|
SUARA MERDEKA, 06 Mei 2013
"Profesionalisme
atau kapasitas pekerja media masih menjadi faktor penentu di negara-negara Asia
Tenggara"
KALI pertama diperingati pada 3 Mei 1993, Hari Kebebasan
Pers Sedunia (The World Press Freedom Day/WPFD) baru dinikmati oleh sedikit
negara maju. Di Asia Tenggara, kebebasan pers saat itu baru dinikmati Filipina
sebagai buah people power yang telah menumbangkan Presiden Ferdinand Marcos
pada tahun 1986.
Beberapa negara lain, terutama Indonesia, Vietnam, dan
Burma (kini Myanmar), kontrol terhadap pers masih sangat ketat sehingga
peringatan WPFD hanya dilakukan segelintir kalangan pers di bawah pengawasan
pemerintah. Peristiwa kontraproduktif pemberedelan tiga media terkemuka
--Majalah Mingguan Tempo dan Editor, serta Tabloid Detik-- oleh pemerintah
Indonesia pada 1994 merupakan salah satu contoh kuatnya kontrol pemerintah.
Tahun ini, memasuki 20 tahun peringatan WPFD, perubahan
telah banyak terjadi. Pihak yang memperingati pun meluas dan tidak lagi
terbatas pada mereka yang bekerja di dunia pers. Keadaan ini selain
dimungkinkan oleh perubahan konstelasi politik dan ekonomi selama dua dekade
terakhir, juga dikarenakan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi,
terutama dengan kemerebakan jejaring sosial yang mempercepat proses diseminasi
pesan-pesan kebebasan pers.
Meski demikian, perubahan tersebut tidaklah dapat dijadikan
ukuran untuk menilai bahwa kebebasan pers sudah terwujud di Asia Tenggara.
Sederet fakta bahkan menunjukkan masih jauhnya kawasan ini dari standar
internasional tentang kebebasan pers. Bahkan dapat dikatakan, terutama
bila dibandingkan dengan kondisi di kawasan lain di dunia ini, Asia Tenggara
masih merupakan kawasan yang paling memprihatinkan bagi kebebasan pers.
Dalam indeks kebebasan pers yang dikeluarkan Reporters
Without Borders (Reporters Sans Frontiers/ RSF) sepanjang 10 tahun terakhir,
negara-negara di kawasan ini menempati posisi terendah di antara 170-an negara
yang dinilai, meskipun beberapa kali Indonesia dan Timor Leste masuk posisi
yang cukup baik.
Dalam indeks 2013 yang mengindikasikan kondisi kebebasan
pers 2012, 10 negara Asia Tenggara berada di urutan antara 122 dan
172, atau sepertiga terbawah dari seluruh negara yang dinilai. Satu-satunya
yang posisinya lebih baik adalah Timor Leste, dan itu pun menempati urutan ke-90.
Laporan tahunan SEAPA tentang kebebasan pers dan kebebasan berekspresi yang
telah terbit sejak 2002 merupakan salah satu dokumentasi yang memaparkan secara
deskriptif pelbagai fakta buruk tersebut.
Apabila Committee to
Protect Journalists (CPJ) melaporkan sedikitnya 70 wartawan di dunia
terbunuh sepanjang 2012, laporan SEAPA mencatat 6 wartawan, atau hampir 10%,
terbunuh di Asia Tenggara, dengan rincian 4 orang di Filipina, seorang di
Indonesia, dan seorang lagi di Kambojaa. Dalam hal pembunuhan terhadap wartawan
ini, Filipina dan Indonesia merupakan dua negara yang hampir setiap tahun
menorehkan kekejaman terhadap wartawan.
Standar
Internasional
Ironisnya, dua negara ini justru yang selama hampir 15
tahun dipandang paling maju dalam mewujudkan kebebasan pers. Indeks kebebasan
yang dikeluarkan Freedom House bahkan secara rutin menempatkan Indonesia dalam
posisi terhormat, dan dalam indeks 2013 Indonesia dinilai sebagai satu-satunya
negara di Asia Tenggara yang masuk kategori bebas, sementara negara-negara
lainnya masih di kategori bebas sebagian, dan tidak bebas.
Keberadaan Undang-Undang tentang Pers pun belumlah
merupakan jaminan bagi pewujudan kebebasan pers. Di Indonesia misalnya, sejak
era reformasi telah memiliki UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan UU Nomor
32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Itupun masih diperkuat dengan UU Nomor 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Namun pelaksanaan tiga regulasi tersebut belum maksimal.
Artinya, masih diperlukan pelbagai upaya yang memungkinkan implementasi sesuai
dengan semangatnya. Bahkan pengajian atas tiga regulasi itu tetap perlu
dilaksanakan sehingga seluruh isinya sesuai dengan standar internasional yang
menjamin kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.
Profesionalisme atau kapasitas pekerja media juga masih
menjadi faktor penentu di negara-negara Asia Tenggara. Kemampuan teknis
berjurnalisme ataupun pelanggaran kode etik menjadi salah satu catatan penting
yang menghambat keterwujudan kebebasan pers. Kondisi ini masih diperparah lagi
dengan persoalan kepemilikan media. Di negara-negara seperti Vietnam, Laos, dan
Myanmar sebagian besar media dimiliki pemerintah.
Di balik gambaran buruk itu, optimisme dan segala upaya
mewujudkan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi tetap harus dipertahankan.
Di samping makin berkembang kesadaran tentang arti penting kebebasan di
kalangan yang lebih luas, masyarakat sipil yang bermunculan di tingkat lokal
atau nasional, umumnya tidak bekerja sendirian. Sejumlah NGO bersama akademisi
dan media independen makin memperkuat jaringan ataupun kerja sama baik pada
tingkat regional maupun internasional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar