Sabtu, 04 Mei 2013

Dilematika Pembangunan dan Imperialisme Ekologi


Dilematika Pembangunan dan Imperialisme Ekologi
Arif Novianto ;  Mahasiswa Manajemen dan Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik di Universitas Gadjah Mada (UGM) - Yogyakarta
SUAR OKEZONE, 03 Mei 2013


Di dalam konteks Negara-negara dunia ketiga, pembangunan sebagai salah satu paradigma dan teori perubahan sosial pada dewasa ini telah mengalami kegagalan dan tengah berada pada masa krisis (Fakih, 2001: 97). Kegagalan dan krisis tersebut terjadi akibat dari tidak pernah tercapainya fungsi dan tujuan dari Pembangunan tersebut, yaitu untuk dapat menciptakan kesejahtraan, pemerataan dan keadilan. Sedangkan yang sering terjadi dari Pembangunan tersebut malahan peningkatan kemiskinan, semakin melebarnya ketimpangan, ketidakmerataan dan kerusakan lingkungan.
     
Di Indonesia, kata “Pembangunan” seolah lebih dieratkan dengan rezim Orde Baru. Kata Pembangunan di dalam konteks Orba, sangat erat kaitannya dengan discourse development yang dikembangkan oleh Negara Kapitalis barat. Sehingga pembangunan pada era Soeharto tersebut merupakan bagian dari Ideologi “Pertumbuhan”, yang di mana poin Pertumbuhan ekonomi digenjot setinggi mungkin, tetapi dengan harga kerusakan sumber daya alam dan kesenjangan sosial yang terus dibiarkan, hingga akhirnya justru berbalik menghancurkan hasil-hasil pertumbuhan itu sendiri (Rachbini, 2004). Dan model pembangunan tersebutlah, pada era pasca-reformasi ini masih tetap digunakan oleh para Pemerintah Daerah dan Nasional.

Problematika Pembangunan Daerah
    
Di dalam konteks Otonomi Daerah sekarang ini, hampir setiap Daerah berupaya untuk memacu pertumbuhan PAD (Pendapatan Asli Daerah) mereka masing-masing. Hal tersebut tak lain akibat dari kesalahan penafsiran tetang Otonomi Daerah ini sendiri, yang dimana keberhasilan dari pelaksanaan Otonomi Daerah hanya dimaknai ketika Daerah-Daerah tersebut memiliki PAD yang tinggi dibanding daerah-daerah lainnya. Akhirnya muncul tendensi para Pemerintah Daerah melakukan pemaksaan-pemaksaan pembangunan tertentu atas nama untuk peningkatan PAD dan mitos kesejahtraan yang dihadirkannya.
    
Adanya pemaksaan di dalam pembangunan daerah tersebut, selain dipengaruhi oleh kesalah penafsiran tentang otonomi daerah juga dikarenakan adanya faktor persekongkolan gelap yang dapat memberikan keuntungan terhadap para Kepala Daerah beserta kroninya. Yaitu melalui deal-deal politik tertentu dengan para pengusaha dan investor untuk mendapat jalan kemudahan akses terhadap IUP. Dan timbal-baliknya pasti menguntungakan para Kepala Daerah dan pengusaha/investor sedangkan rakyatlah yang menanggung besarnya kerugian yang harus mereka terima. Apalagi didorong dengan mahalnya biaya di dalam mengarungi setiap ajang kontestasi politik di Indonesia sekarang ini, yang semakin memiliki tendensi kuat munculnya perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha tersebut.

Akibatnya seperti data dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), bahwa 35 persen daratan Indonesia diizinkan untuk dibongkar guna industri pertambangan oleh 1.194 perusahaan pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan, dan 257 Kontrak Pertambangan Batu bara (PKP2B). Data tersebut memperlihatkan bagaimana frame kebijakan dari Pemerintah pusat maupun daerah yang masih berkutat dengan idiologi pertumbuhan, tanpa sedikit pun melihat akan dampak yang ditimbulkan oleh pemaksaan pembangunan itu sendiri. Buah dari pembangunan pertambangan tersebut yang terjadi malahan menciptakan bencana dengan rakyat menjadi korbannya, sedangkan hanya segelintir orang yang menikmati manfaatnya. Itu memperlihatkan praktek pembangunan yang Mudarat.
    
Keadaan tersebutlah yang pelak membuat terjadinya berbagai mobilisasi Gerakan Sosial dengan tujuan melakukan penolakan terhadap pembangunan yang berusaha dihadirkan oleh pemerintah. Seperti pada kasus penolakan rakyat terhadap pembangunan pertambangan pasir besi di Kulonprogo atau gerakan penolakan rakyat Pati terhadap rencana eksplorasi pertambangan pabrik semen di kawasan Pegunungan kedeng utara-pati. 

Praktek Imperialisme Ekologi
    
Munculnya Praktek Imperialisme Ekologi sekarang sedang menghantui Negara-negara Dunia ketiga yang memiliki Sumber Daya Alam cukup besar, seperti Indonesia. Menurut Foster (the Ecological Revolution, 2009), praktik imperialisme ini ditandai dengan berlangsungnya perampasan sumber daya alam oleh kekuatan dominan (dari negeri-negeri kapitalis maju) terhadap negeri-negeri yang terkebelakang dan mengubah secara drastis keseluruhan ekosistem di mana negara dan bangsa-bangsa itu bergantung.
    
Praktek Imperialisme ekologi ini dijalankan oleh Perusahaan-perusahaan transnasional maupun nasional. Agar dapat leluasa melakukan praktek eksploitasi terhadap Sumber Daya Alam, mereka melakukan seperti yang sudah dijelaskan di atas yaitu perselingkuhan gelap dengan Pemerintahan Negara. Untuk kemudian turut mendikte aturan-aturan yang berlaku di Negara atau Daerah tersebut melalui bantuan kekuatan-kekuatan Kapitalis Global. Yang dilanjutkan melalui deal-deal politik tertentu dengan elit-elit politik untuk diberi jalan kemudahan dan keamanan di dalam menjalankan misi Imperialisme Ekologinya.
    
Akibat yang ditimbulkan salah satunya adalah munculnya pemiskinan secara bertahap terhadap para petani atau masyarakat lokal di area pertambangan. Yaitu sebuah gejala dimana terjadi suatu perampasan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar terhadap tanah-tanah milik para petani melalui relasi jual-beli di bawah bayang-bayang tekanan dan represi dengan nilai yang dibawah rata-rata. Ketiadaan lahan pertanian, telah membuat para petani tersebut harus beralih menjadi buruh tani atau pekerja kasar di industri pertambangan dengan upah rendah. Keadaan tersebutlah yang membuat perlahan kehidupan para petani yang kehilangan lahan pertaniannya akan semakin terpuruk.
    
Itu terjadi akibat besarnya dampak lingkungan dan sosial yang mengalir ke dampak ekonomi yang harus dihadapi oleh para petani yang telah diciptakan oleh perusahaan pertambangan tersebut. Kemudian Perusahaan tersebut seolah akat tangan terhadap dampak yang telah diciptakannya, sedangkan pemerintah harus membuta melihat keadaan tersebut akibat tersandra oleh persekongkolan gelap. Dan disatu sisi program CSR yang dihadirkan oleh perusahaan hanya seperti obat “pelipur lara” yang masih menyakitkan. Atau seperti sebuah makanan ringan yang diberikan kepada para warga sekitar agar mereka dapat terus dihisap darahnya.
    
Melihat kenyataan yang demikian, memperlihatkan bagaimana pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang telah menciptakan kerusakan lingkungan dan penyengsaraan masyarakat sekitar masih berfikir secara pragmatis. Yang di mana pandangannya hanya terbatas  bahwa alam berada di bawah kendali manusia, sehingga manusia dianggap bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan terhadap alam. Pemaksaan pembangunan yang terjadi akibat dari perselingkuhan antara penguasa dengan pengusaha ini harus segera diakhiri. Tanpa hal tersebut, maka kehancuran demi kehancuran siap menghadang dari apa yang dinamakan sebagai proses pembangunan.
    
Perbaikan terhadap sistem politik yang sedang belangsung di alam demokrasi Indonesia sekarang ini menjadi hal yang wajib dilakukan untuk dapat memutus jeratan Imperialisme ekologi tersebut. Karena munculnya tindakan melenceng yang dilakukan oleh para penguasa di pemerintahan terjadi akibat adanya keleluasaan yang telah diberikan oleh sistem atau struktur yang berlaku. Selain itu penguatan kekuatan basis rakyat sangat perlu untuk didorong. Karena Gerakan civil society yang kuat akan menjadi oposisi yang cemerlang untuk mengontrol dan menekan pemerintah.
    
Tanpa hal tersebut maka yang terjadi adalah proses destruksi dengan mengatas namakan pembangunan. Atau semakin memperbanyak potret-potret gambaran keadaan Neraka kecil di Dunia, yang salah satunya dapat kita lihat di Mimika Papua dengan panorama alam yang menyengangkan yang telah diciptakan oleh PT Freeport McMoRan Copper and Gold dan juga berbagai rengekan kesengsaraan yang menyertainya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar