|
REPUBLIKA,
03 Mei 2013
Sosok
mantan kabareskrim Polri Komjenpol (Purn) Susno Duadji yang mucul dan
memberikan pernyataan di Youtube 29 April 2013 adalah kesalahan besar. Sejatinya
hal tersebut dilakukan dengan maksud agar mendapatkan simpati dari masyarakat.
Justru yang terjadi sebaliknya, hal tersebut mendulang antipati dari berbagai
lapisan.
Kejaksaan
Agung telah resmi menetapkan terpidana korupsi Komjenpol (Purn) Susno Duadji
masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) alias buron.
Mantan kabareskrim Polri itu hingga kini tidak diketahui keberadaannya dan dalam
pencarian pihak kejaksaan.
Susno
menyatakan dirinya tidak dapat dieksekusi dengan berbagai alasan. Pertama, dia
menyatakan putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak kasasinya tidak
mencantumkan perintah penahanan sebagaimana diisyaratkan Pasal 197 ayat (1)
huruf k KUHAP, dan Putusan Mahkamah Agung sama sekali tidak mencantumkan bahwa
dia dihukum penjara. Alasan kedua, Susno menilai bahwa Putusan Pengadilan
Tinggi Jakarta cacat hukum karena salah dalam menuliskan nomor Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Berdasarkan argumen itu, Susno menganggap
kasusnya telah selesai.
Pemahaman
tersebut adalah kekeliruan sangat fatal. Pasal 197 KUHAP tidak bisa dibaca
secara parsial atau ditafsirkan secara tersendiri. Ketentuan pasal tersebut
harus juga melihat ketentuan lainnya dalam KUHAP khususnya yang mengatur
penahanan dan putusan pengadilan. Oleh sebab itu, sebelum memaknai
pengertian penahanan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, lihat dulu ketentuan
Pasal 193 KUHAP di mana pasal tersebut membahas tentang putusan pengadilan yang
menjatuhkan pidana atau membebaskan terdakwa. Pasal ini berada dalam satu bab
dan satu bagian dengan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP yaitu Bab XVI tentang
pemeriksaan di sidang pengadilan, bagian keempat tentang pembuktian dan putusan
dalam acara pemeriksaan biasa. Hal senada juga diatur dalam Pasal 242 KUHAP.
Dalam
Pasal 193 KUHAP tidak menjadikan kata atau perintah penahanan menjadi suatu
syarat mutlak atau suatu keharusan, melainkan bersifat pilihan.
Pasal 193 ayat (2) huruf a dan b, tertulis kata `dapat'. Hal ini menunjukkan
bahwa hakim dalam putusannya mempunyai kewenangan untuk memutuskan apakah
terdakwa ditahan atau tidak.
Akan
menjadi sangat aneh jika dalam Putusan PN Jakarta Selatan dalam perkara Susno
tersebut dicantumkan kata perintah supaya terdakwa ditahan, karena sebelum
putusan itu diucapkan, masa penahanan terdakwa di tingkat pemerikaan sidang
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah habis dan mengakibatkan terdakwa harus
keluar dari tahanan demi hukum. Dengan demikian, di dalam putusan PN Jakarta
Selatan tersebut tidak mungkin dicantumkan kata-kata perintah supaya terdakwa
ditahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP.
Sebelumnya,
Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa Putusan MK tentang
putusan pemidanaan yang tidak memenuhi Pasal 197 KUHAP khususnya huruf k
terkait perintah pemidanaan memang tidak batal demi hukum. MK juga
memutuskan untuk menghapuskan huruf k dari Pasal 197 ayat (1) KUHAP, dan
menetapkan bahwa rumusan dari ayat 2 dari Pasal 197 itu tidak mencantumkan lagi
huruf k.
Muncullah
kemudian dualisme hukum dan sekaligus ketidakpastian hukum dan hal ini
berdampak pada setiap putusan perkara yang tidak memuat amar sebagaimana
tersebut dalam pasal 197 ayat (1) huruf k. Pertanyaannya, apakah kita rela
melepaskan kembali para pelaku kejahatan yang sudah terbukti di persidangan dan
sangat jelas merugikan banyak kalangan dan merugikan masyarakat hanya gara-gara
atau disebabkan pendapat perseorangan tersebut?
Ada
beberapa solusi, menurut penulis, yang harus segera diambil untuk mengatasi masalah
ini. Mahkamah Agung sebagai lembaga yang melahirkan putusan akhir dari suatu
proses peradilan hendaknya segera mengeluarkan fatwa atau surat edaran yang berlaku
yang menegaskan bahwa pasal 197 huruf k tidak perlu ada dalam putusan MA. Hal ini
dilakukan dengan pertimbangan bahwa Pasal 197 KUHAP tidak bisa dibaca dan
diartikan secara parsial atau ditafsirkan secara tersendiri. Pasal tersebut
harus dipahami dengan juga melihat ketentuan lainnya dalam KUHAP di antaranya
menyangkut Pasal 193 dan Pasal 242 KUHAP.
Tanpa
harus menunggu adanya fatwa atau surat edaran dari MA yang berlaku umum
(sebelum dan sesudah putusan MK terkait Pasal 197 KUHAP khususnya huruf k terkait
perintah penahanan), kejaksaan tidak perlu ragu untuk mengeksekusi Susno.
Putusan pengadilan hanya bisa dibatalkan oleh putusan pengadilan lain yang
lebih tinggi.
Kejaksaan
memiliki dasar kuat untuk melakukan eksekusi terhadap terpidana Susno dengan
beberapa alasan. Pertama adalah putusan MA sebagai judex juris bersifat eksekutorial sehingga tidak perlu mencantumkan
perintah terdakwa ditahan. Jika sudah diputus di tingkat kasasi, status hukum
dan sebutannya bukan terdakwa lagi melainkan sudah terpidana. Dengan demikian,
tidak relevan menggunakan kata penahanan melainkan lebih tepat menggunakan kata
eksekusi sehingga Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP tidak lagi diterapkan di dalam
putusan MA.
Alasan
kedua adalah Putusan MK nomor 69/PUU-X/2012. Putusan ini merupakan pengujian atas
Pasal 197 (1) huruf k oleh H Parlin Riduansyah di mana MK dalam putusannya
menolak permohonan pemohon keseluruhannya. Dalam pertimbangannya hakim
menyatakan bahwa secara materiil-substantif kualifikasi imperatif atau
mandatori Pasal 197 ayat (1) KUHAP tidak dapat dikatakan setingkat,
terlebih lagi jika membacanya dikaitkan dengan pasal-pasal lain.
Alasan
berikutnya yaitu harus menjadi prinsip bahwa siapa pun yang bersalah harus
dihukum. Hal ini juga sejalan dengan teori progresif yang dikemukakan oleh Prof
Satjipto Rahardjo yang mengatakan bahwa hukum itu untuk manusia, bukan manusia
untuk hukum. Adapun mengenai argumentasi hukum dari Pasal 197 KUHAP sebagai
salah satu kaidah hak formal yang harus mengawal penerapan hukum materiil tidak
dapat dijadikan sebagai alasan untuk tidak mengeksekusi terpidana Susno.
Seluruh rangkaian dalam proses penegakan hukum tersebut sudah dilalui dengan
baik dan juga benar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar