|
KORAN TEMPO, 07 Mei 2013
Financial Service
Authority (FSA)-Otoritas Jasa Keuangan
(OJK)-nya Inggris-menjatuhkan sanksi denda bagi EFG Private Bank Ltd sebesar
4,2 juta pound (setara dengan Rp 63 miliar) karena tidak sepenuhnya patuh,
dengan tidak memonitor rekening-rekening yang berisiko pada ketentuan-ketentuan
anti-pencucian uang. Berita ini disebarkan oleh berbagai media dunia, termasuk
Reuters UK, pada 24 April 2013.
Penjatuhan sanksi oleh FSA bagi bank yang tidak patuh pada
ketentuan anti-pencucian uang bukanlah yang pertama kali. Sebelumnya, pada
2012, Coutts, anak perusahaan Royal Bank of Scotland, dan Habib Bank AG Zurich
telah dikenai denda, karena tidak patuh pada ketentuan anti-pencucian uang.
Otoritas keuangan Amerika Serikat pada 2012 juga menjatuhkan sanksi denda
kepada HSBC sebesar US$ 1,9 miliar atau sekitar Rp 18,2 triliun, karena
terdapat rekening-rekening di HSBC Meksiko dan Amerika Serikat yang digunakan
untuk pencucian uang para bandar narkoba. Bagi bank, denda mungkin tidaklah
menjadikan masalah yang besar. Denda yang dikenakan otoritas Amerika Serikat
kepada HSBC hanya menyebabkan laba bersih HSBC pada 2012 turun 17 persen, dari
US$ 16,2 miliar pada tahun sebelumnya menjadi US$ 13,5 miliar.
Ketidakpatuhan penyedia jasa keuangan (PJK) untuk memenuhi
ketentuan tentang anti-pencucian uang akan menyebabkan penyedia jasa keuangan
tersebut berhadapan dengan risiko hukum, operasional, likuiditas, dan risiko
reputasi. Dari kasus tersebut di atas, risiko yang jelas terlihat secara
kasatmata adalah risiko hukum, di mana penyedia jasa keuangan diberi sanksi
oleh regulator. Risiko operasional dan likuiditas akan timbul jika denda yang
dikenakan oleh regulator jauh melampaui kemampuan suatu bank, sehingga
mengganggu likuiditas bank tersebut, atau kasus tersebut menyebabkan jalannya
operasional perbankan terganggu.
Bagaimana dengan risiko reputasi dari suatu bank apabila
tidak memenuhi standar anti-pencucian uang? Dampak dari risiko tersebut memang
tidak dapat dinilai secara langsung. Secara teoretis, publikasi negatif atas
pelaksanaan kontrol internal yang kurang baik terhadap standar-standar
internasional akan menyebabkan suatu bank kehilangan kepercayaan dari
nasabahnya. Lebih lagi bagi bank yang sudah menjadi perusahaan publik, investor
atau pemegang saham publik pun akan dirugikan dari ketidakpatuhan tersebut yang
mungkin dapat berdampak pada penurunan harga sahamnya di bursa.
Skala risiko reputasi untuk perusahaan keuangan yang tidak
patuh pada ketentuan anti-pencucian uang, kalau boleh diibaratkan dengan skala
gempa bumi, adalah suatu gempa yang dapat memberikan efek tsunami. Sifatnya
bukanlah lagi suatu entitas hukum di satu negara, akan tetapi lebih jauh lagi
adalah persepsi dunia internasional tentang kepatuhan industri terhadap
standar-standar internasional. Dengan semakin tumbuh besar suatu perusahaan
keuangan, reputasi bank sebagai anak perusahaan di satu negara akan memberikan
dampak reputasi bank induknya di negara lain. Seperti EFG Private Bank Ltd yang
berbasis di London, yang merupakan anak perusahaan dari EFG International Group
yang berbasis di Zurich.
Risiko reputasi dari sebuah bank yang tidak patuh pada
ketentuan anti-pencucian uang memang harus dilihat kasus per kasus, tergantung
dari jenis ketidakpatuhannya dan struktur bisnisnya. Dari segi banknya sendiri
sebagai entitas bisnis, apabila nasabah tetap melihat bahwa dana dia aman dan
jaringan layanan (kemudahan melakukan transaksi) memuaskan nasabah, risiko
tersebut dapat terminimalisasi. Satu hal lagi yang dapat meminimalisasi risiko
reputasi adalah usaha manajemen untuk memperbaiki standar-standar
anti-pencucian uangnya dan mengkomunikasikannya dengan pemangku kepentingan
atau stake holders. Kondisi-kondisi tersebut yang dapat mempengaruhi magnitude
dari risiko reputasi atas ketidakpatuhan terhadap rezim anti-pencucian uang.
Selain patuh pada ketentuan undang-undang, perbankan perlu
melakukan pendidikan dan pelatihan bagi pegawai bank secara berkesinambungan
terkait dengan modus-modus pencucian uang yang selalu bermutasi dan
bermetamorfosis, baik dari penggunaan produk, cara bertransaksi, maupun
penggunaan underlying-nya. Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) serta Bank Indonesia telah
mengeluarkan berbagai macam peraturan untuk memperkuat rezim anti-pencucian
uang yang didasarkan atas best practice dunia internasional.
Yang tak kalah penting dari regulasi yang dikeluarkan baik
oleh PPATK maupun Bank Indonesia tersebut adalah sistem back office perbankan. Jumlah nasabah di satu bank mungkin bisa
mencapai jutaan. Misalkan dalam satu bulan rata-rata satu nasabah melakukan
satu kali transaksi, maka terdapat jutaan transaksi yang harus dipantau oleh
bank. Pola transaksi yang mencurigakan, baik yang dilakukan oleh orang pribadi
maupun perusahaan, akan sulit dipantau tanpa sumber data dan sistem yang
memadai. Penggunaan teknologi informasi akan sangat membantu untuk melakukan
hal tersebut. Selain transaksi-transaksi biasa, perbankan harus tetap memantau
transaksi dari perusahaan-perusahaan yang secara bisnis tidak terlepas dari
penggunaan uang tunai, seperti usaha stasiun pengisian bahan bakar umum,
minimarket, pendidikan, dan usaha yang bersifat cash basis lainnya, walaupun
bisnis tersebut dikecualikan dari pelaporan transaksi tunai yang melebihi batas
Rp 500 juta, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala PPATK Nomor:
PER-11/1.02/PPATK/09/2012.
Apakah sudah tiba saatnya kita memberikan sanksi yang tegas
kepada penyedia jasa keuangan yang "membandel" untuk patuh kepada
rezim anti-pencucian uang? Jangan sampai kita menunggu "sel kanker"
tersebut menyebar luas dan kita tergopoh-gopoh untuk mengamputasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar