|
SUARA MERDEKA, 07 Mei 2013
"Diplomasi
total untuk mendudukkan isu Papua secara adil harus dilakukan demi mengikis
propaganda negatif"
ORGANISASI Papua Merdeka (OPM) pada akhir April membuka kantor perwakilan internasional di Oxford Inggris. Pemerintah RI telah menyampaikan nota protes dan pemerintah Inggris melalui duta besarnya di Jakarta, Mark Canning menyebut sikap Dewan Kota Oxford tak mencerminkan sikap resmi pemerintah Inggris, yang tetap menghargai Papua sebagai bagian dari NKRI.
Perspektif realisme politik internasional mengajarkan kita
untuk selalu fokus dan konsentrasi pada isu keamanan nasional, termasuk sektor
penjagaan wilayah kedaulatan (Martin Griffith: 2002). Dalam konteks itu maka
fakta bahwa Dewan Kota Oxford merestui dan memfasilitasi kantor perwakilan OPM
mesti dipahami sebagai ''lampu kuning'' bagi kita. Ini adalah bukti kali
kesekian dari upaya terus-menerus OPM untuk menginternasionalkan isu Papua,
sekaligus bukti propaganda mereka mulai mendapat sambutan.
Selain gangguan keamanan seperti berbagai kasus penembakan
dan penyerangan terhadap prajurit TNI, OPM sejak lama memang terus melakukan
berbagai manuver politik. Jika sudah menjadi isu internasional, perjuangan kita
bertambah berat. Kasus Timor Timur menjadi pelajaran sangat mahal. Sebuah
persoalan bisa menjadi isu global kalau memiliki kedalaman (keluasan) dampak,
menjadi objek liputan media massa, dan pada gilirannya menjadi perhatian
pembuat kebijakan (White:1988).
Pertama; dari sisi kedalaman (keluasan) dampak, persoalan
Papua berisiko menjadi isu global karena berkaitan dengan hal yang kini diakui
sebagai bagian dari nilai bersama masyarakat global, yaitu isu kesejahteraan
ekonomi dan HAM. Banyak pandangan menyebut bahwa sebenarnya masalah OPM berakar
dari ketidakadilan distribusi ekonomi.
Papua memiliki kekayaan sumber daya alam tapi rakyat di wilayah itu masih tetap
miskin.
Karena itu, baik kebijakan di Jakarta maupun elite politik,
termasuk pemuka adat Papua, harus serius menangani persoalan tersebut. Relasi
ekonomi-politik antara elite di Jakarta, Papua, dan berbagai perusahaan asing
di provinsi itu misalnya, harus benar-benar bisa menjamin kesejahteraan
masyarakat Papua. Harus ada terobosan politik ''diplomasi di rumah'' untuk
mengakhiri kemiskinan masyarakat, sekaligus mengikis kesenjangan.
Dalam konteks HAM, kita berada di dunia yang saling
terhubung dan di tengah jiwa zaman yang sangat mengagungkan prinsip
kemanusiaan, sehingga penghargaan HAM mutlak dilaksanakan, termasuk dalam
penanganan persoalan gangguan keamanan dan ketertiban. Tanpa itu, sama artinya
dengan menyodorkan umpan bagi pihak yang ingin mendiskreditkan kita. Keberanian
kita menyelidiki dan mengadili dugaan pelanggaran HAM justru memberi
nilai positif di dalam dan luar negeri.
Kita juga harus mengingat bahwa diplomasi sejak era
reformasi difokuskan pada pemulihan citra nasional, termasuk dalam konteks
menunjukkan diri sebagai bangsa yang menghormati HAM. Karena itu, capaian yang
sudah kita raih dari berbagai pengakuan dan penghargaan internasional harus
dipertahankan.
Kedua; dari sisi perhatian media massa dan para pembuat
kebijakan. kita juga harus ekstrahati-hati. Sejak awal era reformasi, Presiden
(waktu itu) Abdurrahman Wahid berkali-kali menegaskan bahwa pemanfaatan 23 dari
40 hari pertama masa pemerintahannya untuk kunjungan ke luar negeri adalah dalam
rangka preventive diplomacy. Gus Dur
ingin mendapat menjamin bahwa para negara sahabat memiliki sikap politik yang
tegas mendukung kedaulatan NKRI di tengah ancaman disintegrasi yang kala itu
berkembang. Salah satu prioritas politik luar negeri kita pada era reformasi
adalah memelihara keutuhan wilayah nasional.
Mengikis
Propaganda
Adanya perhatian pembuat kebijakan dunia juga terbukti,
misalnya ketika pada 29 Juli 2008, Kongres Amerika Serikat (AS) menyurati
Presiden SBY, meminta dua anggota OPM, Filep Karma dan Yusak Pakage,
dibebaskan. Dalam konteks kotemporer, kita perlu khawatir melihat kehadiran
sejumlah orang penting pada pembukaan kantor perwakilan OPM di Oxford, seperti
anggota parlemen Inggris Andrew Smith, Wali Kota Oxford Moh Niaz Abbasi, dan
mantan wali kota Elise Benjamin.
Selain itu, Koordinator Free West Papua Campaign (FWCP)
Benny Wenda, beberapa pemain rugby Papua New Guinea, kelompok pengacara
internasional untuk Papua Barat, mahasiswa Universitas Oxford, warga Papua di
Belanda, dan pendukung Papua Merdeka di Inggris.
Apalagi, kalau kita mencermati pernyataan perwakilan Komisi
HAM PBB Navi Pilay bahwa masih ada keprihatinan beberapa dugaan pelanggaran HAM
di Papua. Keprihatinan ini juga disuarakan Dubes Inggris di Jakarta yang
meskipun mengakui kedaulatan NKRI, pada saat yang sama Canning mengingatkan
kita atas sejumlah kasus pelanggaran HAM di Papua.
Selagi para negara sahabat berada pada sikap politik
mendukung kedaulatan NKRI, diplomasi at
home dengan menyejahterakan rakyat Papua, serta menjamin keamanan dan
ketertiban hukum dalam bingkai penghargaan HAM, menjadi langkah minimal yang
mutlak perlu. Pada tataran lanjut, diplomasi total oleh semua komponen bangsa
untuk mendudukkan isu Papua secara adil dalam bingkai NKRI juga harus dilakukan
demi mengikis propaganda negatif yang terlanjur berkembang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar