|
SUARA
KARYA, 03 Mei 2013
Berbagai peristiwa seperti
maraknya kriminalitas, baik kuantitas maupun kualitas, kerusuhan horizontal dan
vertikal di tengah masyarakat, gampangnya orang bunuh diri, hingga
merajalelanya korupsi seakan-akan mengisyaratkan pendidikan dalam arti luas dan
pendidikan agama khususnya, telah gagal mendasari kehidupan masyarakat.
Bukankah rasa kebersamaan dan solidaritas juga makin sirna?
Orangtua, masyarakat, keluarga,
tokoh agama, dan aparat pemerintah tidak mengajarkan agama seluas-luasnya
sehingga solidaritas antarumat beragama tidak terjalin. Akibatnya, sektarianisme
pun masih terjadi. Misalnya, apabila rumah ibadah tertentu dirusak massa, umat
agama lain merasa bahwa itu bukan urusan mereka. Padahal, hal itu adalah urusan
bersama.
Sebagai renungan, boleh dikatakan
bahwa pendidikan semua agama di Indonesia sampai pada batas tertentu telah
gagal. Pendidikan bertugas memperkenalkan nilai-nilai agama kepada anak didik,
tetapi proses internalisasi yang menjadikan nilai itu dihayati dan dipegang
dalam kehidupan, tidak berjalan seperti yang kita harapkan.
Rendahnya etika jabatan aparat
penegak hukum, juga menunjukkan rendahnya mutu pembentukan karakter dan akhlak
dalam pendidikan kedinasan lembaga penegak hukum. Perilaku banyak pengacara
yang terlibat perdagangan perkara dalam proses peradilan kita, menunjukkan banyak
universitas terkemuka juga gagal membentuk karakter anak bangsa.
Salah satu unsur utama dari akhlak
atau karakter ialah kejujuran. Dan, kita harus berani mengakui bahwa kejujuran
adalah sesuatu yang kian langka. Ada yang terpaksa tidak jujur. Misalnya, guru
membantu siswa mengerjakan soal ujian nasional (UN). Kalau si guru tidak
membantu murid, angka kelulusan sekolahnya (swasta) akan rendah. Akibatnya,
sekolah itu akan tutup.
Sekolah yang mutu gurunya tinggi
(biasanya mahal), bisa melarang siswa menyontek dan menindak guru yang
membiarkan penyontekan. Ada seorang kepala sekolah yang menyatakan bahwa di
sekolahnya dalam ulangan tidak ada guru yang mengawasi, karena kalau ada siswa
yang nyontek akan ada siswa lain yang melaporkannya.
Di sekolah itu ada kantin yang
tidak ada penjaganya. Semua siswa mengambil makanan/minuman lalu membayar dan
mengambil sendiri uang kembalinya. "Kantin kejujuran" dan ulangan
tanpa diawasi seperti itu akan sangat bermanfaat dalam menanamkan kejujuran ke
dalam diri siswa.
Kita perlu mendorong dua latihan
kejujuran yang dilakukan oleh sekolah, tetapi jangan latah. Di Jawa Timur lebih
dari 200 sekolah mencoba melakukannya dalam waktu singkat. Namun,
dikhawatirkan, hal itu dipaksakan sehingga menjadi massal tanpa melihat
kelayakan dari program yang baik itu. Kita harus berhati-hati bertindak supaya
masyarakat tidak kehilangan kepercayaan terhadap suatu program yang mulia.
Ada tulisan seorang guru sekolah
Katolik tentang pengalaman mendidik soal kejujuran kepada muridnya. Dia bicara
tentang pentingnya kejujuran karena sikap jujur akan menjadikan orang
beruntung. Para muridnya membantah pendapat guru itu dan berkilah bahwa
kenyataan menunjukkan bahwa orang yang jujur akan buntung, tidak untung. Jadi,
pengalaman di dalam masyarakat mendidik kita untuk tidak jujur dan tidak saling
percaya.
Agama, khususnya keislaman kita,
lebih pada urusan legal formalistik ketimbang pada pemikiran dan akhlak. Bahwa
agama adalah akhlak dan puncak keberagamaan seseorang bukan dinilai dari ibadah
atau akhlak. Bukan artinya akidah tidak penting, tetapi mengukur kuat-tidaknya
akidah seseorang harus dari akhlak. Kalau orang keras dalam ber-Islam, tapi
masih menenggang korupsi, pasti akidahnya tidak benar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar