|
SUARA
KARYA, 03 Mei 2013
Sadar atau
tidak, bangsa kita saat ini mulai mengingkari kebhinekaan. Hidup tidak lagi
sesuai dengan nilai-nilai budaya dan cita-cita mulia kehidupan berbangsa
seperti yang digariskan para pendiri bangsa. Hati nurani tidak dipergunakan,
perilaku tidak dipertanggungjawabkan kepada Tuhan dan sesama.
Yang lebih menyedihkan lagi:
moral, sikap dan perilaku lebih dikendalikan oleh emosi dan perkara-perkara
yang menarik indera dan menguntungkan sejauh perhitungan materi, uang dan
kedudukan di tengah masyarakat. Dalam kehidupan bersama, terutama kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bangsa kita menjadi egoistik, konsumeristik
dan materialistik. Untuk memperoleh jabatan, orang sampai hati mengorbankan
kepentingan orang lain, sehingga martabat menusia diabaikan.
Bertolak dari kecenderungan
tersebut, maka Indonesia sejak memasuki masa reformasi, belum pernah atau
hampir selalu gagal memiliki pemerintahan yang bersih dan baik. Keadilan dan
hukum tidak dapat ditegakkan, korupsi merajalela. Semua itu membuat orang
menjadi rakus, yang akan mengancam kehidupan masyarakat.
Bisa saja kita menyalahkan
masa-masa sebelumnya yang menjadi dasar kebobrokan. Tetapi, juga perlu disadari
bahwa kita tidak berjuang untuk melepaskan diri dari kebobrokan itu tetapi
justru ikut merusak dengan cara lain. Dengan reformasi negeri ini akan kita
bangun, namun kenyataannya reformasi justru menjadi sebuah arena perebutan
kepentingan pribadi atau golongan dan bukan sebuah alat untuk memperbaiki
secara total sistem lalu. Para pemimpin negeri ini kurang peduli lagi terhadap
keadilan, sebab kepentingan pribadi dan golongan lebih menonjol.
Tujuan negara hendaknya tidak
hanya dipahami dari sudut perkembangan objektif semata, tetapi juga dalam ruang
politik pembentukan negeri ini dan kebutuhan survival sebuah negara baru dalam
pergaulan internasional. Tidak dimungkiri, saat terbentuk negara bernama
Indonesia, konteks sejarah saat itu menunjukkan beragamnya pikiran dan ideologi
manusia Indonesia yang mengambil inspirasi dari gagasan-gagasan religius atau
sekuler.
Pada saat ini, nuansa seperti itu
mengalami suatu erosi integrasi. Dalam sebuah negara, seperti Indonesia, yang
terdiri dari ribuan pulau, ratusan suku bangsa, dan mungkin ribuan dialek,
masalah integrasi dan disintegrasi yang terkandung di dalamnya merupakan
tuntutan dan kemestian yang tiada hentinya.
Perjuangan pribadi atau kelompok
politik yang masing-masing berjuang atas nama rakyat, pada dasarnya adalah
murni persoalan yang berorientasi pada kepentingan masing-masing. Karena itu,
tidak mengherankan kalau rakyat menilai banyak elite masyarakat maupun elite
politik tidak mau berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara. Amat sulit
menemukan pemimpin yang layak dijadikan panutan, diteladani dan diamini tiap
kata-katanya, pemimpin yang mampu berpikir besar dengan langkah-langkah besar
demi bangsa dan negara.
Di sisi lain, perkembangan situasi
tatanan kehidupan masyarakat Indonesia akhir-akhir ini berubah sangat cepat
sehingga mudah mengendorkan rasa persatuan dan kesatuan. Masalah-masalah yang
berkaitan dengan rasa persaudaraan semakin terkikis, tetapi egoisme golongan
semakin mencuat. Banyak kebijakan-kebijakan yang diambil berdasar kepentingan
golongan, akibatnya rasa keadilan semakin terpinggirkan. Kondisi ini
menyebabkan sensitifnya sikap-sikap terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat
dan berbangsa.
Perubahan dan perkembangan ini
tidak saja memperhebat ancaman disintegrasi masyarakat, yang pada gilirannya
akan semakin membingungkan lapisan masyarakat yang ingin memahami arah
perkembangan negeri ini sebagai rumah bersama. Kondisi seperti itu banyak
berpengaruh terhadap dirinya sebagai individu tetapi juga sebagai warga negara.
Kita sadari pula bahwa bangsa kita
terlalu cepat melompat ke demokrasi modern, sehingga seolah-olah sudah
kehabisan tenaga. Kondisi yang terpola dalam waktu kurang lebih tiga dasawarsa
dalam kungkungan realitas semu, merupakan kendala yang begitu berat bagi bangsa
kita, baik sebagai individu maupun warga negara, untuk beranjak ke pemikiran
masa depan.
Model kepemimpinan, sharing
sosial, politik dan tentu saja ekonomi tampak jelas bahwa banyak orang baru
berada dalam tahap demokrasi dini. Masing-masing individu masih memberi
penilaian moral atas dasar kepentingan egoisnya sendiri. Yang baik adalah yang
menyenangkan dan menguntungkan dirinya sendiri, sedangkan yang buruk adalah
yang kurang enak. Sehingga, praktik monopoli dan skandal-skandal korupsi pun
merebak hingga menjadi pekerjaan rumah yang nyaris tak terselesaikan pemerintah
atau mungkin akan terbengkelai.
Dengan kondisi yang masih
memprihatinkan itu, apakah proses demokrasi bisa mempengaruhi pola pikir bangsa
ini menuju ke masyarakat baru Indonesia yang menyejukkan atau sebaliknya?
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sepercik masalah yang menyangkut
kepentingan golongannya akan bisa mengobarkan gerakan-gerakan yang sulit
dikendalikan seperti yang terjadi di beberapa tempat, akhir-akhir ini.
Bertolak dari kondisi-kondisi
tersebut, jelaslah bahwa kesadaran Indonesia sebagai rumah bersama, diharapkan
bisa memupuk persaudaraan sejati. Adalah benar, korupsi harus diberantas,
disiplin nasional ditegakkan dan moral bangsa diperbaiki. Hal itu akan bisa
diwujudkan jika keadilan bisa ditegakkan tanpa harus memandang perbedaan dan
latar belakang.
Bagaimanapun tetap tegaknya negeri
ini harus ditopang oleh kebhinekaan. Tanpa kebhinekaan, Indonesia akan runtuh.
Berdirinya negeri ini, karena para pendiri negara menerima perbedaan sebagai
fakta dan menghormatinya. Indonesia bukan rumah pribadi atau golongan, tetapi
rumah bersama. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar