Rabu, 08 Mei 2013

Pesan Sesat Tayangan Raffi


Pesan Sesat Tayangan Raffi
Reza Indragiri Amriel   Psikolog Forensik, Konsultan UNODC (United Nations on Drug and Crime) serta Penerima Asian Public Intellectual Fellowship
JAWA POS, 08 Mei 2013


BADAN Narkotika Nasional (BNN) punya pengalaman sangat traumatis, yaitu ketika duta antinarkoba yang ditunjuknya ternyata seorang keledai. Ya, seorang keledai, yang terperosok ke lubang yang sama untuk kali kedua. Duta antinarkoba berlatar aktor legendaris itu sungguh-sungguh mempermalukan BNN, sekaligus istri dan anak-anaknya, dengan menjadi residivis narkoba.

Kini BNN kembali dipusingkan oleh artis Raffi Ahmad. Beberapa waktu lalu, Raffi disergap BNN di rumahnya. Setelah melalui penahanan dan rehabilitasi, kini Raffi dikenai wajib lapor.

Sampai di situ saja, saya sudah kesal dibuatnya. Ungkapan seorang perwira Polri menambah masygul saya bahwa BNN akan kejeblos lagi kali ini. Si polisi dengan bangga mengatakan, ''Kalau kami di Polri, alhamdulillah, sampai saat ini tidak pernah ada tersangka yang terlibat kasus narkoba yang ditangguhkan.'' Kekesalan saya pun semakin membuncah ketika Ahad lalu saya saksikan Raffi kembali menjadi host show musik di televisi swasta!

Saya tidak begitu paham kompleksitas hukum di balik keputusan BNN untuk melepas Raffi. Yang jelas, karena penindakan hukum juga memiliki tujuan general deterrence, pelepasan atas diri Raffi itu dikhawatirkan kontraproduktif dengan perang BNN terhadap narkoba. Itu berbeda dengan specific deterrence, yakni penindakan hukum diarahkan khusus terhadap individu yang (disangka) berbuat melawan hukum atau kejahatan.

General deterrence dimaksudkan agar penindakan hukum berpengaruh terhadap individu-individu lain secara lebih luas. Dalam kasus penyalahgunaan narkoba, misalnya, general deterrence akan terealisasi manakala orang-orang semakin enggan mencicipi barang haram tersebut. Kalangan penyalah guna juga akan terdorong untuk stop. 

Saya sangat meragukan efektivitas pelepasan Raffi dalam konteks general deterrence. Keraguan saya terbukti ketika Raffi langsung kembali meraih peran sentral dalam tayangan yang dibintanginya sejak dulu. Salah satu stasiun televisi langsung memanfaatkan momen lepasnya Raffi untuk tujuan yang, saya yakin, sangat pragmatis kapitalis. Mendongkrak rating, meraup iklan.

Stasiun televisi yang menyiarkan acara Raffi tersebut terkesan tidak terbebani oleh status Raffi sebagai orang bermasalah. Saat Raffi masih berada dalam tahanan BNN pun, benda sejenis patung bersosok Raffi tetap menghiasi acara tersebut. Stasiun televisi itu tidak peduli bahwa acara yang dibawakan Raffi ditonton kalangan remaja yang amat rentan memuja para idola sekaligus meniru tabiat mereka.

Tampilnya Raffi sungguh-sungguh mengandung pesan sesat bahwa (sangkaan) penyalahgunaan narkoba adalah masalah sepele. Liputan masif atas penangkapan Raffi seakan justru menjadi media promosi cuma-cuma untuk mempertahankan masa keemasan Raffi di panggung selebritas.

Secara blak-blakan, saya ingin katakan, sebagian media terlalu pemaaf terhadap para selebriti yang mempunyai masalah budi pekerti. Seorang praktisi media, dalam pesan singkatnya kepada saya, bahkan tidak bisa menutupi kegusarannya dengan menyebut media yang permisif seperti itu sebagai ''lebih buruk daripada pelacur''.

Anggaplah BNN telah keliru langkah. Namun, penindakan terhadap orang-orang yang bermasalah dengan hukum, termasuk para selebriti, sebenarnya masih bisa dilakukan lewat sanksi sosial. Ilmuwan psikologi semacam Albert Bandura bahkan menyatakan, ketika sanksi hukum (pidana) tidak bisa diandalkan untuk membuat jera tersangka maupun terpidana, sanksi sosial dapat berefek jauh lebih jitu.

Saya mempraktikkan sanksi terhadap Ariel Peterpan yang kini menjelma sebagai Ariel Noah. Sejak video-video mesumnya beredar luas, sehingga terungkap perilaku seks liarnya, saya menolak segala hal yang berasosiasi dengan Ariel. Di mobil, saya ajari anak-anak dan istri saya untuk segera mengganti stasiun radio yang memutar lagu Ariel. Bahkan, ketika SIM card di telepon pintar saya bermasalah dan seseorang merekomendasikan merek SIM card tertentu sebagai pengganti, saya spontan tegaskan, ''No way!'' Alasannya jelas: Ariel adalah bintang iklan produsen SIM card tersebut. Saya tidak sudi turut memelihara kemasyhuran selebriti yang pezina.

Berangkat dari kekesalan dan kegelisahan saya atas tampilnya Raffi Ahmad di televisi pasca pelepasan oleh BNN, saya mengimpikan publik bisa mengambil prakarsa memerangi narkoba secara lebih tegas. Media, khususnya televisi, perlu diberi tahu bahwa mementaskan Raffi merupakan aktivitas bisnis yang menyepelekan potensi bahaya penyebarluasan narkoba, terlebih di kalangan muda. Kemarin Kepala BNN Komjen Anang Iskandar menyebutkan, dari riset BNN dan UI, ada 2,2 persen penduduk Indonesia (lebih dari 4 juta jiwa) yang menjadi penyalah guna narkoba. Itu terjadi pada 2010. 

Untuk ikut berperan, caranya sederhana: kunjungi situs Komisi Penyiaran Indonesia dan sampaikan desakan agar media berhenti memanjakan figur-figur yang terkait narkoba menularkan jangkitan mereka sembari membayangkan orang-orang yang kita cintai. Itulah general deterrence yang bisa kita inisiatifkan. Bismillah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar