Senin, 13 Mei 2013

Bahaya Sudden Stop pada Ekonomi Indonesia


Bahaya Sudden Stop pada Ekonomi Indonesia
Iman Sugema  ;  Ekonom
REPUBLIKA, 06 Mei 2013


Tahukah Anda bahwa yang mengakibatkan korban jiwa dalam kecelakaan lalu lintas bukanlah kecepatan kendaraan, melainkan justru berhentinya kendaraan secara tiba-tiba (sudden stop) dari kecepatan tinggi. Banyak kendaraan yang sedang mengebut kemudian terjungkal karena harus mengerem tiba-tiba untuk menghindari seekor kucing, misalnya. Sudden stop juga bisa diakibatkan oleh benturan atau tabrakan. Kalau tidak ada sudden stop, kendaraan bisa tetap melaju dengan kencang tanpa kecelakaan.

Adalah Rudiger "Rudi" Dornbusch, profesor ekonomi di MIT, yang menghubungkan fenomena kecelakaan lalu lintas dengan sudden stop yang mengakibatkan bankrutnya sebuah negara akibat aliran uang terhenti tiba-tiba. Banyak krisis keuangan terjadi bukan karena negara tersebut tidak memiliki kemampuan untuk membayar utang luar negeri, melainkan karena tiba-tiba kreditor tidak lagi mau memberi kredit. Contohnya adalah krisis keuangan yang menimpa kita pada 1997-1998. Saat itu, kita sedang tumbuh dengan begitu meyakinkan sehingga disebut sebagai salah satu "macan Asia". Krisis datang secara tiba-tiba sebagai sebuah sudden stop.

Kekhawatiran terhadap krisis yang sama kini mulai timbul ke permukaan. Kita sedang mengalami fase pertumbuhan yang sangat tinggi di tengah-tengah situasi ekonomi global yang sedang sempoyongan akibat krisis utang di Eropa. Dalam situasi normal, pertumbuhan ekonomi sebesar enam persen bukanlah hal yang luar biasa. Namun, ketika yang lain tengah terpuruk, angka pertumbuhan sebesar itu hanya kalah tipis dari negeri Tirai Bambu. Kita dan Cina merupakan dua negara besar yang mengalami pertumbuhan paling tinggi.
Pada saat pertumbuhan sedang tinggi-tingginya, justru kekhawatiran terhadap bahaya sudden stop tiba-tiba muncul. Perkaranya memang bukan hal yang sepele, yakni tingginya utang luar negeri swasta dan masalah korupsi di lingkaran kekuasaan tertinggi. Dua hal yang sangat mirip dengan penyebab krisis moneter 1997-1998.

Statistik menunjukkan, utang luar negeri swasta telah mencapai 126 miliar dolar AS. Mungkin angka ini bisa meningkat atau menurun beberapa miliar dolar AS dalam jangka dekat ini, tapi bukan besarannya yang jadi masalah. Dalam kurun waktu yang sangat singkat, angka utang swasta terakumulasi secara high speed 2,5 kali lipat dari angka di kisaran 50 miliar dolar. Jangka waktu pembayarannya pun semakin singkat, yaitu rata-rata 10 bulan.

Dengan demikian, bahaya terbesar timbul bukan dari menggelembungnya utang, melainkan karena sifat utangnya yang berjangka pendek. Sebagai perbandingan, utang luar negeri pemerintah kira-kira jumlahnya sama dengan utang swasta, tapi profilnya relatif berbeda, yakni merupakan utang jangka panjang. Utang jangka panjang relatif kurang berbahaya. Bahaya sudden stop mungkin timbul bukan karena swasta Indonesia tidak mampu bayar, tapi karena kreditor di luar negeri sedang kekurangan uang. Lho, kok bisa begitu?

Saat ini, di Eropa hampir semua lembaga keuangan sedang mengalami kesulitan karena debiturnya sedang meng hadapi krisis. Sementara, bank-bank besar tetap mampu bertahan karena mendapat suntikan dana segar dari pemerintah dan Bank Sentral Eropa. Bagaimana kalau tiba-tiba ada sebuah perusahaan besar atau sebuah negara sekecil Siprus menyatakan tidak sanggup bayar utang. Jelas hal ini dapat menimbulkan bahaya bagi lembaga keuangan di Eropa dan Amerika. Karena situasi keuangan sedang terganggu, bank akan memilih untuk memegang cash dalam jumlah yang lebih banyak.

Artinya, setoran cicilan dari debitur tidak lagi diputarkan dalam penyediaan kredit baru, tetapi diakumulasikan sebagai dana berjaga-jaga. Kalau semua bank di Eropa melakukan itu, pasar keuangan global akan mengalami kekurangan likuiditas. Imbasnya, perusahaan-perusahaan di Indonesia akan kesulitan dalam melakukan roll-over terhadap utang yang jatuh tempo. Bukan karena kita tak sanggup bayar, melainkan kreditor tak cukup punya uang untuk memberi utang baru. Nah, kalau itu terjadi, perusahaan-perusahaan besar di Indonesia akan mengalami kesulitan likuiditas. Bahaya ini begitu nyata walaupun krisis di Eropa sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan aktivitas ekonomi kita sehari-hari. Lantas apa hubungannya dengan korupsi di lingkaran kekuasaan? Ini mah mungkin sekadar gosip murahan ala infotaintment. Namun, yang jadi masalah adalah persepsi sebagian besar pemodal sudah sangat serius mengenai hal ini.

Perkaranya sendiri mungkin tak ada kaitan. Kita semua tahu bahwa beberapa eks petinggi Partai Demokrat sedang menghadapi tuntutan pidana korupsi. Persepsinya adalah, ring satu Istana dikelilingi oleh tikus-tikus korup. Tiba-tiba saja Hatta Rajasa sebagai menko perekonomian ditunjuk merangkap sebagai menteri keuangan. Setelah itu, ramai dipergunjingkan bahwa penunjukan tersebut dimaksudkan untuk memuluskan kepentingan keluarga Istana. Saya tidak tahu apakah "gunjingan" ini memiliki nilai kebenaran atau tidak. Namun faktanya, para pemilik modal memersepsikan ini sebagai sebuah masalah yang sangat serius. Maksudnya, kepentingan negara dipersepsikan sudah kalah oleh kepetingan keluarga.

Mungkin penunjukan itu tak ada kaitannya sama sekali dengan pengamanan kepentingan keluarga. Akan tetapi di dunia finansial, persepsi sering dianggap sebagai sebuah realitas. Persepsi yang buruk dapat memicu pelarian modal yang kemudian memperkuat efek negatif sudden stop di Eropa. Kalau saja tidak ada kasus Nazaruddin, Anas, Andi, dan Angelina, penunjukan Hatta Rajasa tidak akan menjadi kerikil buat Istana. Sebagai rakyat, kita hanya bisa berdoa semoga sudden stop tidak akan terjadi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar