Rabu, 08 Mei 2013

Babak Final Revolusi Syria


Babak Final Revolusi Syria
Hasibullah Satrawi   Analis Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
JAWA POS, 08 Mei 2013


AHAD pagi hari (5/5) waktu setempat, Israel dilaporkan melakukan serangan udara ke Syria. Serangan tersebut menargetkan gudang persenjataan Syria dan menewaskan banyak orang. Sejauh ini belum ada pernyataan tegas dari Israel terkait dengan serangan tersebut. Namun, rezim Syria menegaskan bahwa krisis politik di negaranya terbuka terhadap semua kepentingan pascaserangan Israel di atas (As-Sharq Al-Awsat, 6/5).

Serangan Israel itu mungkin menjadi penanda fase final dari revolusi yang telah berlangsung selama kurang lebih 26 bulan ini. Selama ini krisis politik di Syria seakan "diciptakan" setara dan seimbang antara oposisi dan rezim Bashar al-Assad. Pertempuran berlangsung sedemikian lama dan memakan korban hampir 100 ribu jiwa. 

Sebagaimana diberitakan, beberapa anasir kelompok ekstremis selama ini turut bergabung dengan kelompok revolusi di Syria. Termasuk jaringan Al Qaeda global di bawah pimpinan Ayman Az-Zawahiri, pengganti Usamah bin Laden, yang nimbrung sejak awal revolusi itu terjadi. 

Dengan bergabung bersama revolusioner Syria, kelompok seperti Al Qaeda punya nilai tersendiri. Di satu sisi, bisa menerapkan apa yang dalam hukum Islam dikenal dengan hukum qishash (kesetimpalan); tangan dibalas tangan, kematian dibalas kematin. Bagi mereka, hukum qishash harus ditegakkan kepada rezim Syria. Mengingat rezim ini telah banyak memenjara dan membunuh para aktivis Islam, baik pada pemerintahan Hafiz al-Assad (ayah Bashar al-Assad) ataupun pada pemerintahan Bashar al-Assad.

Di sisi lain, melalui bumi Syria, kelompok ekstremis bisa melakukan "serangan langsung" kepada Israel. Sebab, Syria berbatasan langsung dengan negara Yahudi itu, khususnya melalui Dataran Tinggi Golan.

Kelompok ekstremis di kalangan oposisi selama ini kerap dijadikan alasan oleh negara-negara Barat (khususnya AS) dalam membiarkan kelompok revolusi berperang sendirian. Tanpa bantuan yang memadai, khususnya bantuan persenjataan dari Barat. Bahkan, dunia menutup mata terhadap korban-korban kemanusiaan yang terus berjatuhan di Syria. 

Meminjam istilah yang pernah digunakan oleh mantan Presiden Koalisi Nasional Revolusi Syria Ahmed Muaz al-Khatib, dunia lebih memerhatikan "jenggot panjang" daripada darah yang terus mengalir (As-Syarq Al-Awsat, 1/3). Istilah "jenggot panjang" digunakan al-Khatib sebagai stereotip kepada kelompok ekstremis dari pelbagai macam negara di Timur Tengah yang bergabung dengan kelompok revolusi untuk mengakhiri kekuasaan Bashar al-Assad. Akhirnya, al-Khatib memundurkan diri dari jabatannya sebagai bentuk protes terhadap sikap dunia (khususnya sekutu-sekutu AS) yang tidak tegas terhadap rakyat Syria.

Sejauh ini Israel memilih "diam dalam kehati-hatian penuh" sebagai sikap politik terkait dengan semua kejadian di Syria. Apalagi krisis di negeri Syam itu telah melibatkan pihak-pihak yang selama ini menjadi musuh bagi Israel, baik musuh secara langsung seperti Iran dan Hizbullah ataupun musuh tidak langsung seperti kelompok ekstremis.

Sikap politik yang kurang lebih sama selama ini juga dilakukan oleh AS dan sekutunya walaupun dengan posisi lebih maju daripada Israel. AS dan sekutunya (terkecuali Turki) memang tidak mempunyai kepentingan besar terhadap Syria, beda dengan kepentingan mereka terhadap Libya. 

Apalagi dalam kaca mata AS, kejadian di Syria merupakan perang antara musuh (Iran-Syria-Hizbullah) dengan musuh (kelompok ekstremis). AS acap tidak bersikap tegas terhadap krisis politik di Syria kecuali hanya sebagai empati terhadap anggota "sekutu pinggiran" seperti Turki yang terimbas langsung oleh krisis Syria.

Dalam konteks ini, serangan Israel ke Syria bisa mengubah semua peta. Serangan Israel tersebut akan memaksa AS terlibat lebih jauh. Karena Israel termasuk "koalisi utama", AS tidak akan membiarkan Israel sendirian. Apalagi perang ini melibatkan pihak-pihak musuh AS-Israel. 

Bukan tidak mungkin keterlibatan Israel ini membuat musuh-musuh AS-Israel yang awalnya saling bermusuhan justru balik badan dan kompak melawan negara berpenduduk mayoritas Yahudi itu. Apalagi musuh-musuh AS-Israel itu menyadari bahwa kehadiran Israel hampir dipastikan juga akan melibatkan AS, si musuh besar.

Dari pihak rezim Syria, keterlibatan Israel dalam krisis politik ini bisa dieksploitasi untuk membangkitkan semangat anti Israel-AS di internal rakyat Syria, bahkan di dunia Arab dan dunia Islam. Rezim Syria bisa mendapatkan bukti tidak terbantahkan dari apa yang mereka sampaikan selama ini; bahwa krisis Syria merupakan rekayasa AS dan sekutunya untuk menghancurkan Syria.

Secara persenjataan, mungkin Israel-AS pada akhirnya akan menang perang. Tetapi, secara politik, rezim Syria bisa memanfaatkan situasi untuk memenangkan pertarungan ini, setidaknya dalam pandangan rakyat Syria. Bashar al-Assad bisa tidak dipandang sebagai presiden jagal yang membantai rakyat sendiri, melainkan korban-korban yang jatuh demi membela Syria dari konspirasi asing. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar