|
REPUBLIKA,
03 Mei 2013
Hari
Kekayaan Hak Intelektual Sedunia (Hari HKI) ke-13 diperingati Indonesia pada 26
April 2013, dengan kegiatan rutin berupa seminar, lomba, dan pameran HKI.
Kegiatan digelar tanpa mencanangkan politik dan rencana pengembangan HKI Indonesia
untuk menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 atau Pasar Tunggal ASEAN dan
mengesampingkan pula pengalaman dampak ASEAN-China
Free Trade Agreement (ACFTA).
Kerisauan
Menteri Perindustrian MS Hidayat terhadap persiapan industriawan nasional dan
pemerintah dalam menghadapi Pasar Tunggal ASEAN telah diberitakan. Kegalauan
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan terhadap maraknya impor produk batik dari
Thailand dan Cina saat meninjau ke Pasar Tanah Abang beberapa waktu yang lalu
menunjukkan ketidaksiapan kita menghadapi Pasar Tunggal ASEAN.
Lalu
bagaimana dengan HKI Indonesia? Di antara anggota ASEAN, jumlah permohonan
merek di Indonesia yang mencapai sekitar 55 ribu merek pada 2011 merupakan
jumlah yang paling ba nyak dibandingkan Thailand yang mencapai sekitar 40 ribu
merek, Vietnam 33 ribu merek, atau Malaysia sekitar 29 ribu merek. Begitu pula
jumlah permohonan desain industri yang berjumlah sekitar 4.200 desain industri,
sedangkan Thailand menerima permohonan desain industri sekitar 3.800 desain
industri, Singa pura menerima 2.200 desain industri pada tahun 2011.
Jumlah
permohonan pendaftaran merek dan desain industri pada Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI) masih didominasi oleh para pemohon dalam
negeri. Seharusnya jumlah permohonan merek dan desain industri yang diterima
Ditjen HKI harus lebih banyak lagi karena populasi penduduk Indonesia sekitar
40 persen dari jumlah penduduk ASEAN. Semakin banyak permohonan merek dan
desain industri yang didaftarkan dari dalam negeri, seharusnya menunjukkan
semakin banyak kegiatan bisnis, terjadi pertumbuhan ekonomi, dan timbul
kesadaran perlunya perlindungan HKI.
Salah
satu indikasi untuk menunjukkan suatu negara kompetitif di bidang teknologi
atau tidak, ditentukan dari jumlah permohonan paten yang diterima oleh Ditjen
HKI atau Kantor HKI negara tersebut. Semakin banyak invensi di bidang
teknologi yang dipatenkan, maka negara itu semakin dianggap memiliki daya saing
di bidang teknologi. Disayangkan jumlah permohonan paten dari dalam negeri
hanya mencapai sekitar 10 persen dari jumlah seluruh permohonan paten yang
berjumlah sekitar 5.800 invensi atau penemuan yang diterima oleh Ditjen HKI
pada tahun 2011.
Jumlah
permohonan paten itu dianggap sedikit apabila dibandingkan dengan jumlah
permohonan paten yang diterima oleh Kantor Paten Singapura yang mencapai sekitar
9.800 invensi, atau Malaysia yang menerima permohonan paten sebanyak 6.500
invensi. Membandingkan dengan dua negara tetangga terdekat saja bisa
membuktikan bahwa kemampuan teknologi terutama teknologi paten di Indonesia dianggap
tidak kompetitif dan tidak menimbulkan kekhawatiran terjadi persaingan,
perebutan, apalagi pencurian teknologi paten.
Dengan
jumlah permohonan paten, terutama dari dalam negeri yang begitu sedikit dan
sengketa paten yang minim, dapat membuktikan pula bahwa Indonesia hanya akan
menjadi pasar teknologi (paten) asing. Akibat lain, Indonesia akan tergantung
pada teknologi paten asing dan devisa atas pembayaran royalti paten tanpa
disadari memengaruhi devisa negara.
Meski
tahun depan disibukkan dengan pemilihan presiden, dan Pasar Tunggal ASEAN 2015
hanya tinggal hitungan bulan, bukan berarti pemerintah, khususnya Ditjen HKI,
pasrah begitu saja. Menerapkan permohonan HKI secara electronic-filing (e-filing)
secara nyata dan bukan wacana sebagaimana sekarang ini akan memudahkan para
inventor dari kalangan perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan swasta dari
berbagai daerah segera mengajukan permohonan patennya tanpa perlu datang ke
Tangerang.
Pengajuan
secara e-filing juga akan memacu
jumlah permohonan merek dan desain industri lebih banyak lagi, dan tentunya
akan sangat mengurangi biaya permohonan HKI itu. Dengan e-filing akan
memberikan persamaan hak para inventor, pendesain, dan pengusaha pemilik merek
dari berbagai daerah di Tanah Air yang jauh dari Tangerang untuk melindungi hak
kekayaan intelektualnya.
Penerapan
e-filing untuk permohonan HKI akan memacu pula perkembangan perdagangan,
industri, dan kesadaran para inventor dari berbagai daerah untuk melindungi
inovasi yang berbasis paten. Sehingga, pertumbuhan ekonomi yang berbasis pada
pemanfaatan sumber daya alam bergeser pada sumber daya manusia yang berbasis
pada mental kewirausahaan dan berinovasi.
E-filing
sesungguhnya telah dapat diterapkan oleh pemerintah dan sistem itu bukan lagi
sistem yang canggih dengan biaya mahal. Namun, ego sektoral dari direktorat
lain telah menghambatnya karena jika sistem itu diterapkan diduga akan
memengaruhi kesejahteraan. Bagi pemerintah yang mau bertanggung jawab akan
kemajuan perdagangan dan industri, serta teknologi nasional yang berbasis paten,
penerapan e-filing yang tulus dan benar merupakan keharusan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar