Minggu, 19 Mei 2013

Nalar Kolektif Kebangkitan Nasional


Nalar Kolektif Kebangkitan Nasional
M Najibur Rohman ;  Staf Bagian Organisasi, Kepegawaian, dan Hukum
IAIN Walisongo Semarang
SUARA MERDEKA, 18 Mei 2013

KELAHIRAN Indonesia melalui pergolakan kebangsaan yang panjang. Pergolakan itu diawali dengan mendirikan Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908. Para sejarawan memang berdebat soal penempatan Boedi Oetomo sebagai tonggak bagi nasionalisme Indonesia. Alasannya, organisasi itu dihidupi oleh kalangan bangsawan Jawa, kaum intelektual yang terbatas, dan bukan gerakan politik dengan dukungan massa yang luas.

Akira Nagazumi dalam Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Boedi Oetomo 1908-1918 (1989) telah memberikan jawaban untuk itu. Menurutnya, dapat dimengerti jika orang-orang Jawa, sebagai basis utama massa Boedi Oetomo, yang lebih dulu menyerukan nasionalisme karena menjadi golongan yang paling terkena dampak kolonialisme, di samping situasi saat itu tidak relevan untuk hadir sebagai organisasi massa. 

Kelahiran Boedi Oetomo, karena itu, merupakan archetype bagi perlawanan terhadap kesenjangan dan ketidakadilan kolonial. Di sisi lain, nasionalisme Indonesia memerlukan proses, dan tahapan itu perlu dilalui dari konteks yang terbatas untuk kemudian meluas. Proses itu terlihat dari penggunaan istilah-istilah yang merujuk pada cita-cita kemerdekaan seperti Javaansch nationalisme, Indisch nationalisme, dan lalu Indonesische nationalisme (Sartono Kartodirdjo, 1972). 

Kendati Boedi Oetomo dipandang masih memiliki pemahaman kesatuan Indonesia yang terbatas, dari sanalah tahapan menuju nasionalisme Indonesia dimulai. Catatan sejarah juga memperlihatkan bagaimana pada masa berikutnya anggota-anggota Boedi Oetomo tampil dinamis dalam pilihan gerakan mereka yang menunjukkan keberbedaan dalam langkah perjuangan, walau tentu dengan cita-cita serupa. 

Pembangunan solidaritas kebangsaan bertransformasi secara bertahap dari nasionalisme kultural menjadi nasionalisme politik, dan yang terakhir ini bersifat lintas kultural bernama Indonesia (Yudi Latif, 2011). Hal ini menunjukkan pergerakan nasional adalah gerakan kesatuan yang kolektif dan tidak didasari atas kultur, ideologi, atau agama tertentu. 

Dengan kata lain, Indonesia dibangun sedari awal dengan napas pluralisme yang tidak menganakemaskan golongan tertentu. Pergerakan nasional mencita-citakan berdirinya negara kesatuan yang didasari kemajemukan kultur dan agama yang hidup di Nusantara. Dalam konteks (ideologi) agama misalnya, karena isu ini terus berdengung hingga kini, Boedi Oetomo memilih bersikap netral.

Sikap itu mencerminkan keengganan organisasi yang didirikan beberapa mahasiswa Stovia Jakarta itu membangun negara agama. Agama justru ditempatkan pada posisi aman sebagai salah satu alat pengikat kebangsaan, sebagaimana tulisan Soewardi Soerjaningrat dalam Het Javaansche National in de Indische Beweging. Pada sebuah kongres di Bandung 1916 Sarekat Islam (SI) juga memutuskan untuk mengikatkan diri dalam semangat kebangsaan Hindia, bukan semata-mata Islam (Slamet Muljana, 2008).  

Superioritas

Nalar kolektif, yang tercermin dalam pilihan memegang pluralisme, berarti menolak setiap superioritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tiap individu memiliki kebebasan sepanjang tidak merugikan orang lain dan melanggar kontrak yang disepakati. Karena itu,  memahami kebangkitan nasional berarti juga bertaruh pikiran dan tenaga untuk membahagiakan dan memuliakan seluruh anak negeri ini. 

Namun setelah lebih dari satu abad berdirinya Boedi Oetomo, 105 tahun lalu, tantangan yang dihadapi negeri ini tak kurang beratnya. Korupsi, kekerasan, dan berbagai potret buram dalam kehidupan negara menjadi cermin dari kekemudaran moral dan kohesi sosial. Situasi ini sebagai akibat pengelolaan negara yang nihil cita-cita kesejahteraan bersama. Institusi-institusi politik demokrasi dilanda badai besar dalam hal orientasi pengabdian. 

Di banyak tempat, momen peringatan kebangkitan nasional semacam ini kerap menumbuhkan spirit baru dalam menghidupi negara. Tetapi kita tak perlu merasa kecewa jika ternyata spirit itu cepat menguap. Padahal, sebagaimana kebangkitan nasional pada 1908 yang mendorong masyarakat mengkreasi nalar bersama, nalar kolektif itu hari-hari ini butuh untuk kembali dibangkitkan. Ketidakberdayaan untuk membangkitkan nalar kolektif, dengan prasyarat ideal berupa keadilan dan kesejahteraan bersama, akan menyuburkan perasaan tak bernegara pada masyarakat kita. 

Jika keadaan itu terus berlangsung maka kita patut khawatir soal keberlangsungan negara ini. Keterkoyakan nalar kolektif masyarakat akan memicu kerugian besar dalam kehidupan negara dan demokrasi. Legitimasi kekuasaan akan memudar dan negara menjadi sosok yang ganjil: ada tetapi tidak kuat. Untuk itulah, patut mewujudkan usaha-usaha serius melalui spirit kebangkitan dan laku memperjuangkan kemerdekaan yang tidak semu. 

Hal ini memang tak mudah dilakukan. Di India, Mahatma Gandhi harus berjuang keras agar ide-ide kebangkitan itu diterima rakyat. Ia melakukan berbagai usaha guna meyakinkan rakyat bahwa kemerdekaan dari kolonialisme merupakan pilihan tepat. Kemerdekaan Indonesia kurang lebih juga mengalami hal serupa. Demikian pula dengan Boedi Oetomo pada masa awal-awal pergerakan. 

Karena itulah tiap elemen dari bangsa ini, baik pemerintah maupun rakyat, perlu bergotong royong memperbaiki kehidupan negara. Pemerintah perlu mengokohkan otoritas negara dengan supremasi hukum, sementara rakyat memperkuat modal sosial sehingga salah satunya mendorong keterciptaan kehidupan yang toleran dan demokratis. 
Berbagai problem yang dihadapi bangsa ini bukan rapalan tragedi. Semua itu, menuntut penuntasan sehingga kebersamaan dari tiap individu bangsa ini memiliki peran yang tidak dapat diabaikan. Dalam catatan harian bertarikh 10 Maret 1969, Ahmad Wahib menulis dengan pasase,’’ ...demokrasi tegak dan rubuhnya bukan hanya tergantung pada penguasa, melainkan juga tergantung pada rakyat’’. Semoga tanggal 20 Mei tidak terlewati sebagai sekadar tanggal dalam almanak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar