|
MEDIA INDONESIA, 06 Mei 2013
Desakan untuk menghapuskan ujian
nasional (UN), atau setidaknya mengevaluasinya, bertambah keras seiring dengan
kacaunya pelaksanaan UN tahun ini. Pertanyaan pun dilontarkan, apakah masih ada
tempat untuk UN? Tulisan ini memberikan argumentasi tentang perlunya UN
dipertahankan, tetapi dengan perubahan mendasar.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) mengisyaratkan tiga paradigma baru pendidikan, yaitu
orientasi pada kompetensi, berbasiskan standar, dan desentralisasi pengelolaan.
Ada sejumlah hal yang perlu kita perhatikan dalam undang-undang tersebut. Pertama,
kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan pada tingkat satuan
pendidikan. Kedua, pengembangan kurikulum tersebut harus mengacu kepada standar
pendidikan nasional. Ketiga, pengelolaan satuan pendidikan dilaksanakan dengan
prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.
Pengelolaan yang terdesentralisasi itu memberikan
kewenangan yang besar kepada satuan pendidikan untuk menjalankan proses
pendidikan. Perancangan program pendidikan yang mengacu kepada standar nasional
tidak sertamerta membuat program tersebut berhasil. Bagaimana kita menilai
keberhasilan satuan pendidikan?
Orientasi pada kompetensi membawa implikasi bahwa capaian
pendidikan harus dilihat dan dinilai pada siswa. Dengan bahasa kompetensi, kita
merencanakan apa yang akan diperoleh dan dicapai siswa sesudah belajar dalam
masa tertentu. Basis standar berarti capaian dan perolehan siswa harus memenuhi
standar tertentu. Berdasarkan UU Sisdiknas, standar tersebut ditetapkan secara
nasional. Program pendidikan kita katakan berhasil baik ketika siswa memang
memperoleh dan mencapai apa yang direncanakan itu. Keberhasilan tidak dinilai
dari apa yang dilakukan sekolah dan guru.
Dalam konteks itulah suatu ujian bagi siswa perlu diadakan
secara nasional. Melalui ujian tersebut, keberhasilan program pendidikan
dinilai dalam membuat siswa mencapai kompetensi yang ditetapkan dalam standar
nasional. Dengan demikian, sasaran evaluasi utama pada ujian nasional itu
adalah sekolah, bukan siswa.
Penetapan sasaran evaluasi tersebut sesuai dengan sebuah
model yang dirumuskan David Warren Piper untuk mengidentiļ¬ kasi isu-isu kunci
dalam manajemen pendidikan (lihat Piper,
Quality Management in Universities, Vol
1, 1993). Sekalipun Piper memperkenalkan modelnya dalam konteks perguruan
tinggi, model tersebut dapat diadaptasi ke dalam konteks pendidikan dasar dan
menengah.
Intervensi Eksternal
Dalam modelnya, Piper menyatakan
ada tiga pihak yang terlibat dalam program pendidikan, yaitu siswa (atau
mahasiswa), guru (atau dosen), dan institusi pendidikan. Untuk dapat belajar
dengan efektif, siswa memerlukan tiga hal: kemampuan belajar, kesempatan
belajar, dan insentif untuk belajar. Adalah tugas guru untuk meningkatkan
ketiga hal tersebut: pengajaran menjadi efektif ketika guru dapat meningkatkan
kemampuan, kesempatan, dan insentif belajar pada siswanya. Pada gilirannya,
guru memerlukan tiga hal yang sama: kemampuan mengajar, kesempatan mengajar,
dan insentif untuk mengajar. Adalah tugas institusi untuk meningkatkan ketiga hal
tersebut pada guru-gurunya.
Dengan model Piper itu, intervensi eksternal ditujukan
paling jauh kepada guru, tidak kepada siswa. Tidak ada intervensi eksternal
yang diberikan agar siswa belajar lebih keras. Tugas gurulah untuk mendorong
siswa belajar lebih keras, yaitu dengan meningkatkan insentif untuk belajar.
Ujian nasional dapat menjadi instrumen penting intervensi
eksternal kepada guru dan sekolah. Intervensi itu ditujukan untuk membangun
pemahaman guru dan sekolah terhadap standar-standar nasional. Dalam hal ini,
sangat penting bagi guru dan sekolah untuk memiliki kemampuan melakukan
assessment terhadap siswa sesuai dengan standar-standar itu.
Dengan menggunakan ujian nasional, pemetaan terhadap
sekolah dapat dilakukan. Dasar pemetaan ialah kemampuan sekolah dan
guru-gurunya dalam melakukan assessment terhadap siswa-siswanya berlandaskan
pemahaman mereka akan standar. Salah satu cara yang dapat dilakukan ialah
dengan meminta guru dan sekolah memberikan penilaian terhadap siswa-siswa
mereka dan melaporkannya sebelum ujian nasional diselenggarakan. Kesenjangan (gap) antara penilaian sekolah dan nilai
ujian nasional memberikan peta kemampuan sekolah dalam melakukan assessment.
Nilai individu siswa dapat diberikan kepada sekolah sebagai
salah satu bahan pertimbangan untuk mengambil tindakan terhadap siswa yang
bersangkutan. Tindakan dimaksud dapat berupa penyaringan (seperti kelulusan)
atau tindakan remedial. Sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah,
sekolah diberi kebebasan untuk menggunakan nilai individu tersebut. Berkaitan
dengan kelulusan, sekolah boleh menggunakan sepenuhnya nilai individu tersebut
atau sebaliknya, mengabaikannya sama sekali.
Perlakuan tersebut akan menghindarkan ujian nasional dari
risiko tinggi (high-stake) bagi pesertanya.
Sifat berisiko tinggi pada uji an skala besar, termasuk ujian masuk perguruan
tinggi, telah membawa banyak masalah yang pada akhirnya malah merugikan tujuan
perbaikan mutu pendidikan. Selain masalah integritas pihak-pihak yang terlibat,
masalah besar lain ialah pengajaran semata-mata untuk ujian (teaching to the test).
Membantu Menjawab
Manfaat maksimal dari ujian nasional akan diperoleh kalau
yang dihasilkannya bukan data semata. Sebuah lokakarya yang diadakan Dewan
Riset Nasional di Amerika Serikat mengingatkan, `... sistem assessment ... juga harus dirancang agar informasi yang
dihasilkannya dapat digunakan untuk meningkatkan baik sistem pendidikan maupun
proses pembelajaran' (NRC, Assessment
in Support of Instruction and Learning: Bridging the Gap Between Large-Scale
and Classroom Assessment, 2003).
Hasil ujian nasional hendaknya dapat membantu menjawab
setidaknya sejumlah pertanyaan berikut.
Ketika ada banyak siswa memperoleh nilai rendah, perubahan
apa dalam pengajaran yang perlu dilakukan seorang guru? Pada tingkat sekolah,
apa yang harus kepala sekolah sarankan dan perintahkan kepada guru-gurunya?
Fasilitas tambahan apa yang diperlukan sekolah agar nilai-nilai siswanya
membaik? Selanjutnya, kepala dinas pendidikan sepatutnya mengajukan pertanyaan
serupa. Kalau ia memutuskan untuk memberikan pelatihan kepada guru, pelatihan
seperti apa yang harus ia kembangkan?
Bahkan, Kemendikbud seharusnya juga mengajukan
pertanyaan-pertanyaan. Mungkin dana akan dikucurkan kepada daerah yang hasil
ujian nasionalnya rendah. Kegiatan apa saja yang tepat untuk didanai? Mungkin
pelatihan guru akan dilakukan. Apakah cukup satu jenis pelatihan yang
disediakan untuk seluruh Indonesia?
Agar dapat berperan instrumental seperti itu, ujian
nasional perlu dirancang dengan benar. Nilai ujian nasional seharusnya
mempunyai makna. Siswa peraih nilai 6 memiliki kemampuan atau kompetensi
berbeda dengan siswa peraih nilai 9, misalnya. Capaian kompetensi untuk
(rentang) nilai-nilai tersebut harus dapat dideskripsikan.
Langkah pertama untuk mendeskripsikan kaitan antara nilai
dan kompetensi ialah dengan menyusun suatu kerangka kerja assessment (assessment framework). Dalam kerangka
kerja itu, kompetensi yang akan diukur memperoleh elaborasi sebagai dasar
penyusunan dan penetapan soal dan penilaian (marking). Bagi sekolah dan guru, kerangka kerja merupakan dasar
dalam mempersiapkan siswa.
Perubahan-perubahan mendasar dalam memosisikan ujian
nasional sebagaimana diuraikan perlu dilakukan terlebih dahulu. Hal-hal lebih
teknis seperti cakupan (mata pelajaran apa saja), lingkup (seluruh populasi
atau sampel saja), waktu (tahun terakhir jenjang atau sebelumnya), dan
frekuensi (apakah setiap tahun) dapat ditetapkan belakangan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar