
Harus diakui, meledaknya tragedi buruh itu sebagai bentuk kelalaian pemerintah
dalam melindungi tenaga kerja sekaligus memberikan rasa aman dan nyaman serta
kesehatan. Dengan adanya kasus tersebut, pemerintah diharapkan terdorong untuk
lebih melindungi tenaga kerja secara materiil, secara hukum ketena gakerjaan
dan hukum pidana, tampaknya permasalahan tragedi buruh kuali itu juga bisa
terjadi karena beberapa hal. Itu an tara lain, pertama, lemahnya pengawasan
instansi tenaga kerja baik dari dinas tenaga kerja, Kemenakertrans, maupun
pemerintah pusat. Harus diakui, meledaknya tragedi buruh itu sebagai bentuk
kelalaian pemerintah dalam melindungi tenaga kerja sekaligus memberikan rasa
aman dan nyaman serta kesehatan. Dengan adanya kasus tersebut, peme rintah
diharapkan terdorong untuk lebih melindungi tenaga kerja secara materiil, bukan
formal semata.
Kedua, posisi tawar yang rendah dari buruh. Harus diakui,
buruh yang pada umumnya hanya mengandalkan tenaganya dalam bekerja secara normatif
berkedudukan sederajat/seimbang dengan pengusaha. Namun secara faktual, itu
tidak sama dan tidak mungkin sama. Banyak kesewenangwenangan pengusaha dengan
dalih bahwa pengusaha selalu dalam posisi tawar yang kuat, sedangkan buruh
lemah. Pengusaha selalu memegang kendali dan berkuasa sehingga akan menyulitkan
buruh untuk mempunyai kedudukan yang seimbang.
Ketiga, adanya dugaan keterlibatan aparat. Walau tidak
gampang dibuktikan, banyak fakta memperlihatkan kedekatan pengusaha dengan
aparat keamanan, yang kewenangannya sering kali disalahgunakan. Misalnya untuk
membekingi usaha bisnis pengusaha, aparat digunakan untuk menakutnakuti buruh
yang sedang berselisih dll. Keempat, perlindungan hukum terhadap tenaga kerja
yang lemah. Banyak orang mengamini pernyataan yang mengatakan hukum akan tumpul
dan tak berdaya manakala berhadapan dengan orang yang kuat (penguasa) dan hukum
akan kuat dan tajam menghunjam manakala berhadapan dengan orang yang lemah
(buruh).
Oleh karena itu, tidak salah kiranya ungkapan serupa dengan
penegakan hukum di bidang ketenagakerjaan akan lemah manakala aparat penegak
hukum berhadapan dengan orang yang kuat dan sebaliknya.
Untuk mengakhiri tulisan ini, kasus ‘praktik perbudakan’ di
Tangerang, Banten, tersebut agar segera dituntaskan secara pasti, adil, dan
transparan sehingga ke depan tidak ada lagi jeritan, rintihan, dan tangisan
buruh serta ‘kesetaraan’ hak antara buruh dan para pengusaha dapat dicapai. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar