|
KOMPAS, 06 Mei 2013
Tanggal
1 Mei 2013, Papua genap 50 tahun bergabung dalam NKRI. Adakah maknanya bagi
rakyat Papua sebagai bagian dari bangsa Indonesia?
Pendeta
Dr Martin Luther King Jr mengatakan, ”Saya
bermimpi suatu saat nanti keempat anak saya tumbuh dan berinteraksi dalam
bangsa yang tidak menilai mereka dari warna kulit, tetapi dari kepribadiannya.”
Pidato
di tangga Lincoln Memorial di Washington itu, 28 Agustus 1963, menyerukan
kesetaraan dan diakhirinya diskriminasi. Mimpi terwujud 50 tahun kemudian
ketika Barrack Obama, seorang kulit hitam, terpilih menjadi Presiden AS.
Mengapa
Indonesia tidak berhasil mengindonesiakan orang Papua dalam kurun yang sama?
Padahal, bersama wilayah Nusantara lainnya, Papua memiliki sejarah, penjajah,
dan posisi geografis yang sama; dengan cita-cita yang sama pula: merdeka, adil,
makmur, dan bebas dari penindasan.
Hakikat
Bangsa
Filsuf
Perancis, Ernest Renan (1882), berpendapat, adanya suatu bangsa karena mereka
memiliki pengalaman dan latar belakang historis yang sama, memiliki keinginan
hidup bersama dalam kesetiakawanan luhur.
Ilmuwan
Jerman, Otto Bauer (1907), mengatakan bahwa bangsa itu terbentuk oleh
sekelompok manusia dengan persamaan karakter yang tumbuh karena persamaan
nasib.
Bangsa
Indonesia yang terdiri dari beragam suku dan budaya memiliki persamaan sejarah
dan cita-cita untuk hidup bersama dalam satu Tanah Air karena pertalian erat
masa lalu: penderitaan 3,5 abad penjajahan.
Dalam
perjalanan negara dan bangsa Indonesia, Reformasi 1998 menyuburkan berbagai
tuntutan daerah agar lebih sejahtera di bawah NKRI. Lahir Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Sayang, langkah tepat
pemerintah ini gagal karena pelaksanaannya tidak konsisten.
Pasal
45 tentang penegakan HAM, misalnya, mengamanatkan pembentukan perwakilan Komisi
Nasional HAM, pengadilan HAM, serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Namun,
sudah lebih dari satu dasawarsa belum juga terbentuk.
Harapan
agar otonomi khusus membuat pembangunan di Papua berjalan sesuai kondisi
ekonomi serta sosial dan budaya rakyat Papua sirna. Masih banyak kemiskinan,
kebodohan, kesehatan yang buruk, ketidakadilan, dan trauma akibat kekerasan
(K5). Bahkan, di antara mereka tersandera stigma separatisme.
Maka,
negara harus menghilangkan rasa takut, khususnya pada rakyat Papua, agar
kontrak sosial kebangsaan yang kita sepakati bersama menuju format Indonesia
Baru yang lebih demokratis, lebih adil, dan taat hukum dapat terwujud.
Mengutip
Benedict Anderson (1991), bangsa adalah suatu komunitas politis yang anggotanya
tidak saling mengenal. Namun, dalam benak setiap orang, terpatri bayangan
tentang kebersamaan yang dipahami sebagai suatu kesetiakawanan yang luas.
Melawan
K5
Komitmen
di Papua dewasa ini adalah melawan K5 secara damai, melalui dialog antara
Jakarta-Papua. Penulis berharap keinginan rakyat Papua merajut Papua tanah
damai melalui dialog nasional diterima semua pihak sebagai solusi bermartabat.
Kita
tidak boleh lupa, banyak orang Papua ikut berjuang membebaskan Papua dari
penjajahan Belanda, seperti Silas Papare, Martin Indey, dan Frans Kaisiepo.
Alangkah ironisnya melihat anak-anak dan cucu-cucu para pejuang Merah Putih,
yang lahir setelah Pepera (1969), dengan suara lantang melawan pemerintah.
Mengapa?
Karena negara gagal mengindonesiakan orang Papua dari sejak awal integrasi dan
selama 50
tahun kebersamaan. Pendekatannya hanya NKRI ”harga mati”, tidak
pernah ada pendekatan humanis untuk merebut ”hati” dan ”pikiran” orang Papua.
Menurut penulis, hakikat kebangsaan Indonesia adalah menyatunya hati dan
pikiran sebagai warga negara yang dihormati dan dihargai dalam NKRI. Oleh
karena itu, perspektif Jakarta yang selalu melihat Papua dengan penuh
kecurigaan harus diganti dengan kepercayaan.
Harga
Hidup
Kita
kobarkan slogan NKRI ”harga hidup”, yang akan menjadi ”berkah hidup” bagi
rakyat Indonesia dari Merauke hingga Sabang. Pemerintah telah berhasil
menyelesaikan konflik Aceh melalui dialog damai dan kita yakini Papua juga
dapat diselesaikan melalui cara yang sama.
Cara-cara
selama ini, mengatasi konflik dengan menggelar operasi militer di Tanah Papua,
harus dihapus. Akibat operasi militer, banyak rakyat Papua menderita ataupun
dibunuh, termasuk meninggalnya Pemimpin Dewan Adat Papua Thijs Hiyo Eluai, 11
November 2001.
Betul
bahwa banyak ahli meyakini kedaulatan dan kepentingan negara sebagai harga
mati. Namun, tidak kurang pula ahli yang mengingatkan bahwa ada nilai-nilai
universal yang seharusnya dipatuhi, seperti pengakuan dan penghormatan terhadap
hak asasi manusia.
Kedaulatan
negara tidak absolut karena negara wajib melindungi dan menghormati hak asasi
rakyatnya. Dengan demikian, intervensi kemanusiaan bisa dibenarkan karena
bertujuan menjaga nilai-nilai universal kemanusiaan.
Indonesia
juga pernah mengirim pasukan perdamaian (Kontingen Garuda) ke beberapa negara
dalam rangka intervensi kemanusiaan seperti di Kosovo-Bosnia (1992-1995).
Konflik
Papua yang berkepanjangan, termasuk tudingan adanya penghapusan etnis di Papua,
telah memunculkan seruan perlunya kehadiran pihak-pihak luar meski sampai
sekarang tidak satu pun yang diizinkan masuk. Dari sisi kedaulatan negara,
tindakan ini sudah tepat. Masuknya pihak asing berarti campur tangan terhadap
isu internal. Namun, penolakan ini tidak bisa berlama-lama tanpa perbaikan
penanganan
HAM di Papua.
Els
Bogaerts dan Remco Raben (2007) menyatakan bahwa akar kekerasan yang ada di
Indonesia setelah 1945, adalah warisan kolonial Belanda untuk menghancurkan
orang Indonesia. Posisi Papua dalam konteks pernyataan di atas adalah bahwa
setelah Perjanjian New York (1962) dan penyatuan kembali pada 1 Mei 1963,
warisan kekerasan itu menjadi pola aparat keamanan Indonesia.
Kita
tidak sadar bahwa pola kekerasan kolonial itu telah menjadi budaya dalam sistem
kita, kita gunakan atas nama kedaulatan negara, mengabaikan HAM, dan akhirnya
menghancurkan rakyat Papua.
Warisan
Kolonial
Orang
Papua sering menggugat, ”Katanya kita bersaudara dan merdeka dari penjajahan,
tetapi apa bedanya Indonesia dengan Belanda jika cara-cara kekerasan yang sama
dipakai untuk menghancurkan bangsa sendiri.”
Hal
itu sungguh ironis dan sangat menyedihkan hati penulis sebagai putra Indonesia,
dengan orangtua dan kerabat yang ikut berjuang mengibarkan Sang Merah Putih di
Tanah Papua.
Profesor
Thoby Mutis (2008) mengatakan, ”Arti sebagai bangsa dan warga negara Indonesia
menjadi kabur manakala menjadi Indonesia dirasa hanya sebuah nama tanpa makna.”
Nilai-nilai
kebangsaan yang kita junjung tinggi: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika,
dan reformasi yang kita kobarkan dengan semangat demokrasi dan keadilan sirna
karena negara dan rezim pemerintah yang terus berganti tidak mampu melindungi
bangsanya.
Sekali
lagi, pemerintah harus keluar dari persepsi NKRI ”harga mati” dan mengubahnya
menjadi NKRI ”harga hidup”. Sebaliknya,
Papua juga harus keluar dari persepsi ”merdeka
harga mati”. Hanya dengan menghilangkan kedua persepsi itu, dialog damai
Jakarta-Papua bisa berhasil. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar