Selasa, 07 Mei 2013

Kualitas Pendidikan = Kualitas UN?


Kualitas Pendidikan = Kualitas UN?
Ahmad Baedowi ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 06 Mei 2013


Ada ironi kecil dari proses berlangsungnya UN yang amburadul di tahun ini. Ironi ini terekam dalam cerita seorang alumnus salah satu sekolah menengah di Karanganyar, Jawa Tengah, yang bernama Zulfikar. Zul, demikian dia disapa, saat ini sudah bekerja sebagai pembelah kelapa. Dia berperawakan kurus dan tinggi, dan setiap hari tangannya sigap membelah kelapa demi kelapa di tepi jalan. Menjual kelapa muda adalah pilihan terakhirnya karena Zul tak mungkin bisa bekerja dengan mengandalkan ijazah akhir yang tak pernah diterimanya. Jika dilihat dari raut mukanya, mudah ditebak usia Zul masih di bawah 20 tahun.

Dua tahun lalu Zul tak lulus ujian nasional, padahal di kelasnya dia termasuk murid yang cerdas dan kreatif. Menurut pengakuan para guru dan teman sejawatnya, ketidaklulusan Zul lebih banyak disebabkan oleh kelelahannya dalam bekerja sebagai pembelah kelapa. Pada hari ujian dia datang telat dan panitia pengawas tak membolehkannya mengejar waktu keterlambatannya. Akibatnya nilai UN yang diperolehnya tak mencukupi untuk lulus, dan hingga kini dia tetap membelah kelapa dan enggan mengulang.

Ada ratusan anak seperti Zul yang harus kalah dan menyerah dengan kebijakan pemerintah tentang UN. Keputusan pemerintah untuk tetap mempertahankan ujian nasional (UN) sebagai salah satu indikator keberhasilan siswa dalam belajar masih saja diwarnai oleh kontroversi.

Selain menaikkan standar minimal kelulusan, membuat ragam soal bahkan dengan barcode segala macam, pemerintah tak mencoba merumuskan jenis penilaian lain untuk menentukan kelulusan siswa agar tak banyak lagi korban seperti Zul. Kualitas kehidupan Zul saat ini jelas berkorelasi kuat dengan kualitas proses pendidikan yang berlangsung di Tanah Air.

Nilai Kualitas

Sepanjang sejarah, manusia secara alamiah selalu mencari bentuk standar tertinggi dan terbaik untuk setiap aspek kehidupannya. Dalam berbelanja sesuatu seperti motor, mobil, sepeda hingga barang kebutuh an dapur seperti sayur, bumbu dan buah-buahan, kita cenderung mencari barang yang berkualitas. Pergi ke restoran, tempat wisata, hingga tempat untuk anak-anak kita bersekolah pun kita selalu mencari tempat yang berkualitas. Untuk hal yang terakhir ini, banyak orangtua dengan kemampuan finansial yang cukup akan dengan mudah mendapatkannya. Namun, masyarakat dengan kemampuan ekonomi lemah, rata-rata mencari sekolah tanpa mempertimbangkan kualitas karena mereka tak memiliki cukup opsi. Kualitas, dengan demikian, merupakan kebutuhan asasi manusia yang selalu dicari dan diusahakan untuk kesempatan menikmati hidup menjadi lebih baik.

Jika ditanya dari mana semua nilai kualitas hidup itu berasal? Maka sekolah atau kualitas pendidikan adalah jawaban pastinya. Hampir semua sektor kehidupan, mulai dari kualitas demokrasi atau kehidupan politik, sosial, budaya, ekonomi, hukum hingga agama bermula dari bagaimana sekolah atau pendidikan dikelola. Karena itu, dapat kita bayangkan, betapa tertekannya posisi sekolah karena mereka harus mempertanggungjawabkan kualitas yang diharapkan oleh semua sektor kehidupan manusia.

Tak banyak orang tersadar bahwa kondisi sektor pendidikan yang sudah tertekan tersebut rentan terhadap segala bentuk manipulasi, karena prosesnya tidak jarang dikotori oleh kepentingan-kepentingan yang justru tidak bertanggung jawab. Dalam konteks ini, agenda kebijakan tentang ujian nasional bisa jadi merupakan salah satu contoh rentannya posisi sekolah sebagai produsen kualitas berbagai aspek kehidupan manusia.

Padahal, jenis evaluasi proses belajar seperti UN yang hanya peduli pada standar profesional dalam pelaksanaan ujian, tetapi abai untuk melihat kualitas budaya sekolah, kualitas proses di kelas, kualitas hubungan sekolah dengan masyarakat jelas berdampak besar terhadap masa depan siswa. Dalam ranah pedagogis, jenis evaluasi semacam UN sering disebut sebagai highstakes testing dan dinisbahkan hanya terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pengukuran dalam rangka melihat tingkat kelulusan siswa. Sebagai sebuah metode, high-stakes testing berorientasi sematamata untuk melihat akuntabilitas sekolah secara parsial (tidak menyeluruh). Itulah sebabnya mengapa kebijakan soal UN tetap saja kontroversial dilihat dari kebutuhan penubuhan visi dan filosofi pendidikan secara luas.

Fakta dari hasil riset di banyak negara juga membuktikan bahwa masalah yang sering muncul dengan kebijakan semacam UN adalah sulitnya menilai indikator keberhasilan setiap sekolah karena hasil tes mengalami banyak perubahan dari tahun ke tahun, terutama jika dikaitkan dengan capaian student achievement (Linn & Haug, 2002). Secara statistika, pola semacam UN juga cenderung tak dapat memenuhi kepuasan seluruh stakeholder pendidikan mengingat pencatatan tak dapat dijadikan jangkar dalam menilai aspek nonpedagogis yang seharusnya masih menjadi bagian dari tanggung jawab guru dan sekolah terhadap para siswa.

Posisi Dilematis

Akibat kebijakan UN, suka tidak suka, jujur harus diakui bahwa kondisi kualitas pendidikan atau situasi persekolahan saat ini mengalami banyak sekali tekanan, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, sekolah belum memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi aspek-aspek yang menjadi kelemahan men dasar seperti kualitas guru, infrastruktur yang memadai, efektivitas manajemen dan relasi sekolah-masyarakat.

Secara eksternal, meskipun telah memiliki Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, tetapi dalam praktiknya masih terdapat kesalahan mendasar dalam menafsirkan masalah otonomi pendidikan, sistem pengujian hingga kebijakan pengembangan kurikulum yang selalu membuat pelaksana pendidikan bertambah bingung. Padahal, menurut penelitian Elmore dan Fuhrman (2001), sebuah proses pendidikan akan baik dan berkualitas jika masalah yang berkaitan dengan tanggung jawab internal sekolah mendapatkan prioritas terlebih dahulu untuk diselesaikan.

Meskipun pihak Kementerian Pendidikan akan meninjau kembali mengenai pola penilaian UN, dapat dipastikan bahwa sekolah akan tetap memiliki posisi yang sangat dilematis. Posisi sekolah, dalam bahasa Berube (2004), terjebak antara belum terpenuhinya unsur kesetaraan finansial dan kemandirian kapasitas yang dibalut oleh kesewenangwenangan aturan yang dibuat oleh pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar