|
KOMPAS,
04 Mei 2013
Pengantar
Perubahan Kurikulum 2006 menjadi Kurikulum 2013 disikapi berbeda oleh
berbagai pihak. Sejauh mana kurikulum itu mendesak diterapkan di tengah
problematika guru dan infrastruktur pendidikan? Litbang Kompas menyelenggarakan
Survei Guru dan Kualitas Pendidikan Nasional 2013 untuk melihat sejauh mana
kesenjangan terjadi. Analisis survei akan dipaparkan secara terpisah dalam 5
tulisan dan diturunkan setiap hari Sabtu dan Senin selama 3 minggu ke depan.
Pendidikan adalah harapan. Rencana penerapan
Kurikulum 2013 mekar dengan harapan itu. Indonesia ditargetkan mampu menjawab
tantangan masa depan peradaban yang berbasis pada ilmu pengetahuan dan
teknologi. Alih-alih menebar harapan yang sama, penerapan Kurikulum 2013 menuai
polemik.
Di atas kertas, muatan idealisme Kurikulum
2013 berjarak dengan realitas praktik pendidikan di daerah.
Kurikulum 2013 bertitik tolak dari gagasan
untuk merebut peluang bonus demografi dalam tiga dekade mendatang. Tujuan
kurikulum ini adalah mencetak generasi 2045 yang berakhlak mulia, mandiri,
demokratis, dan bertanggung jawab. Dengan pendekatan tematik integratif,
kurikulum ini mengembangkan kompetensi inti sebagai integrator horizontal yang
mengikat keseluruhan mata pelajaran dan jenjang pendidikan sebagai kesatuan.
Dalam praktiknya di tingkat SD-SMP, kurikulum
ini meleburkan materi sejumlah mata pelajaran ke dalam mata pelajaran lain.
Jumlah mata pelajaran pun berkurang sehingga struktur kurikulum terkesan padat
dan ringkas.
Sebagai strategi pendidikan, Kurikulum 2013
diposisikan sebagai simpul kritis dalam proses konsolidasi demokrasi. Dalam
salah satu artikelnya, Wakil Presiden Boediono memaparkan bahwa pendidikan
merupakan kunci pembangunan penentu kemajuan bangsa (Kompas, 27/8/2012).
Rumusan kurikulum baru ini memang terinspirasi dari pengalaman Amerika Serikat
yang menempatkan institusi pendidikan sebagai pilar utama demokrasi.
Secara substantif, gagasan ini menempatkan
anak didik dalam dua sisi peran, yakni sebagai warga negara penopang sistem
demokrasi sekaligus sumber daya manusia pemutar sistem ekonomi. Pendidikan umum
membekali anak didik dengan sikap dan keterampilan dasar (soft skills) untuk berkarya menjadi warga negara negara yang baik.
Sementara itu, pendidikan khusus memberikan kemampuan siap kerja (hard skills) di bidang-bidang tertentu.
Pemerintah juga mempersiapkan strategi demi
kesesuaian antara kurikulum baru ini dengan latar belakang guru yang beragam.
Terdapat tiga unsur pendukung pelaksanaan, yakni ketersediaan buku sebagai
panduan bahan ajar dan sumber belajar, penguatan peran pemerintah daerah dalam
pembinaan dan pengawasan, dan penguatan manajemen budaya sekolah.
Saat ini, tengah dibentuk tim utama yang
terdiri dari guru-guru inti sebagai ujung tombak pelaksanaan kurikulum baru di
lapangan.
Berjarak Dengan Realitas
Namun, tampaknya jurus di atas masih kuat di
atas kertas. Relevansi kebijakan pendidikan nasional di satu sisi dengan
kondisi infrastruktur pendidikan di sisi lain menjadi tema sentral dalam Survei
Kompas mengenai Guru dan Kualitas Pendidikan Nasional 2013. Survei ini
menjaring opini 512 guru dari SD dan SMP negeri dan swasta di delapan ibu kota
provinsi.
Hasilnya, secara garis besar kebijakan
pemerintah di bidang pendidikan merupakan hal yang relatif ketika dihadapkan
pada kemampuan guru di daerah.
Sejumlah kebijakan, seperti penyediaan sarana
dan prasarana sekolah, perubahan kurikulum dari masa ke masa, sertifikasi guru,
dan standardisasi ujian nasional, merupakan kebijakan makro yang manfaatnya berjarak
dengan praktik pendidikan dalam keseharian guru dan murid. Sertifikasi guru,
misalnya, tidak menyentuh langsung aspek kemampuan dan karakter individual
guru. Sebagian besar guru dinilai masih bertipe mediocre yang cenderung
memiliki keterbatasan dalam pengayaan materi dan metode pengajaran. Peran guru
pun sebatas pelaksana kurikulum, bagian dari birokrasi pendidikan.
Kondisi ini menyebabkan Kurikulum 2013
menjadi problematik dalam pelaksanaannya mengingat kurikulum ini mensyaratkan
kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) yang memadai. Apalagi, guru
memperlihatkan orientasi nilai yang kompleks, dengan kontinum pemahaman
beragam, yakni konservatif dalam nilai keagamaan di satu sisi, namun liberal
dalam pemahaman pendidikan.
Menjelang dua bulan pelaksanaan, sosialisasi
Kurikulum 2013 masih kedodoran di lapangan. Survei memperlihatkan sosialisasi
masih sangat minim di sejumlah wilayah. Sosialisasi baru sebatas formalitas
pada SD-SMP favorit papan atas di wilayah perkotaan. Itu pun tidak mampu menjamin
pemahaman yang optimal terhadap Kurikulum 2013.
Padahal, perubahan kurikulum ini membutuhkan
perubahan paradigma berpikir guru terkait pendekatan dan teknik pengajaran,
terutama pada mata pelajaran yang terintegrasi, seperti IPA, IPS, dan Bahasa.
Selain itu, perubahan struktur kurikulum juga memunculkan sejumlah persoalan
teknis seperti jam mengajar per minggu guru sertifikasi yang tidak terpenuhi
dan kelebihan tenaga guru akibat sejumlah mata pelajaran dihilangkan.
Idealnya, Kurikulum 2013 diikuti dengan
pelatihan guru agar idealisme baru dapat tertangkap lebih utuh dan dilaksanakan
optimal. Kemampuan pengajaran para guru saat ini masih merupakan hasil dari
pendidikan tinggi keguruan yang mengacu pada kurikulum lama, yakni guru di
tingkat SD dididik untuk menguasai berbagai bidang yang diajarkan di tingkat
SD. Sementara itu, guru SMP diarahkan untuk memiliki kebidangan.
Kebingungan teknis semacam itu mencerminkan
bahwa perubahan kurikulum perlu dilakukan secara bertahap. Kontroversi yang
berkembang seputar Kurikulum 2013 selama ini tidak terlepas dari perbedaan
pandangan antara pemerintah sebagai penentu kebijakan di tingkat pusat dan
kesiapan guru sebagai pelaksana di daerah yang memiliki kemampuan berbeda-beda.
Bingkai Demokratisasi
Saat ini, pemerintah telah menurunkan target
implementasi Kurikulum 2013. Pada tingkat SD dari 30 persen menjadi 5 persen,
jenjang SMP dari 20 persen menjadi 7 persen. Kurikulum baru diterapkan di kelas
I dan IV di tingkat SD dan kelas VII di jenjang SMP. Adapun di tingkat SMA/SMK
tetap 100 persen di kelas X, artinya diterapkan di 11.572 SMA dan 10.685 SMK di
seluruh Indonesia.
Berkaca dari pengalaman sebelumnya, penetapan
Kurikulum 2013 adalah perubahan kurikulum yang ketiga kali sejak masa reformasi
1998. Secara substansial, belum terlihat visi yang hendak dicapai terkait
dengan bingkai demokratisasi. Sekolah masih bergulat mempersoalkan teknis
standardisasi dan evaluasi hasil pendidikan. Persoalan inilah yang harus
dijernihkan dulu supaya Kurikulum 2013 itu tidak sekadar menjadi macan kertas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar