|
KOMPAS,
04 Mei 2013
Hari-hari ini, banyak sekolah terserang panik
sertifikasi. Yang belum sertifikasi bingung bagaimana memenuhi tuntutan
mengajar 24 jam. Yang sudah sertifikasi bingung bagaimana mempertahankan 24 jam
mengajar.
Jika tidak dicarikan solusi, hal ini bisa
menghancurkan kinerja pendidikan, melemahkan motivasi guru, dan membuat profesi
guru menjadi tidak menarik.
Sumber kepanikan adalah beban kerja mengajar
24 jam per minggu sesuai Undang-Undang Guru dan Dosen Tahun 2005 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008.
Sebelumnya, beban mengajar bisa diperoleh
melalui kegiatan pendampingan siswa yang tidak langsung terkait tatap muka
dalam kelas. Sekarang, aturan diperketat. Yang berlaku hanya jam mengajar tatap
muka di kelas, dengan mata pelajaran yang sama saat sertifikasi, dan harus
linear kalau mengajar di sekolah lain. Misalnya, jam mengajar guru matematika
SMP di SMP lain hanya diakui jam mengajarnya bila juga mengajar matematika.
Guru SMP tidak boleh mencari tambahan beban
mengajar di SD karena guru SD harus guru kelas. Guru SMP juga tidak akan
diverifikasi datanya jika ia mengajar di SMA.
Tambahan jam mengajar bisa diperoleh bila
guru memiliki tugas khusus, misalnya sebagai kepala sekolah, wakil kepala
sekolah, kepala laboratorium, kepala perpustakaan, dan lain-lain, yang dihitung
sebagai jam mengajar dengan jumlah tertentu.
Sistem ”Online”
Persoalan menjadi semakin rumit—dan membuat
panik—karena sistem seleksi verifikasi pendataan berlangsung online. Sistem
sudah tersedia, data sekolah dan pendidik tinggal dimasukkan untuk verifikasi.
Namun, sistem online menjadi bermasalah
karena banyak data guru yang tak dapat diverifikasi, entah karena kesalahan
parameter, ketidaknormalan—misalnya jumlah jam mengajar di sekolah melebihi
ketentuan—atau kesalahan input pendataan sebelumnya.
Guru yang telah disertifikasi juga harus
memperbarui data jam mengajar, terdiri dari jumlah jam mengajar, jumlah jam
mengajar kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan jumlah jam mengajar linear. Jika jumlah ketiga kriteria ini
sama dengan atau lebih dari 24, guru akan dapat diverifikasi datanya. Jika
tidak, data tidak dapat diinput dan tunjangan sertifikasi tidak muncul. Karena
itu, dengan segala cara guru berusaha memenuhi tuntutan jam mengajar 24 jam.
Teknokrasi Kebijakan
Kebijakan sertifikasi guru— yang menurut
riset Bank Dunia terbukti meningkatkan kesejahteraan dan pamor profesi
guru—ternyata berpotensi menjadi kebijakan teknokratis, kebijakan yang
mengandalkan otoritas, sistem kontrol anonim melalui pelaporan yang ketat,
seolah pihak-pihak yang sedang diuji datanya adalah pihak-pihak yang tidak
pantas dipercaya.
Guru sebagai pendidik, bahkan setelah
memperoleh sertifikat, tetap harus membuat verifikasi data tiap semester,
menyerahkan kembali berkas-berkas, sementara mereka juga dituntut memenuhi
berbagai macam aturan pemerintah yang berubah-ubah setiap tahun. Guru akhirnya
disibukkan dengan urusan administrasi, kurang konsentrasi pada pengajaran.
Teknokratisme dan birokratisisme sertifikasi
guru juga merusak moral pendidik.
Pertama, untuk mengatasi kekurangan jam
mengajar, ada sekolah yang menerapkan arisan jam mengajar sehingga seolah- olah
guru memiliki beban mengajar 24 jam per minggu. Ada pula yang membayar guru
honorer yang mengajar di sekolah lain, lalu memanipulasi data untuk kepentingan
guru penyogok.
Kedua, suasana di sekolah menjadi kurang
kondusif. Demi sertifikasi, para guru senior akan mengambil jatah mengajar guru
yunior untuk mengamankan diri. Para guru yunior atau guru tetap yang belum
menjalani sertifikasi akan menjadi korban.
Ketiga, di sekolah yang memiliki jumlah murid
sedikit dan rombongan belajar kecil, para guru yang mengampu mata pelajaran
dengan jumlah jam mengajar sedikit akan sulit memenuhi beban mengajar 24 jam.
Misalnya, mata pelajaran sejarah, agama, pendidikan jasmani, dan kesenian yang
hanya memiliki alokasi mengajar 2 jam per minggu.
Keempat, kebijakan kewajiban mengajar 24 jam
tidak akan terpenuhi di sekolah swasta dengan jumlah murid sedikit. Apalagi
dengan adanya ekspansi sekolah negeri ke daerah-daerah sehingga mematikan
sekolah swasta.
Kelima, kewajiban mengajar 24 jam merupakan
kebijakan yang tidak memercayai bahwa guru bekerja dan memastikan bahwa guru
tidak menganggur. Ini pemikiran aneh. Kegiatan guru di luar jam mengajar tidak
dianggap sebagai bagian dari kompetensi guru
(pedagogis, personal, individual, dan sosial)
seperti mempersiapkan materi pelajaran, membuat soal ulangan, mengoreksi,
mendampingi ekstrakurikuler, bertemu orangtua siswa, dan seterusnya.
Solusi
Untuk mengatasi panik sertifikasi, pemerintah
perlu membuat kebijakan pendidikan berbasis kondisi konkret.
Sebagai contoh, sebelum ada mata pelajaran
IPA terintegrasi (biologi dan fisika) di SMP, ada dua guru pengampu. Ketika
pemerintah mengganti nama mata pelajaran di SMP menjadi IPA terintegrasi, faktanya,
guru pengajar tetap dua, yaitu guru biologi dan fisika. Sebab, guru biologi
belum tentu bisa mengajar fisika dan sebaliknya. Perubahan nama mata pelajaran
ini berpengaruh pada sertifikasi karena jatah jam mengajar dibagi menjadi dua.
Hal yang sama berlaku untuk guru IPS terpadu (sosiologi, ekonomi, geografi, dan
sejarah).
Kedua, menghitung kinerja guru berdasarkan
aturan minimal 24 jam mengajar adalah kebijakan yang tidak fair dan tidak
menilai kinerja guru secara utuh. Guru hanya dinilai kinerja profesionalnya
melalui jam tatap muka, padahal ada yang jam mengajarnya terbatas.
Ketiga, aturan jam mengajar per minggu
sebaiknya dihitung dalam totalitas satu bulan. Di beberapa sekolah, sistem
penggajian jam mengajar guru hanya berdasarkan pada pengajaran guru dalam
seminggu. Misalnya, seorang guru mengajar mata pelajaran tertentu 24 jam per
minggu, maka besarnya gaji per bulan yang ia terima adalah harga per jam
mengajar kali 24 jam. Untuk pengajaran tiga minggu lainnya, guru tidak dibayar.
Karena itu, kebijakan 24 jam mengajar per minggu perlu ditinjau. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar