|
KOMPAS,
04 Mei 2013
Undang-undang mengamanatkan pemerintah untuk
menyediakan energi, termasuk BBM. Selain menjamin ketersediaannya, pemerintah
juga ditugaskan menyediakan BBM dengan harga terjangkau. Karena itu, pemerintah
melakukan dua kebijakan bersamaan, yakni membuka keran impor BBM dan
memberlakukan harga BBM bersubsidi. Namun, akhir-akhir ini kedua kebijakan ini
cukup berat untuk tetap dipertahankan.
Selain ketergantungan terhadap impor BBM
semakin tinggi, subsidi BBM pun membengkak. Ini memengaruhi postur APBN secara
negatif. Mau tak mau pemerintah harus memperhitungkan kembali kebijakan ini dan
secara bertahap melepaskan harga BBM bersubsidi ke harga pasar. Namun, opsi ini
terkendala kemungkinan gejolak sosial.
Akhir tahun lalu, pemerintah didesak
menaikkan harga BBM dan mengurangi subsidi BBM. Namun, desakan itu tak cukup
kuat untuk menghilangkan kekhawatiran gejolak sosial yang mungkin terjadi
sehingga pemerintah kembali memberlakukan harga BBM bersubsidi. Pada tahun
berjalan ini, subsidi BBM dipatok Rp 193,8 triliun dan subsidi listrik Rp 78,6
triliun sehingga total subsidi energi Rp 272,4 triliun, sekitar 18 persen dari
belanja APBN. Adapun impor BBM diproyeksikan 30 juta-32 juta kiloliter atau
46-48 persen dari total konsumsi nasional.
Konsumsi BBM tak pernah turun, bahkan pada
tahun-tahun terakhir laju pertumbuhan permintaan jauh di atas pertumbuhan
ekonomi. Tahun lalu, konsumsi BBM sekitar 70 juta kl. Jika melihat pola
konsumsi BBM, konsumsi akan terus meningkat dari tahun ke tahun. BBM jenis
bensin akan tumbuh 11 persen per tahun, sementara solar 5 persen. Meski
proyeksi ini belum memperhitungkan upaya penghematan, gambaran ini memberikan
magnitude konsumsi BBM yang cukup mengkhawatirkan.
Yang justru lebih mengkhawatirkan, tren
peningkatan konsumsi BBM ini tak dibarengi peningkatan produksi BBM. Bahkan,
produksi cenderung menurun. Produksi BBM nasional terkendala dua hal: kapasitas
kilang dan pasokan minyak mentah.
Saat ini, kapasitas kilang sekitar 1,2 juta
barrel per hari (bph), dengan produksi BBM sekitar 38 juta kl. Produksi minyak
mentah sudah lama tak menyentuh 1 juta bph. Tahun lalu, produksi tak lebih dari
0,9 juta bph, sekitar 20 persen diekspor, padahal kebutuhan minyak mentah untuk
intake kilang 1 juta bph. Artinya, perlu impor minyak mentah sedikitnya 25
persen dari kebutuhan intake nasional.
Padahal, dulu, produksi minyak pernah 1,4
juta bph lebih. Mulai 2005, produksi di bawah 1 juta bph. Saat ini, dua
lapangan minyak yang memberikan kontribusi terbanyak adalah Duri dan Minas-
Sumatra Light Crude. Dalam 5-10 tahun mendatang, kontribusi kedua lapangan
dipastikan jauh berkurang. Bahkan, pada 2020 produksi lapangan Minas praktis
akan habis.
Impor Tak Terbendung
Untuk memenuhi permintaan BBM, keran impor
BBM terus dibuka. Impor BBM sudah lama dipraktikkan, tetapi belakangan porsi
impor kian tak terbendung seiring meningkatnya konsumsi dan menyusutnya
produksi BBM. Tahun lalu, impor BBM 32 juta-35 juta kl, lebih kurang setengah
dari kebutuhan BBM nasional. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan impor BBM
10 tahun lalu yang 5 juta kl. Dengan jumlah impor BBM yang besar ini, eksposur
fluktuasi pasar minyak internasional terhadap keamanan pasokan BBM—ketahanan
energi nasional—terbilang membahayakan. Jika harga minyak dunia tinggi, dengan
sendirinya biaya penyediaan BBM juga meningkat, subsidi menggunung, dan APBN
kian terpangkas.
Postur APBN semakin ramping, ruang fiskal
kian menyempit, sehingga belanja untuk kepentingan lain, seperti infrastruktur,
pendidikan, dan kesehatan, jauh berkurang.
Tak hanya itu, fluktuasi pasar minyak
internasional juga langsung diserap APBN, mengakibatkan APBN sering direvisi.
Dalam satu tahun anggaran, revisi bisa berkali-kali. Ini untuk menyesuaikan
asumsi harga minyak dengan harga internasional yang berlaku. Ini perlu
mengingat asumsi APBN mengenai harga minyak Indonesia (ICP) merupakan fungsi
dari harga minyak internasional dan berpengaruh, baik terhadap perhitungan
penerimaan negara maupun perhitungan besarnya subsidi BBM.
Penerimaan negara dari sektor migas bersumber
dari PPh migas dan PNBP migas yang jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun.
Tahun lalu, Rp 289 triliun atau sekitar 17 persen dari total penerimaan negara.
Di lain pihak, kenaikan volume BBM impor, yang sering diikuti kenaikan harga
BBM impor, menyebabkan belanja subsidi BBM meningkat. Sepuluh tahun lalu,
belanja ”hanya” Rp 35 triliun, tahun lalu Rp 216 triliun. Ditambah subsidi
listrik (Rp 93 triliun), subsidi energi Rp 310 triliun. Penerimaan negara dari
migas praktis habis untuk subsidi energi, yakni BBM dan listrik.
Eksekusi Kebijakan
Dalam 10 tahun mendatang, gap kebutuhan dan
produksi akan terus membesar kecuali dibangun beberapa kilang baru. Saat ini,
produksi BBM dalam negeri hanya mampu memenuhi 40 persen konsumsi BBM nasional
jenis bensin. Dengan melihat kecenderungan konsumsi BBM jenis bensin saat ini,
pada 2025 perlu sekurang-kurangnya 10 kilang baru, masing-masing berkapasitas
300.000 bph. Pembangunan tiga kilang baru, yang menurut rencana on-stream 5-8 tahun mendatang, hanya
mampu mereduksi sepertiga dari impor BBM bensin, belum memenuhi semua kebutuhan
domestik.
Kebijakan impor dan subsidi BBM yang kini
berlaku memang mampu mempertahankan harga BBM tetap terjangkau masyarakat luas,
tetapi juga berdampak negatif cukup serius, mulai dari bengkaknya konsumsi BBM,
belanja impor BBM, dan ketidakpastian APBN dalam menyediakan fasilitas sosial
dan mendasar lain. Di samping upaya penghematan tak kunjung ada hasil, memproduksi
BBM di dalam negeri juga terkendala kapasitas kilang dan pasokan minyak mentah.
Menaikkan harga terkendala persepsi kemungkinan gejolak sosial.
Tentu pemerintah kini tengah menggodok
strategi jitu untuk mengatasi membengkaknya konsumsi BBM sekaligus mengurangi
subsidi BBM. Beberapa opsi penting untuk dikaji. Pertama, segera kurangi
ketergantungan impor BBM dengan secara bertahap membangun kilang di dalam
negeri. Kedua, segera melakukan penjaminan pasokan minyak mentah melalui kerja
sama dengan negara-negara kaya akan minyak mentah, serta mengupayakan
peningkatan produksi minyak mentah di dalam negeri.
Ketiga, secara bertahap menaikkan harga BBM
di dalam negeri dan memfokuskan target subsidi BBM pada sektor-sektor yang
mampu membuka lapangan kerja bagi masyarakat miskin, seperti nelayan, sektor
informal, dan usaha kecil. Keempat, secara cermat segera mengkaji potensi the
true social unrest akibat kenaikan harga BBM dan memisahkannya dari gejolak
sosial yang direkayasa, serta melakukan upaya mitigasi risiko/potensi gejolak
sosial. Kelima, menekan konsumsi BBM melalui diversifikasi energi, dengan
memanfaatkan bahan bakar gas, terutama di sektor transportasi dan pembangkit
listrik.
Opsi-opsi itu sudah tentu bukan hal baru.
Yang penting bagaimana mengeksekusi strategi itu mengingat banyak pihak
terlibat dan berkepentingan. Menurunkan harga BBM harus merupakan bagian dari
orkestra strategi meningkatkan ketahanan energi secara nasional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar