Jumat, 10 Mei 2013

Ditinggal Mati Orang Terdekat


Ditinggal Mati Orang Terdekat
Komaruddin Hidayat ;  Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah 
KORAN SINDO, 10 Mei 2013

  
Semua penduduk Bumi yakin dan sepakat akan kematian, sekalipun mereka berbeda soal keyakinan agama. Tak ada yang paling pasti dan diyakini secara bulat, kecuali tiap orang pasti akan mati. 

Semua keluarga pernah mengalami ditinggal mati orang terdekatnya. Hanya, masing-masing orang akan merasakan respons yang berbeda, berkaitan siapa yang meninggal. Orang tua ditinggal anak, anak ditinggal orang tua, suami ditinggal istri, istri ditinggal suami, pasti berbeda respons keluarga yang ditinggal. Begitu pun faktor usia juga memengaruhi seseorang bagaimana menyikapi peristiwa kematian. 

Dari sekian pembicaraan dengan orang yang ditinggal mati pasangan hidupnya, istri ditinggal suami atau suami ditinggal istri, ada cerita yang sangat menarik dan pantas jadi renungan kita bersama. Pertama, semua yang dijalani bersama akan muncul menjadi kenangan yang sangat indah. Bahkan apa yang dulunya jadi bahan pertengkaran dan dirasakan negatif, setelah pasangannya meninggal akan berubah menjadi indah dan ingin sekali diulang. 

Pendeknya, kenangan yang muncul semuanya serbaindah. Kedua, kebersamaan selama hidup yang dijalani belasan atau puluhan tahun, setelah pasangannya meninggal dirasakan terlalu singkat dan cepat berlalu. Sejak dari awal perkenalan, pernikahan, dan diakhiri dengan perpisahan, durasi waktunya dirasakan sangat pendek. Terbayang dengan disertai penyesalan, mengapa waktu masih hidup dulu banyak kesempatan yang disia-siakan untuk membuat memori indah yang lebih banyak lagi. 

Ketiga, sangat sulit melupakan kebiasaan yang dulu dijalani bersama, sehingga tanpa disadari sering berbicara atau melakukan sesuatu seakan pasangan hidupnya masih ada bersamanya. Keempat, ada rasa kesepian yang kadang muncul sangat mencekam, namun sungguh tidak mudah mencari pengganti pasangan hidup. Problem laki-laki dan perempuan yang ditinggal mati pasangannya akan berbeda, namun tetap tidak mudah untuk memasuki pernikahan baru. 

Terlebih mereka yang sudah memiliki anak, akan menjadi pertimbangan utama andaikan mau menikah lagi. Kelima, siapa pun yang menikah dengan duda atau janda karena ditinggal mati, mesti memiliki daya empati dan kesabaran, karena pasangan yang sebelumnya akan selalu menjadi kenangan sangat indah yang tak tergantikan. Mesti sabar andaikan pasangannya memuji-muji pasangan sebelumnya. 

Demikianlah, masih banyak cerita otentik dari mereka yang ditinggal mati orang terdekatnya. Mereka menyarankan, problem apa pun yang menimpa kehidupan rumah tangga hendaknya diatasi dengan sabar untuk menjaga keutuhan rumah tangganya, karena sesungguhnya durasi kehidupan ini teramat singkat. Itu dirasakan terutama bagi mereka yang ditinggal mati pasangannya. 

Waktu puluhan tahun menjalani rumah tangga itu seakan dilipat atau disimpan dalam memori disket yang sangat berharga. Usahakan jangan sampai patah di tengah jalan agar tidak meninggalkan luka di kemudian hari. Nantinya pasti akan menyesal dan tak ada jaminan lebih baik andaikan ganti pasangan hidup. Tentu saja nasihat ini tidak absolut, karena ada juga pasangan suami-istri yang sangat sulit dipertahankan. Namun, perpisahan itu tetap akan meninggalkan luka, terlebih jika sudah memiliki anak. 

Dari pengalaman dan cerita seputar kematian ini, pada akhirnya yang paling peduli untuk berbagai duka dan memberi semangat adalah keluarga inti. Ketika sehat, tenar, dan asyik dengan kariernya, seseorang mungkin saja lebih banyak berkiprah keluar, bahkan kurang peduli pada keluarga. Namun, fondasi terkuat untuk membangun karier kehidupan tak lain adalah keluarga. Hubungan anak-orang tua serta suami-istri adalah paling primer. Keluarga sering diibaratkan sebagai tempat berlabuh. 

Setelah jauh dan letih mengarungi lautan dengan menempuh bahaya, tempat berlabuh yang didambakan adalah keluarga. Di situ tempat berbagi semua suka dan duka serta menyegarkan kembali, sehingga siap untuk menghadapi pelayaran berikutnya. Manusia itu diciptakan untuk hidup abadi. Sementara dunia ini diciptakan sebagai persinggahan sementara. 

Rasulullah bersabda, dunia ini tempat bercocok tanam sebagai bekal perjalanan berikutnya setelah kematian dan untuk beramal meninggalkan warisan bagi anak-cucu yang akan datang. Tempat konsolidasi untuk bercocok tanam dan meninggalkan generasi penerus adalah keluarga. Oleh karena itu, pembangunan bangsa dan generasi unggul selalu bermula dari pembangunan rumah tangga yang sehat, cerdas, dan berakhlak mulia. 

Rumah tangga itu ibarat sebuah kapal, akan dirasakan indah dan menyenangkan perjalanannya kalau terjadi kekompakan, keharmonisan, dan memiliki tujuan serta nilainilai yang sama antara semua penumpangnya. Bayangkan saja, apa yang terjadi dengan sebuah acara rekreasi, tur atau perjalanan bersama jarak jauh, kalau antara sesama teman perjalanan saling tengkar dan menyakiti. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar