|
REPUBLIKA,
06 Mei 2013
Tahukah
Anda bahwa yang mengakibatkan korban jiwa dalam kecelakaan lalu lintas bukanlah
kecepatan kendaraan, melainkan justru berhentinya kendaraan secara tiba-tiba (sudden stop) dari kecepatan tinggi.
Banyak kendaraan yang sedang mengebut kemudian terjungkal karena harus mengerem
tiba-tiba untuk menghindari seekor kucing, misalnya. Sudden stop juga bisa
diakibatkan oleh benturan atau tabrakan. Kalau
tidak ada sudden stop, kendaraan bisa
tetap melaju dengan kencang tanpa kecelakaan.
Adalah Rudiger "Rudi" Dornbusch, profesor ekonomi
di MIT, yang menghubungkan fenomena kecelakaan lalu lintas dengan sudden stop yang mengakibatkan
bankrutnya sebuah negara akibat aliran uang terhenti tiba-tiba. Banyak krisis
keuangan terjadi bukan karena negara tersebut tidak memiliki kemampuan untuk
membayar utang luar negeri, melainkan karena tiba-tiba kreditor tidak lagi mau
memberi kredit. Contohnya adalah krisis keuangan yang menimpa kita pada
1997-1998. Saat itu, kita sedang tumbuh dengan begitu meyakinkan sehingga
disebut sebagai salah satu "macan Asia". Krisis datang secara
tiba-tiba sebagai sebuah sudden stop.
Kekhawatiran terhadap krisis yang sama kini mulai timbul ke
permukaan. Kita sedang mengalami fase pertumbuhan yang sangat tinggi di
tengah-tengah situasi ekonomi global yang sedang sempoyongan akibat krisis utang
di Eropa. Dalam situasi normal, pertumbuhan ekonomi sebesar enam persen
bukanlah hal yang luar biasa. Namun, ketika yang lain tengah terpuruk, angka
pertumbuhan sebesar itu hanya kalah tipis dari negeri Tirai Bambu. Kita dan
Cina merupakan dua negara besar yang mengalami pertumbuhan paling tinggi.
Pada saat pertumbuhan sedang tinggi-tingginya, justru
kekhawatiran terhadap bahaya sudden stop tiba-tiba muncul. Perkaranya memang
bukan hal yang sepele, yakni tingginya utang luar negeri swasta dan masalah
korupsi di lingkaran kekuasaan tertinggi. Dua hal yang sangat mirip dengan
penyebab krisis moneter 1997-1998.
Statistik menunjukkan, utang luar negeri swasta telah
mencapai 126 miliar dolar AS. Mungkin angka ini bisa meningkat atau menurun
beberapa miliar dolar AS dalam jangka dekat ini, tapi bukan besarannya yang
jadi masalah. Dalam
kurun waktu yang sangat singkat, angka utang swasta terakumulasi secara high speed 2,5 kali lipat dari angka di
kisaran 50 miliar dolar. Jangka waktu pembayarannya pun semakin singkat, yaitu
rata-rata 10 bulan.
Dengan demikian, bahaya terbesar timbul bukan dari
menggelembungnya utang, melainkan karena sifat utangnya yang berjangka pendek. Sebagai
perbandingan, utang luar negeri pemerintah kira-kira jumlahnya sama dengan
utang swasta, tapi profilnya relatif berbeda, yakni merupakan utang jangka
panjang. Utang jangka panjang relatif kurang berbahaya. Bahaya sudden stop mungkin timbul bukan karena
swasta Indonesia tidak mampu bayar, tapi karena kreditor di luar negeri sedang
kekurangan uang. Lho, kok bisa begitu?
Saat ini, di Eropa hampir semua lembaga keuangan sedang
mengalami kesulitan karena debiturnya sedang meng hadapi krisis. Sementara,
bank-bank besar tetap mampu bertahan karena mendapat suntikan dana segar dari
pemerintah dan Bank Sentral Eropa. Bagaimana kalau tiba-tiba ada sebuah
perusahaan besar atau sebuah negara sekecil Siprus menyatakan tidak sanggup
bayar utang. Jelas hal ini dapat menimbulkan bahaya bagi lembaga keuangan di
Eropa dan Amerika. Karena situasi keuangan sedang terganggu, bank akan memilih
untuk memegang cash dalam jumlah yang
lebih banyak.
Artinya, setoran cicilan dari debitur tidak lagi diputarkan
dalam penyediaan kredit baru, tetapi diakumulasikan sebagai dana berjaga-jaga.
Kalau semua bank di Eropa melakukan itu, pasar keuangan global akan mengalami
kekurangan likuiditas. Imbasnya, perusahaan-perusahaan di Indonesia akan
kesulitan dalam melakukan roll-over terhadap
utang yang jatuh tempo. Bukan karena kita tak sanggup bayar, melainkan kreditor
tak cukup punya uang untuk memberi utang baru. Nah, kalau itu terjadi, perusahaan-perusahaan
besar di Indonesia akan mengalami kesulitan likuiditas. Bahaya ini begitu nyata
walaupun krisis di Eropa sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan aktivitas
ekonomi kita sehari-hari. Lantas apa hubungannya dengan korupsi di lingkaran
kekuasaan? Ini mah mungkin sekadar gosip murahan ala infotaintment. Namun, yang jadi masalah adalah persepsi sebagian
besar pemodal sudah sangat serius mengenai hal ini.
Perkaranya sendiri mungkin tak ada kaitan. Kita semua tahu
bahwa beberapa eks petinggi Partai Demokrat sedang menghadapi tuntutan pidana
korupsi. Persepsinya adalah, ring satu Istana dikelilingi oleh tikus-tikus
korup. Tiba-tiba saja Hatta Rajasa sebagai menko perekonomian ditunjuk merangkap
sebagai menteri keuangan. Setelah itu, ramai dipergunjingkan bahwa penunjukan
tersebut dimaksudkan untuk memuluskan kepentingan keluarga Istana. Saya tidak
tahu apakah "gunjingan" ini memiliki nilai kebenaran atau tidak. Namun
faktanya, para pemilik modal memersepsikan ini sebagai sebuah masalah yang sangat
serius. Maksudnya, kepentingan negara dipersepsikan sudah kalah oleh kepetingan
keluarga.
Mungkin penunjukan itu tak ada kaitannya sama sekali dengan
pengamanan kepentingan keluarga. Akan tetapi di dunia finansial, persepsi sering
dianggap sebagai sebuah realitas. Persepsi yang buruk dapat memicu pelarian
modal yang kemudian memperkuat efek negatif sudden
stop di Eropa. Kalau saja tidak ada kasus Nazaruddin, Anas, Andi, dan
Angelina, penunjukan Hatta Rajasa tidak akan menjadi kerikil buat Istana.
Sebagai rakyat, kita hanya bisa berdoa semoga sudden stop tidak akan terjadi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar