Kamis, 16 Mei 2013

Pertanian sebagai Landasan Peradaban


Pertanian sebagai Landasan Peradaban
Agus Pakpahan ;  Ekonom Kelembagaan
KORAN TEMPO, 15 Mei 2013

Saya pikir masalah fundamental yang hidup di negara-negara berkembang khususnya Indonesia adalah bahwa pertanian lebih dipandang sebagai sektor ekonomi yang posisinya kalah dengan sektor industri, perdagangan atau jasa. 
Lowdermilk memperkirakan bahwa pertanian sudah mengalami evolusi lebih dari 7.000 tahun. Apa maknanya? Yang paling jelas terlihat adalah penduduk dunia pada awal abad ke-21 ini sudah lebih dari 6 miliar jiwa. Apabila per orang per hari mengkonsumsi pangan rata-rata 2.000 kalori, berarti dalam sehari, dunia dengan jumlah penduduk tersebut menghabiskan 12 triliun kalori. Apabila dunia gagal panen setengahnya dari kebutuhan kalori tersebut, lebih dari 3 miliar jiwa penduduk dunia mengalami kelaparan. Sangat jelas terlihat bahwa peradaban tak akan berdiri dalam dunia yang penuh dengan situasi kelaparan. Artinya sangat jelas pula bahwa pertanian merupakan landasan peradaban. Sastrawan Hartojo Andangdjaja sangat tepat menggambarkan hal ini dalam puisinya, Petani.
Sayangnya, masyarakat negara maju menyebut dirinya sebagai negara industri. Penggunaan nama ini seakan-akan membuat pertanian menjadi bagian yang terbelakang. Kemudian, melembagalah terminologi industrialisasi yang dimaknai sebagai berdirinya pabrik-pabrik. Padahal pertanian itu pun merupakan suatu industri yang menghidupi 7 miliar penduduk sekarang, yang akan menjadi 9-12 miliar penduduk pada 2050. 
Pada masa peradaban berburu dan meramu, model hubungan antara manusia dan alam lingkungannya adalah model ketergantungan dari barang dan jasa yang disediakan oleh alam. Sedangkan pada zaman perladangan berpindah, hubungan manusia dengan alamnya adalah hubungan mengikuti periode siklus hara yang pulih secara alami dalam periode tertentu, misalnya satu siklus selama 25 tahun. Model pertanian merupakan model pemanfaatan sumber daya alam secara menetap yang mengandalkan ruang yang relatif tetap dengan meningkatkan produktivitas berlandaskan pemanfaatan institusi, organisasi, dan teknologi secara berkelanjutan. Keberlanjutan model ini memberikan potensi dan membuka peluang untuk berkembangnya peradaban dari satu tahap peradaban ke tahap peradaban berikutnya.
Dengan model pertanian menetap ini, dinamika sektoral dan regional masyarakat bergerak secara simultan. Pada intinya, perkembangan pertanian membuka kesempatan untuk makin berkembangnya spesialisasi sektoral dan spesialisasi regional secara simultan. Spesialisasi secara regional melahirkan ekonomi aglomerasi dalam proses pembentukan kota-kota dengan hierarki yang sangat jelas, sedangkan spesialisasi secara sektoral melahirkan jejaring ekonomi, dari industri primer, sekunder, sampai tersier, dan selanjutnya. Hubungan desa-kota juga berkembang, menggambarkan hubungan fungsional di antara kedua spesialisasi pemanfaatan ruang fungsional. 
Apa masalah kita sekarang? Saya pikir masalah fundamental yang hidup di negara-negara berkembang, khususnya Indonesia, adalah bahwa pertanian lebih dipandang sebagai sektor ekonomi yang posisinya kalah oleh sektor industri, perdagangan, atau jasa. Ukuran yang dipakai sebagai indikator bahwa pertanian itu tidak penting adalah persentase produk domestik pertanian (PDB pertanian) yang makin mengecil dalam PDB nasional dan pertanian bukanlah sebagai sektor ekonomi yang memberikan kontribusi yang tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi. Alasan selanjutnya juga adalah bahwa zaman sekarang bukanlah zaman pertanian lagi, melainkan era informasi. Jadi, pertanian itu sudah tertinggal. Karena itu, tak perlu lagi memikirkannya. 
Pandangan di atas menunjukkan pandangan dari pihak yang mengalami kebingungan, yaitu pihak yang tidak dapat membedakan antara hal yang fundamental-yakni pasar tidak hanya tak mampu mengendalikan, tapi juga tak mampu mengenalinya, yaitu eksistensi peradaban suatu bangsa dan negara-dan barang atau jasa yang tersedia di pasar. Secara praktis, pihak yang memiliki pandangan bingung tersebut adalah mereka yang tak bisa membedakan beras, jagung, atau telur dengan pertanian. Akibatnya, mereka tak bisa membedakan antara beras impor dan beras produksi sendiri karena keduanya sama-sama beras. Padahal pertanian itu menghasilkan beras, tapi pertanian tidak sama dengan beras. 
Apabila pertanian dipahami sebagai landasan peradaban suatu bangsa dan negara besar, harga pertanian itu tidak teregister di pasar, dan pasar peradaban itu tidak ada. Peradaban itu merupakan sesuatu yang tak dapat dibeli dengan uang, melainkan harus diciptakan dengan faktor utamanya, yaitu heroisme. Pasar adalah proses adu tawar, apalagi membangun peradaban lebih dari itu. Apa yang bisa memperkuat adu tawar apabila di belakang kita kelaparan? Peradaban apa yang bisa kita bangun apabila sebagian besar petaninya gurem? Tidak ada.
Amerika Serikat menganut pertanian sebagai "ideologi". Saya pikir Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan pun menganut pertanian sebagai "ideologi". Yang saya maksud adalah bahwa keberhasilan pembangunan di negara-negara tersebut dimulai dengan "memerdekakan petani dan pertaniannya" melalui land reform. Makna utama dari land reform bukanlah sekadar membagi-bagi tanah, melainkan menjadi simbol utama mereka "melepaskan diri dari institusi yang diwariskan penjajahan masa lalu" yang menciptakan kesenjangan sosial-ekonomi dan politik. Land reform juga sebagai simbol "menyatu jiwa-raga antara kaum pemimpin dan elite bangsa dengan rakyat jelata", yang akhirnya menjadi "modal spiritual negara" dalam membangun dan suksesnya export-oriented industrialization. Inilah East Asian Strategy yang berhasil menangkap peluang emas pembangunan pada era 1960-1980-an. Pendapatan Taiwan meningkat dari US$ 499 pada 1820 menjadi US$ 16.642 pada 2000, atau meningkat 33 kali lipat. Bandingkan dengan Indonesia, yang memiliki pendapatan per kapita pada 1820 sebesar US$ 612, dan menjadi US$ 3.203 pada 2000, atau meningkat hanya 5,2 kali lipat (Madison, 2003).
Seharusnya Indonesia melakukan land reform pada 1960-an setelah Undang-Undang Pokok Agraria 1960 ditetapkan. Kehendak zaman di Indonesia rupanya berbeda dengan kehendak zaman di Asia Timur. Kecuali Singapura, negara-negara ASEAN, khususnya Indonesia, sebagai negara terbesar keempat dunia dalam hal jumlah penduduknya, perlu menciptakan "revolusi" pikiran yang bisa dan kuat mengatasi permasalahan bangsa dan negara. "Revolusi" pemikiran tersebut adalah memandang pertanian sebagai landasan peradaban. Kebijakan dan strategi yang konsisten, koheren dan koresponden serta dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya harus lahir dan tumbuh apabila peradaban Indonesia tak ingin hilang. Strategi yang secara cepat dapat dilihat adalah strategi "anti-guremisasi", yaitu industrialisasi yang dijalankan tidak hanya harus mencegah guremisasi terjadi, tapi juga harus mampu meningkatkan luas lahan per petani sebagaimana yang telah berlaku di negara-negara maju. 
Lebih dari 7.000 tahun evolusi pertanian seharusnya dan tentunya bukanlah menciptakan involusi atau guremisasi, melainkan memberikan petani kesejahteraan dan keadil-makmuran sesuai dengan jasanya dalam membangun peradaban demi peradaban di atasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar