Selasa, 07 Mei 2013

Tantangan Pers di Asia Tenggara


Tantangan Pers di Asia Tenggara
Wisnu T Hanggoro  Mantan Direktur Lembaga Studi Pers & Informasi (LeSPI), Program Manager Southeast Asian Press Alliance (SEAPA) Bangkok, Thailand
SUARA MERDEKA, 06 Mei 2013


"Profesionalisme atau kapasitas pekerja media masih menjadi faktor penentu di negara-negara Asia Tenggara"

KALI pertama diperingati pada 3 Mei 1993, Hari Kebebasan Pers Sedunia (The World Press Freedom Day/WPFD) baru dinikmati oleh sedikit negara maju. Di Asia Tenggara, kebebasan pers saat itu baru dinikmati Filipina sebagai buah people power yang telah menumbangkan Presiden Ferdinand Marcos pada tahun 1986.  

Beberapa negara lain, terutama Indonesia, Vietnam, dan Burma (kini Myanmar), kontrol terhadap pers masih sangat ketat sehingga peringatan WPFD hanya dilakukan segelintir kalangan pers di bawah pengawasan pemerintah. Peristiwa kontraproduktif pemberedelan tiga media terkemuka --Majalah Mingguan Tempo dan Editor, serta Tabloid Detik-- oleh pemerintah Indonesia pada 1994 merupakan salah satu contoh kuatnya kontrol pemerintah.

Tahun ini, memasuki 20 tahun peringatan WPFD, perubahan telah banyak terjadi. Pihak yang memperingati pun meluas dan tidak lagi terbatas pada mereka yang bekerja di dunia pers. Keadaan ini selain  dimungkinkan oleh perubahan konstelasi politik dan ekonomi selama dua dekade terakhir, juga dikarenakan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, terutama dengan kemerebakan jejaring sosial yang mempercepat proses diseminasi pesan-pesan kebebasan pers.

Meski demikian, perubahan tersebut tidaklah dapat dijadikan ukuran untuk menilai bahwa kebebasan pers sudah terwujud di Asia Tenggara. Sederet fakta bahkan menunjukkan masih jauhnya kawasan ini dari standar internasional tentang kebebasan pers.  Bahkan dapat dikatakan, terutama bila dibandingkan dengan kondisi di kawasan lain di dunia ini, Asia Tenggara masih merupakan kawasan yang paling memprihatinkan bagi kebebasan pers.

Dalam indeks kebebasan pers yang dikeluarkan Reporters Without Borders (Reporters Sans Frontiers/ RSF) sepanjang 10 tahun terakhir, negara-negara di kawasan ini menempati posisi terendah di antara 170-an negara yang dinilai, meskipun beberapa kali Indonesia dan Timor Leste masuk posisi yang cukup baik.
Dalam indeks 2013 yang mengindikasikan kondisi kebebasan pers  2012, 10 negara Asia Tenggara  berada di urutan antara 122 dan 172, atau sepertiga terbawah dari seluruh negara yang dinilai. Satu-satunya yang posisinya lebih baik adalah Timor Leste, dan itu pun menempati urutan ke-90. Laporan tahunan SEAPA tentang kebebasan pers dan kebebasan berekspresi yang telah terbit sejak 2002 merupakan salah satu dokumentasi yang memaparkan secara deskriptif pelbagai fakta buruk tersebut.

Apabila Committee to Protect Journalists (CPJ) melaporkan sedikitnya 70 wartawan di dunia  terbunuh sepanjang 2012, laporan SEAPA mencatat 6 wartawan, atau hampir 10%, terbunuh di Asia Tenggara, dengan rincian 4 orang di Filipina, seorang di Indonesia, dan seorang lagi di Kambojaa. Dalam hal pembunuhan terhadap wartawan ini, Filipina dan Indonesia merupakan dua negara yang hampir setiap tahun menorehkan kekejaman terhadap wartawan.

Standar Internasional

Ironisnya, dua negara ini justru yang selama hampir 15 tahun dipandang paling maju dalam mewujudkan kebebasan pers. Indeks kebebasan yang dikeluarkan Freedom House bahkan secara rutin menempatkan Indonesia dalam posisi terhormat, dan dalam indeks 2013 Indonesia dinilai sebagai satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masuk kategori bebas, sementara negara-negara lainnya masih di kategori bebas sebagian, dan tidak bebas.

Keberadaan Undang-Undang tentang Pers pun belumlah merupakan jaminan bagi pewujudan kebebasan pers. Di Indonesia misalnya, sejak era reformasi telah memiliki UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Itupun masih diperkuat dengan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Namun pelaksanaan tiga regulasi tersebut belum maksimal. Artinya, masih diperlukan pelbagai upaya yang memungkinkan implementasi sesuai dengan semangatnya. Bahkan pengajian atas tiga regulasi itu tetap perlu dilaksanakan sehingga seluruh isinya sesuai dengan standar internasional yang menjamin kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.

Profesionalisme atau kapasitas pekerja media juga masih menjadi faktor penentu di negara-negara Asia Tenggara. Kemampuan teknis berjurnalisme ataupun pelanggaran kode etik menjadi salah satu catatan penting yang menghambat keterwujudan kebebasan pers. Kondisi ini masih diperparah lagi dengan persoalan kepemilikan media. Di negara-negara seperti Vietnam, Laos, dan Myanmar sebagian besar media dimiliki pemerintah.

Di balik gambaran buruk itu, optimisme dan segala upaya mewujudkan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi tetap harus dipertahankan. Di samping makin berkembang kesadaran tentang arti penting kebebasan di kalangan yang lebih luas, masyarakat sipil yang bermunculan di tingkat lokal atau nasional, umumnya tidak bekerja sendirian. Sejumlah NGO bersama akademisi dan media independen makin memperkuat jaringan ataupun kerja sama baik pada tingkat regional maupun internasional. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar