Kamis, 09 Mei 2013

Bank Nasional Menyerbu UMKM


Bank Nasional Menyerbu UMKM
Paul Sutaryono   Pengamat Perbankan & Mantan Assistant Vice President BNI
KORAN SINDO, 08 Mei 2013


Dengan berani Bank Indonesia (BI) mewajibkan bank nasional untuk mengucurkan kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) minimal 20% secara bertahap. 

Kewajiban ini seolah memaksa bank nasional untuk ramai-ramai menggarap kredit UMKM. Apa saja yang patut dicermati? Kewajiban itu tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/22/PBI/2012 pada 21 Desember 2012 yang efektif pada tanggal tersebut. Sarinya, bank nasional wajib menyalurkan kredit UMKM minimal 20% dari kredit produktif (kredit modal kerja dan kredit investasi) secara bertahap mulai 2013 hingga 2018. Hal itu dirinci dalam enam tahapan. 

Pada 2013 dan 2014, rasio kredit atau pembiayaan UMKM terhadap total kredit atau pembiayaan sesuai kemampuan bank umum pada Rencana Bisnis Bank (RBB). Pada 2015, rasio kredit atau pembiayaan UMKM terhadap total kredit atau pembiayaan paling rendah 5%. Berikutnya, rasio kredit atau pembiayaan UMKM terhadap total kredit atau pembiayaan paling rendah 10% dan 15% masing-masing pada 2016 dan 2017. Pada 2018 dan seterusnya, rasio kredit atau pembiayaan UMKM terhadap total kredit atau pembiayaan paling rendah 20%. 

Aturan itu diterbitkan dengan pertimbangan bahwa UMKM memiliki peran yang strategis dalam struktur perekonomian nasional termasuk untuk mendukung pengendalian inflasi. Ingat, kini inflasi menembus level 5,90% per akhir Maret 2013 melewati target inflasi 4,5% plus minus 1% pada 2013 dan 2014. Selain itu, aturan tersebut bertujuan untuk memperkuat peran UMKM dalam struktur perekonomian nasional. Oleh sebab itu, perlu mengembangkan UMKM melalui peningkatan akses kredit atau pembiayaan dari perbankan pada segmen tersebut. 

Sebagai bukti bahwa UMKM merupakan ladang empuk, lihat saja kiprah Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebagai pemimpin pasar (market leader) kredit UMKM. BRI sebagai bank nomor dua menurut total aset setelah Bank Mandiri dengan gagah perkasa sanggup mencetak laba bersih Rp5,01 triliun per triwulan I 2013 atau tumbuh 18% dibandingkan periode yang sama pada 2012. Laba bersih begitu tinggi itu antara lain bersumber dari kredit UMKM yang tumbuh 23% menjadi Rp112,2 triliun atau 31% dari total kredit. Wow! Periksa pula kinerja pesaing BRI yang juga rajin menggarap kredit UMKM. Penyaluran kredit mikro Bank Danamon tumbuh 18% menjadi Rp32 triliun sedangkan laba bersih mencapai Rp1 triliun. 

Hal ini disusul Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) dengan laba bersih yang meningkat 30% menjadi Rp573 miliar. Kemudian disusul Bank Jabar Banten (BJB) dengan laba bersih naik tajam 37,5% menjadi Rp37 miliar sedangkan kredit mikro meroket 65,4% menjadi Rp5,07 triliun. Tak mau kalah Bank Jatim dengan mengantongi laba bersih yang melejit 29,59% menjadi Rp39 miliar dengan kredit mikro setara 17,75% dari total kredit (Harian Kontan, 25 April 2013). 

Aneka Tantangan 

Tentu saja, kebijakan PBI tersebut akan mendorong semua kelompok bank yakni kelompok bank persero, kelompok bank umum swasta nasional (BUSN) devisa, kelompok BUSN nondevisa, kelompok bank pembangunan daerah (BPD), kelompok bank campuran dan kelompok bank asing untuk berebut rezeki dari UMKM. Lalu, tantangan apa saja yang layak dicermati lebih jauh? Pertama, jurus baru stok lama. 

Sejatinya, kewajiban penyaluran 20% ke segmen UMKM bukan baru sama sekali. Artinya, kebijakan itu merupakan jurus baru stok lama. Lo? Karena hal itu pernah diterapkan pada sekitar 1980-an. Di manaletakperbedaannya? Waktu itu, boleh dikatakan tidak ada tahapan yang memadai untuk mencapai minimal 20%. Oleh karena itu, kebijakan itu justru membawa ”efek negatif”. Karena waktunya begitu mepet untuk mengejar target, beberapa bank nasional diduga telah memasukkan kredit konsumsi sebagai kredit UMKM. 

Untuk mencegahnya, BI pun segera menghentikan kewajiban tersebut. Bahkan BI tak lagi memasukkan kredit konsumsi pada kredit UMKM mulai Maret 2011 pada Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang terbit setiap bulan. Kedua, ladang subur. Rasanya tidak ada yang mampu menampik bahwa kredit mikro merupakan ladang yang amat subur untuk digarap. Mengapa demikian? Karena margin masih di atas angin. 

Tengok saja, SPI edisi 10 April 2013 yang mencatat bahwa perkembangan suku bunga rata-rata kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR) hanya menipis dari 31,98% per Februari 2012 menjadi 30,69% per Februari 2013 untuk kredit modal kerja. Sementara itu, suku bunga ratarata kredit untuk kredit investasi juga menipis dari 28,33% menjadi 26,59% dan dari 27,12% menjadi 25,87% untuk kredit konsumsi pada periode yang sama. Itu berarti margin yang diperoleh juga tinggi. 

Hal itu tampak pada margin bunga bersih (net interest margin/NIM) BRI yang naik dari 8,19% per kuartal I 2012 menjadi 8,37% per kuartal I 2013, Bank Danamon dari 9,7% menjadi 10,1%, BTPN dari 12,53% menjadi 12,67%, BJB 6,5% menjadi 8,2% dan Bank Jatim dari 6,89% menjadi 6,81% para periode yang sama (Harian Kontan, 25 April 2013). Kalau begitu, bagaimana nasib imbauan BI selama ini kepada bank nasional untuk menurunkan NIM menjadi sekitar 2-3% seperti negaranegara Malaysia, Filipina, dan Thailand? NIM itu memang boleh disebut sebagai dilema. 

Bagi bank nasional kelompok apa pun, NIM merupakan simbol kehebatan suatu bank dalam memperoleh pendapatan dari selisih suku bunga kredit dengan suku bunga simpanan. Dengan bahasa lebih bening, kian tinggi NIM dan harus positif, kiantinggi pulapendapatan suatu bank dalam mencetak laba. Namun di mata BI, NIM wajib ditekan sedemikian rendah sebagai perwujudan tingkat efisiensi suatu bank. Untuk itu, sungguh wajar kalau NIM bank umum yang dapat dianggap sebagai rata-rata industri bergerak turunbegitupelandari 5,40% per Februari 2012menjadi5,34% per Februari 2013. 

Ketiga, beban baru yang berat. Kewajiban penyaluran kredit UMKM minimal 20% menjadi buah manis bagi bank nasional yang sudah menekuni segmen tersebut. Namun sebaliknya, kewajiban itu bisa menjadi beban berat bagi bank nasional yang selama ini lebih menembak segmen korporasi. Sebut saja Bank Mandiri, Bank Central Asia (BCA), dan Bank Negara Indonesia (BNI) serta Bank Tabungan Negara (BTN) yang fokus ke segmen kredit pemilikan rumah (KPR). 

Apa akibatnya? Sudah jelas, sekiranya sudah terdesak bank nasional kelas kakap akan menyalurkan kredit UMKM melalui penerusan kredit (credit chanelling) daripada terjun langsung. Dengan bahasa terang benderang, langkah tersebut menjadi peluang gurih BPD dan BPR yang dianggap menguasai segmen UMKM. Keempat, cermati rasio kredit tidak lancar (non performing loan/NPL). Meskipun segmen UMKM boleh dianggap memberikan rejeki yang amat legit, bank nasional jangan sampai melupakan manajemen risiko kredit. 

Potensi risiko ini sudah semestinya menjadi prioritas utama bagi bank nasional yang belum akrab dalam menangani kredit UMKM. Dengan berbekal tekad demikian, bank nasional bakal mampu mengejar target pengucuran kredit UMKM sesuai dengan tahapan per tahun. Lebih dari itu, bank nasional tetap mampu bernafas lega mengingat NPL tetap terjaga. Sungguh! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar