|
KORAN
TEMPO, 15 Mei 2013
Saya pikir masalah fundamental yang hidup di negara-negara
berkembang khususnya Indonesia adalah bahwa pertanian lebih dipandang sebagai
sektor ekonomi yang posisinya kalah dengan sektor industri, perdagangan atau
jasa.
Lowdermilk memperkirakan bahwa pertanian sudah mengalami
evolusi lebih dari 7.000 tahun. Apa maknanya? Yang paling jelas terlihat adalah
penduduk dunia pada awal abad ke-21 ini sudah lebih dari 6 miliar jiwa. Apabila
per orang per hari mengkonsumsi pangan rata-rata 2.000 kalori, berarti dalam
sehari, dunia dengan jumlah penduduk tersebut menghabiskan 12 triliun kalori.
Apabila dunia gagal panen setengahnya dari kebutuhan kalori tersebut, lebih
dari 3 miliar jiwa penduduk dunia mengalami kelaparan. Sangat jelas terlihat
bahwa peradaban tak akan berdiri dalam dunia yang penuh dengan situasi
kelaparan. Artinya sangat jelas pula bahwa pertanian merupakan landasan
peradaban. Sastrawan Hartojo Andangdjaja sangat tepat menggambarkan hal ini
dalam puisinya, Petani.
Sayangnya, masyarakat negara maju menyebut dirinya sebagai
negara industri. Penggunaan nama ini seakan-akan membuat pertanian menjadi
bagian yang terbelakang. Kemudian, melembagalah terminologi industrialisasi
yang dimaknai sebagai berdirinya pabrik-pabrik. Padahal pertanian itu pun
merupakan suatu industri yang menghidupi 7 miliar penduduk sekarang, yang akan
menjadi 9-12 miliar penduduk pada 2050.
Pada masa peradaban berburu dan meramu, model hubungan
antara manusia dan alam lingkungannya adalah model ketergantungan dari barang
dan jasa yang disediakan oleh alam. Sedangkan pada zaman perladangan berpindah,
hubungan manusia dengan alamnya adalah hubungan mengikuti periode siklus hara
yang pulih secara alami dalam periode tertentu, misalnya satu siklus selama 25
tahun. Model pertanian merupakan model pemanfaatan sumber daya alam secara
menetap yang mengandalkan ruang yang relatif tetap dengan meningkatkan
produktivitas berlandaskan pemanfaatan institusi, organisasi, dan teknologi
secara berkelanjutan. Keberlanjutan model ini memberikan potensi dan membuka
peluang untuk berkembangnya peradaban dari satu tahap peradaban ke tahap
peradaban berikutnya.
Dengan model pertanian menetap ini, dinamika sektoral dan
regional masyarakat bergerak secara simultan. Pada intinya, perkembangan
pertanian membuka kesempatan untuk makin berkembangnya spesialisasi sektoral
dan spesialisasi regional secara simultan. Spesialisasi secara regional
melahirkan ekonomi aglomerasi dalam proses pembentukan kota-kota dengan
hierarki yang sangat jelas, sedangkan spesialisasi secara sektoral melahirkan
jejaring ekonomi, dari industri primer, sekunder, sampai tersier, dan
selanjutnya. Hubungan desa-kota juga berkembang, menggambarkan hubungan
fungsional di antara kedua spesialisasi pemanfaatan ruang fungsional.
Apa masalah kita sekarang? Saya pikir masalah fundamental
yang hidup di negara-negara berkembang, khususnya Indonesia, adalah bahwa
pertanian lebih dipandang sebagai sektor ekonomi yang posisinya kalah oleh
sektor industri, perdagangan, atau jasa. Ukuran yang dipakai sebagai indikator
bahwa pertanian itu tidak penting adalah persentase produk domestik pertanian
(PDB pertanian) yang makin mengecil dalam PDB nasional dan pertanian bukanlah
sebagai sektor ekonomi yang memberikan kontribusi yang tinggi terhadap
pertumbuhan ekonomi. Alasan selanjutnya juga adalah bahwa zaman sekarang
bukanlah zaman pertanian lagi, melainkan era informasi. Jadi, pertanian itu
sudah tertinggal. Karena itu, tak perlu lagi memikirkannya.
Pandangan di atas menunjukkan pandangan dari pihak yang
mengalami kebingungan, yaitu pihak yang tidak dapat membedakan antara hal yang
fundamental-yakni pasar tidak hanya tak mampu mengendalikan, tapi juga tak
mampu mengenalinya, yaitu eksistensi peradaban suatu bangsa dan negara-dan
barang atau jasa yang tersedia di pasar. Secara praktis, pihak yang memiliki
pandangan bingung tersebut adalah mereka yang tak bisa membedakan beras,
jagung, atau telur dengan pertanian. Akibatnya, mereka tak bisa membedakan
antara beras impor dan beras produksi sendiri karena keduanya sama-sama beras.
Padahal pertanian itu menghasilkan beras, tapi pertanian tidak sama dengan
beras.
Apabila pertanian dipahami sebagai landasan peradaban suatu
bangsa dan negara besar, harga pertanian itu tidak teregister di pasar, dan
pasar peradaban itu tidak ada. Peradaban itu merupakan sesuatu yang tak dapat
dibeli dengan uang, melainkan harus diciptakan dengan faktor utamanya, yaitu
heroisme. Pasar adalah proses adu tawar, apalagi membangun peradaban lebih dari
itu. Apa yang bisa memperkuat adu tawar apabila di belakang kita kelaparan?
Peradaban apa yang bisa kita bangun apabila sebagian besar petaninya gurem?
Tidak ada.
Amerika Serikat menganut pertanian sebagai
"ideologi". Saya pikir Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan pun menganut
pertanian sebagai "ideologi". Yang saya maksud adalah bahwa
keberhasilan pembangunan di negara-negara tersebut dimulai dengan
"memerdekakan petani dan pertaniannya" melalui land reform. Makna
utama dari land reform bukanlah sekadar membagi-bagi tanah, melainkan menjadi
simbol utama mereka "melepaskan diri dari institusi yang diwariskan penjajahan
masa lalu" yang menciptakan kesenjangan sosial-ekonomi dan politik. Land
reform juga sebagai simbol "menyatu jiwa-raga antara kaum pemimpin dan
elite bangsa dengan rakyat jelata", yang akhirnya menjadi "modal
spiritual negara" dalam membangun dan suksesnya export-oriented
industrialization. Inilah East Asian Strategy yang berhasil menangkap peluang
emas pembangunan pada era 1960-1980-an. Pendapatan Taiwan meningkat dari US$
499 pada 1820 menjadi US$ 16.642 pada 2000, atau meningkat 33 kali lipat.
Bandingkan dengan Indonesia, yang memiliki pendapatan per kapita pada 1820
sebesar US$ 612, dan menjadi US$ 3.203 pada 2000, atau meningkat hanya 5,2 kali
lipat (Madison, 2003).
Seharusnya Indonesia melakukan land reform pada 1960-an
setelah Undang-Undang Pokok Agraria 1960 ditetapkan. Kehendak zaman di
Indonesia rupanya berbeda dengan kehendak zaman di Asia Timur. Kecuali
Singapura, negara-negara ASEAN, khususnya Indonesia, sebagai negara terbesar
keempat dunia dalam hal jumlah penduduknya, perlu menciptakan "revolusi"
pikiran yang bisa dan kuat mengatasi permasalahan bangsa dan negara.
"Revolusi" pemikiran tersebut adalah memandang pertanian sebagai
landasan peradaban. Kebijakan dan strategi yang konsisten, koheren dan
koresponden serta dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya harus lahir dan
tumbuh apabila peradaban Indonesia tak ingin hilang. Strategi yang secara cepat
dapat dilihat adalah strategi "anti-guremisasi", yaitu
industrialisasi yang dijalankan tidak hanya harus mencegah guremisasi terjadi,
tapi juga harus mampu meningkatkan luas lahan per petani sebagaimana yang telah
berlaku di negara-negara maju.
Lebih dari 7.000 tahun evolusi pertanian seharusnya dan
tentunya bukanlah menciptakan involusi atau guremisasi, melainkan memberikan
petani kesejahteraan dan keadil-makmuran sesuai dengan jasanya dalam membangun
peradaban demi peradaban di atasnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar