Sabtu, 04 Mei 2013

Indonesia Rumah Bersama


Indonesia Rumah Bersama
A Kardiyat Wiharyanto ;  Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
SUARA KARYA, 03 Mei 2013

  
Sadar atau tidak, bangsa kita saat ini mulai mengingkari kebhinekaan. Hidup tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai budaya dan cita-cita mulia kehidupan berbangsa seperti yang digariskan para pendiri bangsa. Hati nurani tidak dipergunakan, perilaku tidak dipertanggungjawabkan kepada Tuhan dan sesama.

Yang lebih menyedihkan lagi: moral, sikap dan perilaku lebih dikendalikan oleh emosi dan perkara-perkara yang menarik indera dan menguntungkan sejauh perhitungan materi, uang dan kedudukan di tengah masyarakat. Dalam kehidupan bersama, terutama kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bangsa kita menjadi egoistik, konsumeristik dan materialistik. Untuk memperoleh jabatan, orang sampai hati mengorbankan kepentingan orang lain, sehingga martabat menusia diabaikan.

Bertolak dari kecenderungan tersebut, maka Indonesia sejak memasuki masa reformasi, belum pernah atau hampir selalu gagal memiliki pemerintahan yang bersih dan baik. Keadilan dan hukum tidak dapat ditegakkan, korupsi merajalela. Semua itu membuat orang menjadi rakus, yang akan mengancam kehidupan masyarakat.

Bisa saja kita menyalahkan masa-masa sebelumnya yang menjadi dasar kebobrokan. Tetapi, juga perlu disadari bahwa kita tidak berjuang untuk melepaskan diri dari kebobrokan itu tetapi justru ikut merusak dengan cara lain. Dengan reformasi negeri ini akan kita bangun, namun kenyataannya reformasi justru menjadi sebuah arena perebutan kepentingan pribadi atau golongan dan bukan sebuah alat untuk memperbaiki secara total sistem lalu. Para pemimpin negeri ini kurang peduli lagi terhadap keadilan, sebab kepentingan pribadi dan golongan lebih menonjol.

Tujuan negara hendaknya tidak hanya dipahami dari sudut perkembangan objektif semata, tetapi juga dalam ruang politik pembentukan negeri ini dan kebutuhan survival sebuah negara baru dalam pergaulan internasional. Tidak dimungkiri, saat terbentuk negara bernama Indonesia, konteks sejarah saat itu menunjukkan beragamnya pikiran dan ideologi manusia Indonesia yang mengambil inspirasi dari gagasan-gagasan religius atau sekuler.

Pada saat ini, nuansa seperti itu mengalami suatu erosi integrasi. Dalam sebuah negara, seperti Indonesia, yang terdiri dari ribuan pulau, ratusan suku bangsa, dan mungkin ribuan dialek, masalah integrasi dan disintegrasi yang terkandung di dalamnya merupakan tuntutan dan kemestian yang tiada hentinya.

Perjuangan pribadi atau kelompok politik yang masing-masing berjuang atas nama rakyat, pada dasarnya adalah murni persoalan yang berorientasi pada kepentingan masing-masing. Karena itu, tidak mengherankan kalau rakyat menilai banyak elite masyarakat maupun elite politik tidak mau berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara. Amat sulit menemukan pemimpin yang layak dijadikan panutan, diteladani dan diamini tiap kata-katanya, pemimpin yang mampu berpikir besar dengan langkah-langkah besar demi bangsa dan negara.

Di sisi lain, perkembangan situasi tatanan kehidupan masyarakat Indonesia akhir-akhir ini berubah sangat cepat sehingga mudah mengendorkan rasa persatuan dan kesatuan. Masalah-masalah yang berkaitan dengan rasa persaudaraan semakin terkikis, tetapi egoisme golongan semakin mencuat. Banyak kebijakan-kebijakan yang diambil berdasar kepentingan golongan, akibatnya rasa keadilan semakin terpinggirkan. Kondisi ini menyebabkan sensitifnya sikap-sikap terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat dan berbangsa.

Perubahan dan perkembangan ini tidak saja memperhebat ancaman disintegrasi masyarakat, yang pada gilirannya akan semakin membingungkan lapisan masyarakat yang ingin memahami arah perkembangan negeri ini sebagai rumah bersama. Kondisi seperti itu banyak berpengaruh terhadap dirinya sebagai individu tetapi juga sebagai warga negara.

Kita sadari pula bahwa bangsa kita terlalu cepat melompat ke demokrasi modern, sehingga seolah-olah sudah kehabisan tenaga. Kondisi yang terpola dalam waktu kurang lebih tiga dasawarsa dalam kungkungan realitas semu, merupakan kendala yang begitu berat bagi bangsa kita, baik sebagai individu maupun warga negara, untuk beranjak ke pemikiran masa depan.

Model kepemimpinan, sharing sosial, politik dan tentu saja ekonomi tampak jelas bahwa banyak orang baru berada dalam tahap demokrasi dini. Masing-masing individu masih memberi penilaian moral atas dasar kepentingan egoisnya sendiri. Yang baik adalah yang menyenangkan dan menguntungkan dirinya sendiri, sedangkan yang buruk adalah yang kurang enak. Sehingga, praktik monopoli dan skandal-skandal korupsi pun merebak hingga menjadi pekerjaan rumah yang nyaris tak terselesaikan pemerintah atau mungkin akan terbengkelai.

Dengan kondisi yang masih memprihatinkan itu, apakah proses demokrasi bisa mempengaruhi pola pikir bangsa ini menuju ke masyarakat baru Indonesia yang menyejukkan atau sebaliknya? Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sepercik masalah yang menyangkut kepentingan golongannya akan bisa mengobarkan gerakan-gerakan yang sulit dikendalikan seperti yang terjadi di beberapa tempat, akhir-akhir ini.

Bertolak dari kondisi-kondisi tersebut, jelaslah bahwa kesadaran Indonesia sebagai rumah bersama, diharapkan bisa memupuk persaudaraan sejati. Adalah benar, korupsi harus diberantas, disiplin nasional ditegakkan dan moral bangsa diperbaiki. Hal itu akan bisa diwujudkan jika keadilan bisa ditegakkan tanpa harus memandang perbedaan dan latar belakang.

Bagaimanapun tetap tegaknya negeri ini harus ditopang oleh kebhinekaan. Tanpa kebhinekaan, Indonesia akan runtuh. Berdirinya negeri ini, karena para pendiri negara menerima perbedaan sebagai fakta dan menghormatinya. Indonesia bukan rumah pribadi atau golongan, tetapi rumah bersama. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar