Senin, 06 Mei 2013

Mengecilnya Ruang Fiskal


Mengecilnya Ruang Fiskal
A Prasetyantoko ;  Pengamat Ekonomi dan Dosen di Unika Atma Jaya, Jakarta
KOMPAS, 06 Mei 2013


Tak penting lagi berapa kenaikan harga bahan bakar minyak dan seperti apa mekanismenya: satu atau dua harga. Hal lebih penting: telah terjadi ketegangan antara proses pengambilan keputusan yang begitu berlarut-larut dan ekspektasi serta respons antisipatif yang telanjur meluas dalam masyarakat.

Kecenderungan kenaikan harga, meningkatnya ekspektasi inflasi, terkatung-katungnya penyusunan rencana bisnis, hingga penemuan praktik penimbunan solar di banyak daerah menunjukkan betapa ketidakpastian itu telah menimbulkan biaya begitu mahal. Masyarakat kita cenderung oportunis, mulai dari lapisan atas hingga bawah. Perilaku pemburuan rente (rent seeking behavior) seolah hal yang lumrah, juga di kalangan petinggi negara.

Kebijakan terkait bahan bakar minyak (BBM) sudah kehilangan momentum. Secara teknis, kenaikan harga BBM idealnya diambil ketika siklus inflasi sedang turun, yaitu Maret-April atau September-Oktober. Pada bulan-bulan itu, umumnya terjadi deflasi. Fase deflasi pertama sudah lewat dan, jika menunggu fase berikutnya, masih terlalu lama.

Lembaga pemeringkat Standard & Poor’s (S&P) pun punya opini yang serupa. Selanjutnya, lembaga ini menurunkan proyeksi peringkat utang kita, dari positif menjadi stabil. Awalnya, kita sangat berharap S&P segera menyusul dua lembaga pemeringkat besar lainnya, yaitu Moody’s dan Fitch, yang telah terlebih dahulu memberikan predikat investment grade. Salah satu masalah yang disoroti S&P adalah ketidakmampuan pemerintah melakukan diskresi terhadap besaran subsidi. Padahal, secara politik, hal itu memungkinkan dan secara ekonomi mendukung. Dalam beberapa hal, penilaian lembaga pemeringkat tak memiliki relevansi terhadap kepentingan publik. Namun, kali ini, ada kesamaan ekspektasi antara investor dan kepentingan publik secara luas.

Dalam waktu bersamaan, S&P justru menaikkan peringkat utang Filipina dari BB+ menjadi BBB- sehingga menyandang predikat investment grade. Menyambut predikat itu, Pemerintah Filipina berniat melanjutkan secara progresif sejumlah proyek pembangunan infrastruktur dalam rangka menarik lebih banyak investor. Bahkan, Presiden Aquino meyakinkan bahwa negaranya akan memasuki fase pertumbuhan ekonomi tercepat. Bisa jadi, Filipina mencuri perhatian investor global sehingga Indonesia tak lagi menjadi tujuan utama investasi, baik langsung (foreign direct investment) maupun portofolio.

Kita memiliki begitu banyak potensi sekaligus kesempatan, tetapi gagal memanfaatkannya. Salah satu kendala pokok perekonomian kita hari ini adalah menyempitnya ruang fiskal, yang disebabkan tingginya anggaran subsidi BBM. Lonjakan konsumsi BBM yang terjadi seiring dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi tak lagi bisa dihindarkan. Sementara itu, harga minyak di pasar dunia cenderung terus meningkat. 

Akibatnya, anggaran subsidi terus membengkak. Jika hal itu dibiarkan, sulit mempertahankan asumsi defisit anggaran 2013 sebesar 1,65 persen terhadap produk domestik bruto. Sangat mungkin defisit anggaran pemerintah pusat tahun ini menjadi 2,3 persen. Jika ditambah dengan defisit pemerintah daerah yang dipatok sebesar 0,5 persen, akumulasi defisit akan mendekati batas maksimal yang diperbolehkan oleh undang-undang, yaitu sebesar 3 persen. Belum lagi jika konsumsi BBM ternyata melonjak dari pagu sebesar 46 juta kiloliter menjadi sekitar 53 juta kiloliter. Tanpa kebijakan yang progresif, bisa dipastikan defisit akan melebar melebihi 3 persen.

Alih-alih mampu melakukan ekspansi, anggaran kita justru berada pada posisi mengkhawatirkan. Padahal, kita sedang membutuhkan dorongan fiskal cukup besar untuk mempercepat peningkatan pasokan infrastruktur guna menopang upaya meningkatkan daya saing serta produktivitas ekonomi domestik. Tanpa ada ruang fiskal yang lebih besar, pada dasarnya kita akan kehilangan momentum yang lebih besar. Dengan demikian, ketidakmampuan melakukan diskresi dalam hal subsidi BBM jelas menimbulkan efek berantai yang panjang, hingga menyentuh konsekuensi yang begitu penting bagi masa depan bangsa.

Memang benar, besaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2014 akan naik cukup signifikan, dari Rp 1.650 triliun tahun ini menjadi Rp 1.870 triliun tahun depan. Artinya, ada tambahan besaran fiskal sebesar Rp 220 triliun. Namun, sama sekali tak benar ruang fiskal melebar secara signifikan. Ruang fiskal, per definisi, adalah peluang bagi pemerintah untuk mengalokasikan anggaran guna keperluan tertentu tanpa harus mengorbankan alokasi pos lainnya. Meningkatkan pembangunan infrastruktur dalam rangka meningkatkan daya saing tentu membutuhkan ruang fiskal yang besar sehingga mampu mendanai program-program pengembangan tanpa mengorbankan anggaran lain.

Benarkah ruang fiskal 2014 cukup lebar? Memang akan tersedia dana sekitar Rp 46 triliun untuk tambahan ekspansi. Namun, angka itu sama sekali tidak memadai untuk meningkatkan kapasitas infrastruktur di pelosok Nusantara. Belum lagi kebutuhan peningkatan infrastruktur nonfisik, seperti kesehatan, pendidikan dan perbaikan birokrasi. Sangat jelas, untuk peningkatan daya saing, perlu ruang fiskal yang lebih besar. Masalahnya, jika tahun ini kita gagal mengelola situasi, bisa jadi bukan ruang fiskal yang tersedia di tahun depan, melainkan justru tekanan fiskal yang lebih besar. Bukan fiscal space yang tersedia, melainkan justru fiscal fatigue (kondisi fiskal yang loyo) akibat kesalahan-kesalahan yang sebenarnya tak perlu.

Ibarat permainan tinju, perekonomian Indonesia saat ini seharusnya masuk dalam kategori kelas berat, tetapi faktanya hanya berani bertanding di kelas bulu yang paling ringan. Atau klub di liga nasional yang hanya berani tampil di pertandingan antarkampung. Dengan Filipina saja kita kedodoran, apalagi dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia. Padahal, kita bermimpi menjadi negara dengan perekonomian di peringkat ke-7 pada 2030.

Terhadap proyeksi tersebut, ada dua pilihan yang tersedia. Pertama, berhenti bekerja dan terus menceritakan proyeksi ke depan di mana-mana. Kedua, berhenti membicarakannya dan mulai bekerja untuk mempersiapkannya. Sayangnya, sebentar lagi banyak petinggi negara kita sibuk berkampanye menghadapi Pemilu 2014. Itu artinya mereka akan melakukan hal pertama ketimbang pilihan kedua. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar