|
KOMPAS,
04 Mei 2013
Sebagai berita, karut-marut pelaksanaan ujian
nasional telah berlalu. Kita semua tahu belaka, dalam lima tahun terakhir
situasi seperti ini telah menjadi rutin. Tiap ujian nasional dilaksanakan, tiap
kali itu pula kericuhan dituai.
Entah tahun ini puncaknya atau bukan, toh
masih ada tahun depan. Melihat gelagatnya, pemerintah akan tetap ngotot
melaksanakan hajatan tersebut. Seperti keledai, dia suka menikmati
keterperosokan ke lumpur yang sama, dan kita melihatnya sebagai kebebalan tiada
tara.
Pendidikan Kuasa
Pendidikan sesungguhnya bukan soal yang tidak
perlu rumit jika kita melihatnya sebagai proses berbudaya. Inti proses
berbudaya adalah kepercayaan berbagai pihak akan hadirnya kebebasan dalam
mengelola nilai yang disepakati bersama. Dalam kebebasan itu, seluruh pihak
dapat berdialog, bahkan berdebat yang memungkinkan berkembangnya terus-menerus
nilai yang disepakati tadi. Dengan kata lain, nilai disepakati dalam
dialektika, bukan sesuatu yang mati, apalagi dimatikan.
Dialektika dibangun sekaligus diikat oleh
kepentingan bersama, yakni oleh masa depan bangsa yang diandaikan ada pada
pundak para peserta didik, sebuah generasi yang harus muncul dan tumbuh
produktif pada 2-3 dasawarsa ke depan.
Pemerintah harus menjadi pasak bagi tegaknya
kepercayaan dan dialektika tersebut. Sebagai pasak, ia harus meniscayakan
tumbuh dan berkembangnya berbagai pemikiran kritis menjadi semesta bagi
hidupnya berbagai gagasan apa pun tentang kependidikan. Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan harus menjadi rumah yang memberi rasa aman sekaligus
menyenangkan bagi para aktivis dan hamba-hamba pendidikan. Pendidikan tidak
akan pernah bisa berlangsung dengan baik tanpa kegembiraan sedemikian.
Di samping itu, pemerintah tak boleh terlalu
jauh masuk dalam urusan substansi. Ia tidak boleh hadir pada masalah macam UN
dan kurikulum. Sekali-kali pemerintah turut campur. Sebagaimana terjadi
sekarang, muatan politik dan kuasanya menjadi sangat dominan. Lihatlah kasus UN
dan Kurikulum 2013. Di situ tampak jelas tidak ada dialog. Kemdikbud cenderung
hanya menggunakan ”fasilitas kuasanya”. Pihak-pihak yang kritis yang secara
obyektif bisa diuji kesahihan argumentasinya dianggap sebagai musuh yang harus
ditumpas.
Dalam kasus Kurikulum 2013, misalnya, para
pengkritik kurikulum disebut sebagai antiperubahan, orang iseng, tidak memahami
permasalahan, bukan pemain inti, dan lain-lain. Kurikulum kemudian menjadi soal
politik. Kemdikbud menjadi sibuk mencari dukungan politik ke sejumlah partai
politik. Pun demikian pada kasus UN. Meskipun kesalahannya telak, pemerintah
tetap saja memasang muka bebal kuasanya.
Pendidikan Tanpa Nilai
Karena hal itu, pendidikan di negeri ini
berlangsung tanpa nilai-nilai pendidikan. Sekolah menjelma menjadi sebuah
institusi bagi bermuaranya kepongahan sekaligus kebebalan kuasa. Siswa berada
di ujung persoalan sebagai pihak yang selalu dijadikan alibi: generasi
mendatang harus diselamatkan. Omong kosong!
Sementara guru didesak ke posisi dilematis:
di satu sisi ia dituntut kreatif dan memiliki kemampuan mumpuni, tetapi pada
sisi yang lain dibebani berbagai aturan yang membelenggu. Bahkan, haknya untuk
menentukan kelulusan siswa pun digerus UN hingga 60 persen.
Akibatnya, beranalogi pada Louis Althusser
(1984), sekolah tidak lagi bisa disebut sebagai ideological state apparatuses
yang menanamkan nilai secara ideologis persuasif. Sekolah justru menjadi
repressive state apparatuses yang melesakkan nilai secara represif hingga bawah
sadar siswa, juga guru.
Karena itu, tidak ada lagi proses berbudaya
dalam pendidikan. Yang terjadi adalah kamuflase kuasa. Dalam situasi seperti
ini, konsep dan tindak yang berhubungan dengan kreativitas siswa tidak lahir
dan tumbuh dari dan untuk kehidupan siswa itu sendiri, melainkan sesuatu yang
dibayangkan oleh kekuasaan.
Periksalah soal-soal pilihan dalam UN,
misalnya. Jenis soal ini mengamuflase kebebasan dan kreativitas siswa. Di dalam
jenis soal pilihan sesungguhnya tidak ada pilihan sebab siswa tidak bisa
memilih selain materi pilihan yang disodorkan. Inilah jalan melingkar
kepongahan kuasa.
Dewan Pendidikan
Agar situasi demikian tidak terus-menerus
berlangsung, ranah substansial pendidikan harus diberikan kepada pihak yang
independen semacam Dewan Pendidikan yang secara administratif bertanggung jawab
kepada Kemdikbud. Di dalam dewan yang independenlah pembahasan segala materi
dan substansi pendidikan dapat berlangsung dengan fokus, kritis, dan
demokratis.
Pemerintah sebaiknya mengurus bidang-bidang
penting lain yang sejauh ini tetap terbengkalai. Infrastruktur, fasilitas
belajar mengajar, peningkatan kualitas guru, dan kesejahteraan guru adalah
beberapa contoh yang masih jauh di bawah anggaran pendidikan yang katanya 20
persen dari APBN itu.
Ingat, upaya peningkatan kualitas guru harus
kontinu, tidak cukup dengan hanya melatih guru lima hari ketika kurikulum akan
diubah. Program ini juga tak tepat diidentikkan dengan peningkatan
kesejahteraan seperti yang terjadi pada sertifikasi guru. Iming-iming uang pada
sertifikasi adalah penghinaan terhadap kemanusiaan. Mentalitas guru dibetot ke
struktur paling luar duniawi. Ini contoh yang sangat buruk dalam dunia
pendidikan.
Pemimpin Harus Paham
Untuk mencapai hal itu, mula-mula dibutuhkan
seorang pemimpin, dalam hal ini menteri yang memahami betul situasi dan kondisi
persekolahan kita. Menteri yang memahami hal ini hanyalah ia yang memiliki
kemampuan, ketahanan, dan keberanian untuk ”turun blusukan” ke dalam gelanggang
persoalan.
Secara teknis—maaf bukan teknis penyebaran
soal UN, sang menteri juga harus kerap mengunjungi sekolah-sekolah—yang bisa
juga dihimpun menjadi wilayah atau gugus—yang tersebar di seluruh pulau.
Menteri yang hanya bekerja mengandalkan struktur birokrasi seperti sekarang ini
dijamin tak akan pernah bisa menyelesaikan persoalan. Hari ini kita membutuhkan
pemimpin yang berani menerobos struktur serta berpikir dan bekerja keluar dari
kerangka (out of the box). Menteri
seperti inilah yang akan mengerti geopolitik sekaligus ”geokultur”. Dengan
demikian, menteri seperti ini juga mampu menciptakan pendidikan sebagai proses
berbudaya! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar