Selasa, 07 Mei 2013

Pertahankan Ujian Nasional


Pertahankan Ujian Nasional
Ahmad Muchlis ;  Dosen Matematika FMIPA Institut Teknologi Bandung
MEDIA INDONESIA, 06 Mei 2013


Desakan untuk menghapuskan ujian nasional (UN), atau setidaknya mengevaluasinya, bertambah keras seiring dengan kacaunya pelaksanaan UN tahun ini. Pertanyaan pun dilontarkan, apakah masih ada tempat untuk UN? Tulisan ini memberikan argumentasi tentang perlunya UN dipertahankan, tetapi dengan perubahan mendasar.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) mengisyaratkan tiga paradigma baru pendidikan, yaitu orientasi pada kompetensi, berbasiskan standar, dan desentralisasi pengelolaan. Ada sejumlah hal yang perlu kita perhatikan dalam undang-undang tersebut. Pertama, kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan pada tingkat satuan pendidikan. Kedua, pengembangan kurikulum tersebut harus mengacu kepada standar pendidikan nasional. Ketiga, pengelolaan satuan pendidikan dilaksanakan dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.

Pengelolaan yang terdesentralisasi itu memberikan kewenangan yang besar kepada satuan pendidikan untuk menjalankan proses pendidikan. Perancangan program pendidikan yang mengacu kepada standar nasional tidak sertamerta membuat program tersebut berhasil. Bagaimana kita menilai keberhasilan satuan pendidikan?

Orientasi pada kompetensi membawa implikasi bahwa capaian pendidikan harus dilihat dan dinilai pada siswa. Dengan bahasa kompetensi, kita merencanakan apa yang akan diperoleh dan dicapai siswa sesudah belajar dalam masa tertentu. Basis standar berarti capaian dan perolehan siswa harus memenuhi standar tertentu. Berdasarkan UU Sisdiknas, standar tersebut ditetapkan secara nasional. Program pendidikan kita katakan berhasil baik ketika siswa memang memperoleh dan mencapai apa yang direncanakan itu. Keberhasilan tidak dinilai dari apa yang dilakukan sekolah dan guru.

Dalam konteks itulah suatu ujian bagi siswa perlu diadakan secara nasional. Melalui ujian tersebut, keberhasilan program pendidikan dinilai dalam membuat siswa mencapai kompetensi yang ditetapkan dalam standar nasional. Dengan demikian, sasaran evaluasi utama pada ujian nasional itu adalah sekolah, bukan siswa.

Penetapan sasaran evaluasi tersebut sesuai dengan sebuah model yang dirumuskan David Warren Piper untuk mengidentiļ¬ kasi isu-isu kunci dalam manajemen pendidikan (lihat Piper, Quality Management in Universities, Vol 1, 1993). Sekalipun Piper memperkenalkan modelnya dalam konteks perguruan tinggi, model tersebut dapat diadaptasi ke dalam konteks pendidikan dasar dan menengah.

Intervensi Eksternal

Dalam modelnya, Piper menyatakan ada tiga pihak yang terlibat dalam program pendidikan, yaitu siswa (atau mahasiswa), guru (atau dosen), dan institusi pendidikan. Untuk dapat belajar dengan efektif, siswa memerlukan tiga hal: kemampuan belajar, kesempatan belajar, dan insentif untuk belajar. Adalah tugas guru untuk meningkatkan ketiga hal tersebut: pengajaran menjadi efektif ketika guru dapat meningkatkan kemampuan, kesempatan, dan insentif belajar pada siswanya. Pada gilirannya, guru memerlukan tiga hal yang sama: kemampuan mengajar, kesempatan mengajar, dan insentif untuk mengajar. Adalah tugas institusi untuk meningkatkan ketiga hal tersebut pada guru-gurunya.

Dengan model Piper itu, intervensi eksternal ditujukan paling jauh kepada guru, tidak kepada siswa. Tidak ada intervensi eksternal yang diberikan agar siswa belajar lebih keras. Tugas gurulah untuk mendorong siswa belajar lebih keras, yaitu dengan meningkatkan insentif untuk belajar.

Ujian nasional dapat menjadi instrumen penting intervensi eksternal kepada guru dan sekolah. Intervensi itu ditujukan untuk membangun pemahaman guru dan sekolah terhadap standar-standar nasional. Dalam hal ini, sangat penting bagi guru dan sekolah untuk memiliki kemampuan melakukan assessment terhadap siswa sesuai dengan standar-standar itu.

Dengan menggunakan ujian nasional, pemetaan terhadap sekolah dapat dilakukan. Dasar pemetaan ialah kemampuan sekolah dan guru-gurunya dalam melakukan assessment terhadap siswa-siswanya berlandaskan pemahaman mereka akan standar. Salah satu cara yang dapat dilakukan ialah dengan meminta guru dan sekolah memberikan penilaian terhadap siswa-siswa mereka dan melaporkannya sebelum ujian nasional diselenggarakan. Kesenjangan (gap) antara penilaian sekolah dan nilai ujian nasional memberikan peta kemampuan sekolah dalam melakukan assessment.

Nilai individu siswa dapat diberikan kepada sekolah sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk mengambil tindakan terhadap siswa yang bersangkutan. Tindakan dimaksud dapat berupa penyaringan (seperti kelulusan) atau tindakan remedial. Sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah, sekolah diberi kebebasan untuk menggunakan nilai individu tersebut. Berkaitan dengan kelulusan, sekolah boleh menggunakan sepenuhnya nilai individu tersebut atau sebaliknya, mengabaikannya sama sekali.

Perlakuan tersebut akan menghindarkan ujian nasional dari risiko tinggi (high-stake) bagi pesertanya. Sifat berisiko tinggi pada uji an skala besar, termasuk ujian masuk perguruan tinggi, telah membawa banyak masalah yang pada akhirnya malah merugikan tujuan perbaikan mutu pendidikan. Selain masalah integritas pihak-pihak yang terlibat, masalah besar lain ialah pengajaran semata-mata untuk ujian (teaching to the test).

Membantu Menjawab

Manfaat maksimal dari ujian nasional akan diperoleh kalau yang dihasilkannya bukan data semata. Sebuah lokakarya yang diadakan Dewan Riset Nasional di Amerika Serikat mengingatkan, `... sistem assessment ... juga harus dirancang agar informasi yang dihasilkannya dapat digunakan untuk meningkatkan baik sistem pendidikan maupun proses pembelajaran' (NRC, Assessment in Support of Instruction and Learning: Bridging the Gap Between Large-Scale and Classroom Assessment, 2003).

Hasil ujian nasional hendaknya dapat membantu menjawab setidaknya sejumlah pertanyaan berikut.
Ketika ada banyak siswa memperoleh nilai rendah, perubahan apa dalam pengajaran yang perlu dilakukan seorang guru? Pada tingkat sekolah, apa yang harus kepala sekolah sarankan dan perintahkan kepada guru-gurunya? Fasilitas tambahan apa yang diperlukan sekolah agar nilai-nilai siswanya membaik? Selanjutnya, kepala dinas pendidikan sepatutnya mengajukan pertanyaan serupa. Kalau ia memutuskan untuk memberikan pelatihan kepada guru, pelatihan seperti apa yang harus ia kembangkan?

Bahkan, Kemendikbud seharusnya juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Mungkin dana akan dikucurkan kepada daerah yang hasil ujian nasionalnya rendah. Kegiatan apa saja yang tepat untuk didanai? Mungkin pelatihan guru akan dilakukan. Apakah cukup satu jenis pelatihan yang disediakan untuk seluruh Indonesia?

Agar dapat berperan instrumental seperti itu, ujian nasional perlu dirancang dengan benar. Nilai ujian nasional seharusnya mempunyai makna. Siswa peraih nilai 6 memiliki kemampuan atau kompetensi berbeda dengan siswa peraih nilai 9, misalnya. Capaian kompetensi untuk (rentang) nilai-nilai tersebut harus dapat dideskripsikan.

Langkah pertama untuk mendeskripsikan kaitan antara nilai dan kompetensi ialah dengan menyusun suatu kerangka kerja assessment (assessment framework). Dalam kerangka kerja itu, kompetensi yang akan diukur memperoleh elaborasi sebagai dasar penyusunan dan penetapan soal dan penilaian (marking). Bagi sekolah dan guru, kerangka kerja merupakan dasar dalam mempersiapkan siswa.

Perubahan-perubahan mendasar dalam memosisikan ujian nasional sebagaimana diuraikan perlu dilakukan terlebih dahulu. Hal-hal lebih teknis seperti cakupan (mata pelajaran apa saja), lingkup (seluruh populasi atau sampel saja), waktu (tahun terakhir jenjang atau sebelumnya), dan frekuensi (apakah setiap tahun) dapat ditetapkan belakangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar