Rabu, 08 Mei 2013

Diplomasi atas Manuver OPM


Diplomasi atas Manuver OPM
Andi Purwono Lektor Kepala Hubungan Internasional dan Dekan FISIP Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang
SUARA MERDEKA, 07 Mei 2013


"Diplomasi total untuk mendudukkan isu Papua secara adil harus dilakukan demi mengikis propaganda negatif"

ORGANISASI Papua Merdeka (OPM) pada akhir April membuka kantor perwakilan internasional di Oxford Inggris. Pemerintah RI telah menyampaikan nota protes dan pemerintah Inggris melalui duta besarnya di Jakarta, Mark Canning menyebut sikap Dewan Kota Oxford tak mencerminkan sikap resmi pemerintah Inggris, yang tetap menghargai Papua sebagai bagian dari NKRI.

Perspektif realisme politik internasional mengajarkan kita untuk selalu fokus dan konsentrasi pada isu keamanan nasional, termasuk sektor penjagaan wilayah kedaulatan (Martin Griffith: 2002). Dalam konteks itu maka fakta bahwa Dewan Kota Oxford merestui dan memfasilitasi kantor perwakilan OPM mesti dipahami sebagai ''lampu kuning'' bagi kita. Ini adalah bukti kali kesekian dari upaya terus-menerus OPM untuk menginternasionalkan isu Papua, sekaligus bukti propaganda mereka mulai mendapat sambutan.

Selain gangguan keamanan seperti berbagai kasus penembakan dan penyerangan terhadap prajurit TNI, OPM sejak lama memang terus melakukan berbagai manuver politik. Jika sudah menjadi isu internasional, perjuangan kita bertambah berat. Kasus Timor Timur menjadi pelajaran  sangat mahal. Sebuah persoalan bisa menjadi isu global kalau memiliki kedalaman (keluasan) dampak, menjadi objek liputan media massa, dan pada gilirannya menjadi perhatian pembuat kebijakan (White:1988).

Pertama; dari sisi kedalaman (keluasan) dampak, persoalan Papua berisiko menjadi isu global karena berkaitan dengan hal yang kini diakui sebagai bagian dari nilai bersama masyarakat global, yaitu isu kesejahteraan ekonomi dan HAM. Banyak pandangan menyebut bahwa sebenarnya masalah OPM berakar dari ketidakadilan distribusi ekonomi. Papua memiliki kekayaan sumber daya alam tapi rakyat di wilayah itu masih tetap miskin.

Karena itu, baik kebijakan di Jakarta maupun elite politik, termasuk pemuka adat Papua, harus serius menangani persoalan tersebut. Relasi ekonomi-politik antara elite di Jakarta, Papua, dan berbagai perusahaan asing di provinsi itu misalnya, harus benar-benar bisa menjamin kesejahteraan masyarakat Papua. Harus ada terobosan politik ''diplomasi di rumah'' untuk mengakhiri kemiskinan masyarakat, sekaligus mengikis  kesenjangan.

Dalam konteks HAM, kita berada di dunia yang saling terhubung dan di tengah jiwa zaman yang sangat mengagungkan prinsip kemanusiaan, sehingga penghargaan HAM mutlak dilaksanakan, termasuk dalam penanganan persoalan gangguan keamanan dan ketertiban. Tanpa itu, sama artinya dengan menyodorkan umpan bagi pihak yang ingin mendiskreditkan kita. Keberanian kita menyelidiki dan mengadili dugaan pelanggaran HAM  justru memberi nilai positif di dalam dan luar negeri.

Kita juga harus mengingat bahwa diplomasi sejak era reformasi difokuskan pada pemulihan citra nasional, termasuk dalam konteks menunjukkan diri sebagai bangsa yang menghormati HAM. Karena itu, capaian yang sudah kita raih dari berbagai pengakuan dan penghargaan internasional harus dipertahankan.

Kedua; dari sisi perhatian media massa dan para pembuat kebijakan. kita juga harus ekstrahati-hati. Sejak awal era reformasi, Presiden (waktu itu) Abdurrahman Wahid berkali-kali menegaskan bahwa pemanfaatan 23 dari 40 hari pertama masa pemerintahannya untuk kunjungan ke luar negeri adalah dalam rangka preventive diplomacy. Gus Dur ingin mendapat menjamin bahwa para negara sahabat memiliki sikap politik yang tegas mendukung kedaulatan NKRI di tengah ancaman disintegrasi yang kala itu berkembang. Salah satu prioritas politik luar negeri kita pada era reformasi adalah memelihara keutuhan wilayah nasional.

Mengikis Propaganda

Adanya perhatian pembuat kebijakan dunia juga terbukti, misalnya ketika pada 29 Juli 2008, Kongres Amerika Serikat (AS) menyurati Presiden SBY, meminta dua anggota OPM, Filep Karma dan Yusak Pakage, dibebaskan. Dalam konteks kotemporer, kita perlu khawatir melihat kehadiran sejumlah orang penting pada pembukaan kantor perwakilan OPM di Oxford, seperti anggota parlemen Inggris Andrew Smith, Wali Kota Oxford Moh Niaz Abbasi, dan mantan wali kota Elise Benjamin.

Selain itu, Koordinator Free West Papua Campaign (FWCP) Benny Wenda, beberapa pemain rugby Papua New Guinea, kelompok pengacara internasional untuk Papua Barat, mahasiswa Universitas Oxford, warga Papua di Belanda, dan pendukung Papua Merdeka di Inggris.

Apalagi, kalau kita mencermati pernyataan perwakilan Komisi HAM PBB Navi Pilay bahwa masih ada keprihatinan beberapa dugaan pelanggaran HAM di Papua. Keprihatinan ini juga disuarakan Dubes Inggris di Jakarta yang meskipun mengakui kedaulatan NKRI, pada saat yang sama Canning mengingatkan kita atas sejumlah kasus pelanggaran HAM di Papua.

Selagi para negara sahabat berada pada sikap politik mendukung kedaulatan NKRI, diplomasi at home dengan menyejahterakan rakyat Papua, serta menjamin keamanan dan ketertiban hukum dalam bingkai penghargaan HAM, menjadi langkah minimal yang mutlak perlu. Pada tataran lanjut, diplomasi total oleh semua komponen bangsa untuk mendudukkan isu Papua secara adil dalam bingkai NKRI juga harus dilakukan demi mengikis propaganda negatif yang terlanjur berkembang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar