|
MEDIA INDONESIA, 06 Mei 2013
Ada ironi kecil dari proses
berlangsungnya UN yang amburadul di tahun ini. Ironi ini terekam dalam cerita
seorang alumnus salah satu sekolah menengah di Karanganyar, Jawa Tengah, yang
bernama Zulfikar. Zul, demikian dia disapa, saat ini sudah bekerja sebagai
pembelah kelapa. Dia berperawakan kurus dan tinggi, dan setiap hari tangannya
sigap membelah kelapa demi kelapa di tepi jalan. Menjual kelapa muda adalah
pilihan terakhirnya karena Zul tak mungkin bisa bekerja dengan mengandalkan
ijazah akhir yang tak pernah diterimanya. Jika dilihat dari raut mukanya, mudah
ditebak usia Zul masih di bawah 20 tahun.
Dua tahun lalu Zul tak lulus ujian nasional, padahal di
kelasnya dia termasuk murid yang cerdas dan kreatif. Menurut pengakuan para
guru dan teman sejawatnya, ketidaklulusan Zul lebih banyak disebabkan oleh
kelelahannya dalam bekerja sebagai pembelah kelapa. Pada hari ujian dia datang
telat dan panitia pengawas tak membolehkannya mengejar waktu keterlambatannya.
Akibatnya nilai UN yang diperolehnya tak mencukupi untuk lulus, dan hingga kini
dia tetap membelah kelapa dan enggan mengulang.
Ada ratusan anak seperti Zul yang harus kalah dan menyerah
dengan kebijakan pemerintah tentang UN. Keputusan pemerintah untuk tetap
mempertahankan ujian nasional (UN) sebagai salah satu indikator keberhasilan
siswa dalam belajar masih saja diwarnai oleh kontroversi.
Selain menaikkan standar minimal kelulusan, membuat ragam
soal bahkan dengan barcode segala macam, pemerintah tak mencoba merumuskan
jenis penilaian lain untuk menentukan kelulusan siswa agar tak banyak lagi
korban seperti Zul. Kualitas kehidupan Zul saat ini jelas berkorelasi kuat
dengan kualitas proses pendidikan yang berlangsung di Tanah Air.
Nilai Kualitas
Sepanjang sejarah, manusia secara
alamiah selalu mencari bentuk standar tertinggi dan terbaik untuk setiap aspek
kehidupannya. Dalam berbelanja sesuatu seperti motor, mobil, sepeda hingga
barang kebutuh an dapur seperti sayur, bumbu dan buah-buahan, kita cenderung
mencari barang yang berkualitas. Pergi ke restoran, tempat wisata, hingga
tempat untuk anak-anak kita bersekolah pun kita selalu mencari tempat yang
berkualitas. Untuk hal yang terakhir ini, banyak orangtua dengan kemampuan
finansial yang cukup akan dengan mudah mendapatkannya. Namun, masyarakat dengan
kemampuan ekonomi lemah, rata-rata mencari sekolah tanpa mempertimbangkan
kualitas karena mereka tak memiliki cukup opsi. Kualitas, dengan demikian,
merupakan kebutuhan asasi manusia yang selalu dicari dan diusahakan untuk
kesempatan menikmati hidup menjadi lebih baik.
Jika ditanya dari mana semua nilai kualitas hidup itu
berasal? Maka sekolah atau kualitas pendidikan adalah jawaban pastinya. Hampir
semua sektor kehidupan, mulai dari kualitas demokrasi atau kehidupan politik,
sosial, budaya, ekonomi, hukum hingga agama bermula dari bagaimana sekolah atau
pendidikan dikelola. Karena itu, dapat kita bayangkan, betapa tertekannya
posisi sekolah karena mereka harus mempertanggungjawabkan kualitas yang
diharapkan oleh semua sektor kehidupan manusia.
Tak banyak orang tersadar bahwa kondisi sektor pendidikan
yang sudah tertekan tersebut rentan terhadap segala bentuk manipulasi, karena
prosesnya tidak jarang dikotori oleh kepentingan-kepentingan yang justru tidak
bertanggung jawab. Dalam konteks ini, agenda kebijakan tentang ujian nasional
bisa jadi merupakan salah satu contoh rentannya posisi sekolah sebagai produsen
kualitas berbagai aspek kehidupan manusia.
Padahal, jenis evaluasi proses belajar seperti UN yang
hanya peduli pada standar profesional dalam pelaksanaan ujian, tetapi abai
untuk melihat kualitas budaya sekolah, kualitas proses di kelas, kualitas
hubungan sekolah dengan masyarakat jelas berdampak besar terhadap masa depan
siswa. Dalam ranah pedagogis, jenis evaluasi semacam UN sering disebut sebagai
highstakes testing dan dinisbahkan hanya terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
pengukuran dalam rangka melihat tingkat kelulusan siswa. Sebagai sebuah metode,
high-stakes testing berorientasi sematamata untuk melihat akuntabilitas sekolah
secara parsial (tidak menyeluruh). Itulah sebabnya mengapa kebijakan soal UN tetap
saja kontroversial dilihat dari kebutuhan penubuhan visi dan filosofi
pendidikan secara luas.
Fakta dari hasil riset di banyak negara juga membuktikan
bahwa masalah yang sering muncul dengan kebijakan semacam UN adalah sulitnya
menilai indikator keberhasilan setiap sekolah karena hasil tes mengalami banyak
perubahan dari tahun ke tahun, terutama jika dikaitkan dengan capaian student achievement (Linn & Haug,
2002). Secara statistika, pola semacam UN juga cenderung tak dapat memenuhi
kepuasan seluruh stakeholder pendidikan mengingat pencatatan tak dapat
dijadikan jangkar dalam menilai aspek nonpedagogis yang seharusnya masih
menjadi bagian dari tanggung jawab guru dan sekolah terhadap para siswa.
Posisi Dilematis
Akibat kebijakan UN, suka tidak suka, jujur harus diakui
bahwa kondisi kualitas pendidikan atau situasi persekolahan saat ini mengalami
banyak sekali tekanan, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal,
sekolah belum memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi aspek-aspek yang menjadi
kelemahan men dasar seperti kualitas guru, infrastruktur yang memadai,
efektivitas manajemen dan relasi sekolah-masyarakat.
Secara eksternal, meskipun telah memiliki Undang-Undang
tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, tetapi dalam praktiknya
masih terdapat kesalahan mendasar dalam menafsirkan masalah otonomi pendidikan,
sistem pengujian hingga kebijakan pengembangan kurikulum yang selalu membuat
pelaksana pendidikan bertambah bingung. Padahal, menurut penelitian Elmore dan
Fuhrman (2001), sebuah proses pendidikan akan baik dan berkualitas jika masalah
yang berkaitan dengan tanggung jawab internal sekolah mendapatkan prioritas
terlebih dahulu untuk diselesaikan.
Meskipun pihak Kementerian Pendidikan akan meninjau kembali
mengenai pola penilaian UN, dapat dipastikan bahwa sekolah akan tetap memiliki
posisi yang sangat dilematis. Posisi sekolah, dalam bahasa Berube (2004),
terjebak antara belum terpenuhinya unsur kesetaraan finansial dan kemandirian
kapasitas yang dibalut oleh kesewenangwenangan aturan yang dibuat oleh
pemerintah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar