Sabtu, 04 Mei 2013

Pendidikan (Agama) Gagal


Pendidikan (Agama) Gagal
Salahuddin Wahid ;  Pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang
SUARA KARYA, 03 Mei 2013


Berbagai peristiwa seperti maraknya kriminalitas, baik kuantitas maupun kualitas, kerusuhan horizontal dan vertikal di tengah masyarakat, gampangnya orang bunuh diri, hingga merajalelanya korupsi seakan-akan mengisyaratkan pendidikan dalam arti luas dan pendidikan agama khususnya, telah gagal mendasari kehidupan masyarakat. Bukankah rasa kebersamaan dan solidaritas juga makin sirna?

Orangtua, masyarakat, keluarga, tokoh agama, dan aparat pemerintah tidak mengajarkan agama seluas-luasnya sehingga solidaritas antarumat beragama tidak terjalin. Akibatnya, sektarianisme pun masih terjadi. Misalnya, apabila rumah ibadah tertentu dirusak massa, umat agama lain merasa bahwa itu bukan urusan mereka. Padahal, hal itu adalah urusan bersama.

Sebagai renungan, boleh dikatakan bahwa pendidikan semua agama di Indonesia sampai pada batas tertentu telah gagal. Pendidikan bertugas memperkenalkan nilai-nilai agama kepada anak didik, tetapi proses internalisasi yang menjadikan nilai itu dihayati dan dipegang dalam kehidupan, tidak berjalan seperti yang kita harapkan.

Rendahnya etika jabatan aparat penegak hukum, juga menunjukkan rendahnya mutu pembentukan karakter dan akhlak dalam pendidikan kedinasan lembaga penegak hukum. Perilaku banyak pengacara yang terlibat perdagangan perkara dalam proses peradilan kita, menunjukkan banyak universitas terkemuka juga gagal membentuk karakter anak bangsa.

Salah satu unsur utama dari akhlak atau karakter ialah kejujuran. Dan, kita harus berani mengakui bahwa kejujuran adalah sesuatu yang kian langka. Ada yang terpaksa tidak jujur. Misalnya, guru membantu siswa mengerjakan soal ujian nasional (UN). Kalau si guru tidak membantu murid, angka kelulusan sekolahnya (swasta) akan rendah. Akibatnya, sekolah itu akan tutup.

Sekolah yang mutu gurunya tinggi (biasanya mahal), bisa melarang siswa menyontek dan menindak guru yang membiarkan penyontekan. Ada seorang kepala sekolah yang menyatakan bahwa di sekolahnya dalam ulangan tidak ada guru yang mengawasi, karena kalau ada siswa yang nyontek akan ada siswa lain yang melaporkannya.

Di sekolah itu ada kantin yang tidak ada penjaganya. Semua siswa mengambil makanan/minuman lalu membayar dan mengambil sendiri uang kembalinya. "Kantin kejujuran" dan ulangan tanpa diawasi seperti itu akan sangat bermanfaat dalam menanamkan kejujuran ke dalam diri siswa.

Kita perlu mendorong dua latihan kejujuran yang dilakukan oleh sekolah, tetapi jangan latah. Di Jawa Timur lebih dari 200 sekolah mencoba melakukannya dalam waktu singkat. Namun, dikhawatirkan, hal itu dipaksakan sehingga menjadi massal tanpa melihat kelayakan dari program yang baik itu. Kita harus berhati-hati bertindak supaya masyarakat tidak kehilangan kepercayaan terhadap suatu program yang mulia.

Ada tulisan seorang guru sekolah Katolik tentang pengalaman mendidik soal kejujuran kepada muridnya. Dia bicara tentang pentingnya kejujuran karena sikap jujur akan menjadikan orang beruntung. Para muridnya membantah pendapat guru itu dan berkilah bahwa kenyataan menunjukkan bahwa orang yang jujur akan buntung, tidak untung. Jadi, pengalaman di dalam masyarakat mendidik kita untuk tidak jujur dan tidak saling percaya.

Agama, khususnya keislaman kita, lebih pada urusan legal formalistik ketimbang pada pemikiran dan akhlak. Bahwa agama adalah akhlak dan puncak keberagamaan seseorang bukan dinilai dari ibadah atau akhlak. Bukan artinya akidah tidak penting, tetapi mengukur kuat-tidaknya akidah seseorang harus dari akhlak. Kalau orang keras dalam ber-Islam, tapi masih menenggang korupsi, pasti akidahnya tidak benar. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar