|
KOMPAS,
12 Mei 2013
Wacana sastra Indonesia sudah lama berperan
sebagai sarana bagi penyemaian semangat kebangsaan. Pada zaman kolonial, karya
sastra telah ikut memberi andil dalam melahirkan semangat nasionalisme bangsa
Indonesia yang akhirnya berhasil mengusir penjajah. Para founding fathers Republik Indonesia umumnya adalah intelektual
pribumi yang memperoleh semangat anti-penjajahan lewat beragam bacaan sastra.
Para penentang gigih kolonialisme itu adalah pelahap teks-teks sastra yang
kebanyakan berasal dari khazanah sastra Eropa. Sebagian bahkan juga menulis
karya-karya sastra tempat mereka memijahkan dan menggelorakan semangat
nasionalisme bangsanya guna membebaskan diri dari belenggu penjajahan.
Melani Budianta dalam artikelnya berjudul Diverse voices: Indonesian Literature and
Nation-building (2007:57) mengatakan bahwa proses nation-building dalam wacana sastra tidak bersifat linier dan
singuler yang cenderung membawa masyarakat ke satu entitas politik yang
bersifat tunggal dan seragam. Sebaliknya, ia menyediakan ruang untuk diskusi
dan dialog yang terus-menerus guna memperkaya dan mematangkan konsepsi dan
perasaan kebangsaan itu.
Dalam konteks sejarah sastra Indonesia
modern, dua aspek lokalitas yang sering didekonstruksi dalam teks sastra untuk
membina perasaan kebangsaan itu adalah hubungan antaretnis dan antaragama.
Namun, harus diakui bahwa sampai sekarang belum banyak sastrawan Indonesia yang
secara sadar dan dengan visi yang kuat mencoba menggarap tema ini untuk
mendialogkan gagasan kebangsaan dengan khalayak pembaca.
Jika kita menengok ke masa akhir zaman
kolonial, usaha untuk membebaskan diri dari eksklusivisme etnisitas guna
mematangkan semangat keindonesiaan itu telah dirintis oleh beberapa pengarang,
khususnya yang berasal dari latar belakang budaya Minangkabau. Karya-karya
mereka mengusung cita- cita keindonesiaan yang memberi ruang bagi penguatan dan
pemesraan hubungan antaretnis dan antaragama dalam semangat pluralitas, seperti
antara lain terefleksi dalam judul roman karya S Hardjosoemarto dan Aman Dt
Madjoindo, Rusmala Dewi: Pertemuan Jawa dan Andalas (1932).
Pembinaan rasa kebangsaan dari perspektif
relasi antaretnis itu sering digambarkan melalui hubungan perkawinan, seperti
dapat dikesan melalui pasangan Nurdin (Minangkabau) dan Rukmini (Sunda) dalam
Darah Muda oleh (Djamaluddin) Adinegoro (1927) dan Rustam (Minangkabau) dan
Dirsina (Sunda) dalam Asmara Jaya (1928) yang juga karya Adinegoro. Nur
Sutan Iskandar juga menggarap tema ini melalui tokoh Amiruddin (Minangkabau)
dan Astiah (Jawa) dalam Cinta Tanah Air (1944), roman berlatar perjuangan
merebut kemerdekaan Indonesia dari penjajah Belanda.
Hamka menggugah keindonesiaan khalayak
pembaca melalui kisah cinta dan perkawinan yang tragis antara tokoh Poniem
(Jawa) dan Leman (Minangkabau) dalam Merantau ke Deli (1940). Lewat novel
ini Hamka tidak saja mengkritik adat Minangkabau, tetapi juga berusaha
memperkenalkan kemungkinan membina Indonesia baru melalui pembauran antaretnis.
Hamka kembali mengetengahkan tema ini dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
(terbit pertama kali dalam bentuk feuilleton secara berkala pada Pedoman
Masjarakat di Medan, 1938). Dalam novel tersebut, Hamka menggayutkan tema ini
melalui tokoh Hayati (Minangkabau) dan Zainuddin, pemuda Bugis yang berayah
Minangkabau dan beribu Bugis (menurut sistem matrilineal Minangkabau, Zainuddin
adalah orang Bugis, bukan orang Minangkabau; lihat Kato 1982).
Menarik untuk dicatat bahwa narasi
karya-karya Nur Sutan Iskandar dan Adinegoro yang disebutkan di atas
menghadirkan perspektif yang berbeda dengan karya-karya Hamka. Dalam karya-karya
Nur Sutan Iskandar dan Adinegoro, cerita berakhir dengan happy ending.
Tokoh-tokohnya yang berbeda etnis hidup berbahagia. ”Pemberontakan” mereka
terhadap adat etnis masing-masing berhasil. Hal sebaliknya terjadi dalam
karya-karya Hamka: cerita berakhir dengan sad ending. Pasangan Leman-Poniem
dalam Merantau ke Deli dan pasangan Zainuddin-Hayati dalam Tenggelamnya Kapal
Van der Wijck mengalami nasib tragis: perkawinan yang mereka cita-citakan
(di)gagal(kan). ”Pemberontakan” mereka terhadap adat etnis masing-masing tidak
berhasil.
Keindonesiaan
Menurut saya, ini siratan bahwa keindonesiaan
yang bineka dalam masyarakat Indonesia yang begitu heterogen dari segi budaya
dan agama masih harus terus dipupuk dan didewasakan. Lepas dari gerakan
romantisisme yang menjadi tren dalam dunia sastra pada zaman itu, karya-karya
di atas menyiratkan betapa masih diperlukan perjuangan berat untuk mendewasakan
bangsa Indonesia. Sekat-sekat etnisitas yang eksklusif harus dibuka tanpa harus
menimbulkan chaos politik.
Nur Sutan Iskandar (Maninjau,
3/11/1893-Jakarta, 28/11/1975), Adi Negoro (Talawi, 14/08/1904-Jakarta,
8/01/1967) dan Hamka (Maninjau, 17/02/1908-Jakarta, 24/07/1981) adalah tiga
sastrawan Indonesia awal yang menganut paham terbuka. Primordialisme etnisitas
mereka mencair karena sering bersentuhan dengan berbagai kebudayaan lain yang
dimungkinkan oleh budaya merantau etnis Minangkabau, sebuah pretext bagi
hadirnya kesadaran keindonesiaan yang lebih jelas dalam karya-karya mereka.
Dalam bukunya Kembali dari Perlawatan ke Europa, Djilid I (1930:5), Adinegoro
menulis: ”Kalau anak-anak moeda angkatan
sekarang dan angkatan jang akan tiba, berladjar memandang tanah airnja selebar
Indonesia Raja, tidaklah akan dapat ganggoean tetek bengek kalau ia hendak
merantau ketanah seberang, karena tanah seberang itoe, baik Soematra, baik
Borneo, baik Selebes atau Nieuw Guinea, ialah tanah airnja semata-mata,
bangsa-bangsa jang diam diatasnja tidak lagi akan disangkanja orang asing,
melainkan saudaranja.”
Hubungan perkawinan antaragama juga belum
banyak dieksplorasi oleh sastrawan Indonesia. Contoh dari sedikit novel yang
membahas tema ini adalah Orang Buangan karya Harijadi S Hartowardoyo (1971;
pertama kali terbit tahun 1967 dengan judul Munafik) yang menampilkan tokoh
Tantri (Islam) dan Hiang Nio (Katolik). Demikian juga halnya novel Keluarga
Permana karya Ramadhan KH (1978) yang menampilkan tokoh Ida (Islam) dan Sumarto
(Katolik).
Selama zaman Orde Baru (1967-1998), teks-teks
sastra Indonesia sepi dari tema hubungan antaragama karena kaum sastrawan
terinfeksi sindrom ranjau SARA. Dewasa ini makin banyak novel Indonesia yang
menampilkan tokoh-tokoh dari beragam etnis dan agama, satu aspek struktur yang
membedakannya dengan novel-novel tahun 1980-an dan 1990-an. Hal ini dapat dilihat
dalam Saman karya Ayu Utami (1998) dan karya Ratna Indraswari Ibrahim
(2012), untuk sekadar menyebut contoh. Namun, keheterogenan latar
belakang etnis dan agama tokoh-tokohnya itu belum menjadi isu sentral dan
tematik dalam narasi novel-novel itu sehingga kontribusinya tidak begitu
signifikan dalam rangka dialog literer seputar gagasan-gagasan mengenai
kebangsaan.
Kaum sastrawan khususnya dan seniman
Indonesia pada umumnya seyogianya terus berusaha mengakomodasikan
gagasan-gagasan mengenai kebangsaan dalam karya-karya mereka. Harus diakui
usaha ini memang tidak mudah sebab etnisitas dan religiositas adalah dua elemen
yang inheren dan sensitif dalam diri mayoritas rakyat Indonesia.
Kaum seniman harus cerdik, halus, dan ekstra
hati-hati mengolah kedua elemen ini untuk mendewasakan bangsanya. Jika tidak,
alih-alih memberikan pencerahan, mereka malah bisa dituduh sebagai agen
penyebar ideologi asing dan pengacau sebuah etnis seperti yang kini dituduhkan
kepada Hanung Bramantyo, sutradara film Cinta
tapi Beda. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar