|
SINAR HARAPAN, 07 Mei 2013
Kekerasan tampaknya
masih menjadi mantra kehidupan berbangsa. Kekerasan oleh aparat kembali muncul
di Musi Rawas, Sumatera Selatan. Peristiwa terjadi saat petugas akan
membubarkan massa yang memblokade jalan lintas Sumatera dengan tuntutan
pemekaran wilayah Kabupaten Musi Rawas.
Empat
korban tewas akibat penembakan pada Senin (29/4), di Kecamatan Muara Rupit,
Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan. Tiga dari empat korban, yaitu Mikson
(35), Apriyanto (18), dan Suharto (18), dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum
(TPU) Rupit dalam satu liang lahat. Satu korban lainnya, Padilah (45),
dimakamkan di Desa Pantai atau sekitar 1 kilometer dari Desa Rupit.
Sementara
itu, 10 korban luka masih dirawat di Rumah Sakit (RS)
Lubuklinggau. Sebelumnya kita juga menyaksikan penembakan anggota Kopassus
terhadap tahanan di LP Cebongan, Sleman, Yogyakarta.
Kota
Palopo pun tak lepas dari bara konflik. Kasus anarkistis di Kota Palopo
(31/3) diduga sebagai buntut ketidakpuasan terhadap hasil pemilihan umum kepala
daerah (pilkada). Massa yang diduga pendukung calon wali kota/wakil wali kota
yang kalah, Haidir Basir-Thamrin Jufri, mengamuk dan membakar sejumlah
bangunan.
Bangunan
yang menjadi sasaran yakni kantor Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar, kantor
Wali Kota Palopo, Dinas Perhubungan, kantor Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu),
kantor Kecamatan Wara Timur, dan kantor Harian Palopo Pos.
Pertanyaan
yang muncul kemudian adalah bagaimana pendidikan mengurai persoalan tersebut?
Pendidikan
Humanis
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar siswa mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara
(Pasal 1 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Menilik
konsepsi di atas, pendidikan merupakan proses saling menghargai antarkomponen.
Semua adalah sama. Guru bukanlah seseorang yang serbatahu. Siswa pun bukanlah
manusia bodoh yang perlu dicekoki berbagai teori sesuai buku ajar.
Pendidikan
merupakan bagian integral mengenal diri terhadap realitas empiris. Pendidikan
bukan saja mengecap teori dan menghafalkan rumus. Pendidikan merupakan
pemerdekaan pribadi. Pendidikan adalah pengelolaan potensi sebagai anugerah
Tuhan Yang Maha Esa.
Lebih
lanjut, pendidikan adalah proses memanusiakan manusia (humanizing human
being). Proses pendidikan humanis dilakukan dengan sadar dan terencana. Pola
pendidikan humanis, penyadaran dalam bahasa Romo Mangun, pengangkatan manusia
muda ke taraf insani dalam bahasa Romo Driyarkara dan principle of reaction dalam bahasa Ki Hajar Dewantara sudah saatnya
diimplementasikan.
Bangsa
ini memiliki banyak tokoh pendidikan yang mengemukakan gagasan brilian. Mengapa
mereka tidak pernah kita rujuk? Mungkin benar pendidikan nasional Indonesia
lebih berorientasi kerja atau pasar, tanpa memedulikan aspek-aspek humanis
dalam pendidikan.
Ruh
pendidikan nasional tergadai oleh gemerlap dunia kerja dan kejar setoran demi sebuah
“prestasi”. Prestasi tampil di aras internasional, namun melupakan hakikat dan
makna pendidikan sebagai sebuah proses hidup.
Dalam
pendidikan yang bercorak humanis, seseorang dianggap sama. Artinya, semua
manusia memiliki potensi yang telah diberikan Tuhan sejak lahir. Potensi inilah
yang diolah dan dikembangkan untuk bekal hidup. Tidak dengan jalan pemaksaan
(kekerasan), melainkan dengan saling tegur sapa dan saling mengisi.
Sekolah
merupakan persemaian cinta kasih tanpa batas, antara guru dan siswanya. Relasi
ini tergambar jelas dalam penelitian T Priyo Widianto (2000). Guru dapat
bersikap seperti simbah, simbok, dan babu. Jika semua guru mampu bersikap
seperti ini, harmoni di dalam sekolah akan tercapai. Sekolah menjadi tempat
menyenangkan bagi siswa untuk belajar, berinteraksi, dan tumbuh kembang.
Komunitas
Beradab
Proses
seperti itu merupakan esensi pendidikan. Sebuah proses tiada henti yang
menjadikan setiap insan nyaman untuk hidup berdampingan. Manusia hidup dalam
komunitas beradab (homo homini socius),
bukan dalam komunitas saling terkam dan mematikan (homo homini lupus).
Komunitas
beradab terbangun dari cita bersama. Cita menyadarkan posisi manusia sebagai
makhluk berakal dan berbudi. Manusia merupakan masterpiece ciptaan Tuhan.
Manusia adalah manusia utama sehingga ciptaan Tuhan terdahulu wajib bersujud
kepadanya. Makhluk mulia selayaknya berperilaku santun.
Santun
dalam ucapan maupun sikap. Kesantunan ini terbentuk dari sistem pendidikan yang
kuat. Sistem pendidikan yang memberi keleluasaan (kebebasan) kepada komponen
pendidikan untuk berkembang tanpa terbebani kurikulum yang ndakik-ndakik.
Kurikulum
pun selayaknya diarahkan untuk menjadikan proses belajar sebagai hal yang
menyenangkan. Bukan menegangkan atau bahkan membebani siswa. Hal ini karena
kurikulum merupakan hal utama.
Dari
sinilah seorang guru mengimplementasikan sistem pendidikan. Jika kurikulumnya
saja tidak mampu menjadi acuan yang benar maka berlangsungnya proses pendidikan
pun akan kacau dan tanpa arah. Dengan demikian, kurikulum selayaknya bersumber
dari semangat pemanusiaan.
Jika
hal tersebut tidak menjadi agenda dalam pendidikan nasional, maka kekerasan,
aksi brutal, dan bahkan konflik horizontal tinggal menunggu waktu. Pasalnya,
generasi muda dididik menjadi bengis dan menghalalkan cara kekerasan atas nama
pendidikan.
Ketika
pendidikan tidak mampu memberikan kontribusi terhadap keadaban publik maka
pelapukan bangsa akan semakin cepat. Bangsa Indonesia akan semakin sulit keluar
dari krisis multidimensional. Bangsa Indonesia pun semakin terseok dalam
kubangan masalah.
Pada
akhirnya, beberapa peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan secara
gamblang bahwa pendidikan nasional masih jauh dari cita pembangunan manusia
seutuhnya ala founding fathers and
mothers. Pendidikan Indonesia masih saja berjibaku oleh tarikan kepentingan
yang jauh dari semangat kebangsaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar